Masyarakat Tamadun
Sejak Awal, Islam Sudah Egaliter
Lahirnya masyarakat muslim di tanah arab nyaris mengubah tatanan fundamental struktur masyarakat tersebut. Budaya sukusime dan tribalisme yang berurat-akar dan mendarah daging kerap menempatkan nilai-nilai sosial bukan pada kebudayaan moral namun pada kekuasaan. Sementara itu, perbudakan terus terjadi dan karakter diskriminatif terhadap perempan pun berlangsung sedemikian lama.
Apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan Islamnya merupakan suatu antitesis ekonomi-politik dan kebudayaan Arab. Di samping soal keyakinan dan hukum juga soal perspektif tatanan sosial. Tesis utama yang diketengahkan oleh Islam adalah tatanan masyarakat bersama berkesatuan meski tanpa menghilangkan aspek kesukuan yang telah ada secara alami. Tatanan masyarakat bersama buka didasarkan pada kekuasaan atau atas nama keturunan tertentu, melainkan pada kesetaraan, egalitarianisme. Lebih dari itu adalah pluralisme dan toleransi.
Sebagai antitesis masyarakat Arab, penolakan atas kehadiran Islam di tanah Arab tak melulu soal keyakinan melainkan dimengerti dalam konteks ekonomi-politik dan kebudayaan. Yakni bahwa pertama Kaum Quraisy tidak bisa membedakan antara kenabian dan kekuasaan, untuk itu mereka menduga dengan menerima seruan dakwah Nabi berarti juga tunduk kepada kepemimpinannya, yakni tunduk pada kepemimpinan Bani Abdul Muthollib, di mana Nabi adalah pemegang kekuasaannya. Kedua, Nabi menegaskan persamaan hak antara pemuka Quraisy dengan hamba sahaya, sesuatu yang telah mendarah daging dalam kebudayaan arab. Ketiga, para pemuka Quraisy tidak meyakini adanya kehidupan setelah kematian dan adanya hari pembalasan, dan itu sebabnya mereka merasa nyaman dengan kehidupan yang menindas orang lain. Keempat, sikap taklid terhadap nenek moyang yang telah menjadi tradisi dan menguat dalam keyakinan mereka, serta kelima hadirnya Islam dianggap menghalangi pendapatan para pemahat dan penjual patung.
Arab yang Tak Dikenal
Arab, meski dikenal sebagai kota dengan aktifitas perdagangan yang massif, namun ia tetap merupakan lembah yang tak dikenal oleh dunia luar, disebut sebagai ‘al Rab al Kholi’ (tempat yang sunyi). Bahkan seorang peneliti Barat Sir William Muir menyebut bahwa hingga abad ke-7 masehi kala Islam mulai menyentuh tanah ini, Arab merupakan tanah tak dikenal. Hanya di pinggiran bagian selatan dan utara yang tersentuh oleh dunia luar. Sangat sedikit catatan tentang dunia Arab Kuno yang bisa ditemukan dan dilacak.
Pada periode Makkah, yakni awal Nabi mulai membawa ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat, terma-terma teologis lebih mengemuka. Ajaran-ajaran mengenai ketauhidan menjadi misi fundamental dari dakwahnya. Dan tentu saja, terjadi penolakan. Tidak saja penolakan, lebih dari itu, ancaman bertubi-tubi mesti dihadapi oleh Nabi hingga akhirnya Allah memeintahkannya untuk hijrah. Hijrah inilah sesungguhnya yang merupakan tonggak penting bagi lahirnya masyarakat Muslim di Yastrib.
Di samping adanya wahyu mengenai perintah hijrah, bersamaan dengan itu masyarakat Madinah pun setelah sebagian dari mereka melakukan korespondesi dengan Nabi sewaktu di Makkah, dan mulai mengerti nilai-nilai kedamaian dalam ajaran Islam, amat merindukan kedatangan Nabi di tanah mereka karena telah cukup jengah dengan pertarungan dan perkelahian antar suku yang tidak berdampak positif dan produktif, terutama dalam upaya perebutan sumber ekonomi. Maka terang saja, kedatangan Nabi disambut dengan gegap gempita di Madinah. Dan Nabi adalah cahaya bagi mereka, “Thola’al badru ‘alayna”
Di Madinah selain dakwah mengenai doktrin-doktrin utama Islam yakni tauhid, juga turun beragam ayat yang menjelaskan prinsip-prinsip tatanan sosial dalam Islam. Maka dalam periode ini nabi dengan kelihaian politik mampu menyatukan warga Yastrib dalam satu kesatuan politik dengan klausul kesepakatan yang monumental “Piagam Madinah”, Yastrib kini berubah menjadi Madinah.
Proyek Egalitarianisme Islam
Proyek sosial Islam makin menemukan realitasnya. Nabi tak saja dipercaya dengan pembawa wahyu ilahi, tapi sebagai pemimpin masyarakat. Sebagai pemimpin, beliau menegakkan sendi-sendi fundamental ajaran sosial dalam Islam. Langkah pertama Nabi adalah membangun mesjid sebagai pusat dakwah. Tidak saja sebagai pusat keagamaan juga seringkali mesjid menjadi sarana pengembangan nilai-nilai kebudayaan yang luhur. Nabi tak sekedar menyuruh, tapi ia pun terlibat dalam proses tersebut sama dengan yang lain, fenomena ini memberi kesan yang sangat mendalam di hati umat dan masyarakat Madinah.
Lalu, Nabi mempersaudarakan umatnya (kaum muhajirin dan anshar) dalam satu ikatan bersama, sesama pengikut tauhid dan sesama manusia yang bersaudara. Tak hanya itu, Nabi juga membangun masyarakat bernegara (berkonstitusi) yang melibatkan seluruh masyarakat dan warga Arab tanpa memandang asal keturunan dan agama yang dianut.
Sehingga tampak betul bahwa apa yang dibangun oleh Nabi adalah prinsip-prinsip yang juga makin dibutuhkan oleh masyarakat modern saat ini, egalitarianisme, pluralisme dan toleransi. Tanpa harus menanggalkan keyakinan teologis sebagai hak privat bagi setiap individu untuk memilihnya. Nabi tidak memilih model masyarakat yang sekuler dengan meniadakan dan meminggirkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial. Berikut pula tidak menjadikan Islam sebagai penguasa tunggal yang meminggirkan orang-orang non-muslim untuk terlibat dalam kerja-kerja ekonomi, politik dan kebudayaan.
Nabi mengisyaratkan bahwa agama Islam tidak hadir untuk menguasai siapapun, tapi juga tidak berarti Islam harus hanya menjadi keyakinan tersebunyi di balik jiwa-jiwa penganutnya. Islam, oleh Nabi tidak diletakkan sebagai simbol, apalagi sebagai struktur kekuasaan, namun dihadirkan sebagai realitas bagi manusia, yang membangkitkan semangat dan memastikan keadilan, serta memenuhi hasrat kedamaian.
Islam sebagai agama bertumpu pada tauhid dan justru dengan itu ia sangat menghargai keragaman dan kesetaraan sebagai manisfestasi keyakinan bahwa semua adalah makhluk Tuhan yang sama-sama mencari dan berjalan menuju-Nya.