PERISTIWA GHADIR KHUM DALAM PERSPEKTIF TEOSOFI
- Dipublikasi pada
-
- pengarang:
- Fardiana Fikria Qur’any, M. Ud.
- Sumber:
- ikmalonline.com
Tahun 10 Hijriyah (632 M) merupakan tahun suka sekaligus duka untuk umat Islam. pada tahun ini pula, Nabi melaksanakan haji perpisahan (haji wadda’). Disebut sebagai haji perpisahan karena itulah ibadah haji terakhir yang Nabi Muhammad laksanakan sebelum ia berpulang ke pangkuan Sang Khalik. Pada haji terakhirnya inilah terjadi sebuah peristiwa yang disebut Ghadir Khum. Peristiwa di mana Nabi mengumpulkan banyak orang, baik mereka yang sedang menuju jalan pulang diminta untuk kembali dan mengikuti pertemuan tersebut, begitu juga orang-orang yang baru datang. Permintaan Nabi Muhammad tidak bisa dianggap remeh apalagi sepele, karena tidak ada yang keluar dari mulutnya kecuali wahyu dan tentu ada suatu hal penting yang akan disampaikan olehnya.
Setelah Nabi memberitahu bahwa haji ini merupakan haji terakhir dirinya, kemudian ia menyampaikan pesan penting sambil mengangkat tangan Ali ibn Abi Thalib. Nabi mensabdakan, “Man Kuntu Mawla, fa hadza Ali Mawla” (siapa yang menjadikan aku walinya, maka ia juga menjadikan Ali walinya pula).
Peristiwa ini tidak bisa ditolak oleh mazhab apapun di dalam Islam. Perdebatan muncul pada penafsiran kata wali, apakah kata wali bermakna teman atau dalam arti pemimpin? Para aliran kalam baik itu dari Syi’ah maupun Sunni sudah banyak membahas tentang beberapa penafsiran terkait kata ‘wali’, maka yang ingin saya tulis di sini bukan tentang kata wali dengan perspektif ilmu kalam melainkan dari perspektif teosofi (kerangka rasional dan sufistik).
Ada dua hal yang perlu dibahas di sini, bagaimana kata wali dipahami dalam kerangka rasional-filosofis dan sufistik, meskipun berangkat dari perdebatan di ilmu kalam. Jika penafsiran kata wali hanyalah teman, kerabat, maka tidak ada yang istimewa dalam memahami peristiwa tersebut, tetapi apabila dimaknai sebagai pemimpin, kita perlu menggali apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW pada umatnya saat itu.
Hadirnya Imam adalah Kemestian
Wali bisa diartikan sebagai imam atau pemimpin. Secara akliyyah, kehadiran seorang imam di setiap zaman adalah satu hal yang wajib. Dengan kata lain, kemestian adanya seorang imam adalah bentuk kasih sayang Tuhan dari Allah Ta’ala yang merupakan hak hambaNya. Karena kehadiran imam yang adil dan bijak serta memiliki ilmu yang sempurna akan membimbing manusia pada jalan yang semestinya dan menghindarkannya jatuh pada kebinasaan, mendekatkan mereka pada ketaatan serta menjauhkan mereka dari kemaksiatan.
Kemestian dan kewajiban adanya imam merupakan kesepakatan umat. Seluruh ulama baik dari kalangan Ahl as-Sunnah, Murji’ah, Syi’ah, Khawarij sepakat tentang kemestian adanya imam, karena keberadaan seorang imam akan mengantarkan umat menegakkan hukum Allah dan mewujudkan syariat yang diabawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Kembali pada konteks Ghadir Khum, di saat Nabi mengabarkan bahwa haji itu adalah haji terakhirnya, maka ia sedang memberikan isyarat bahwa tidak lama lagi ia akan meninggalkan umatnya. Dengan demikian, menentukan pengganti dirinya adalah hal yang darurat untuk dilakukan melihat kondisi umat Islam yang baru saja memeluk agama Islam dan baru mengenal Islam, sehingga dibutuhkan sosok imam dan pemimpin yang menjadi contoh dan rujukan bagi umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW dengan sadar dan segala penyingkapan yang terjadi pada dirinya tidak akan meninggalkan umatnya pun tidak akan meninggalkan begitu saja. Jika Abu Bakar saja bisa menunjuk pengganti setelahnya, bagaimana dengan Nabi yang segala ilmu yang dimilikinya. Menjadi mustahil membiarkan umatnya dalam perselisihan setelah beliau meninggal.
Imam (wali); Manusia Ghaib dalam Kosmologi
Setelah kita memahami bahwa kehadiran seorang imam adalah sebuah keniscayaan, maka di sini kita akan menekankan bahwa imam bukanlah hanya berarti kepemimpinan negara melainkan lebih luas dan lebih dalam dari itu, ia merupakan pemimpin yang mengarahkan urusan dunia dengan orientasi akhirat dan menjadi tonggak dari pergerakan di alam semesta ini. Imam adalah jembatan manusia dengan Tuhan, dialah penghubung antara apa yang ada di alam ini dengan Tuhannya.
Di alam semesta ini terdapat dua hal yaitu, sesuatu yang tampak atau jasad alam ini sementara itu ada sisi lainnya yang kita sebut dengan ruh atau sisi tak tampak dari alam itu sendiri. Sesuatu yang tampak memiliki sifat dan karakteristik keragaman, rapuh lenyap dan berubah, sementara sesuatu yang tak tampak itu bersifat kuat, kekal dan stabil. Sesuatu yang tidak tampak atau ghoib lebih kuat daripada yang tampak, bahkan lebih dari itu yang gaiblah yang mendorong yang tampak ini bergerak, yang ghaib menjadi pusat keseimbangan yang tidak tampak.
Kehadiran imam sebagai pembimbing manusia hadir untuk menjadi poros gerak manusia baik lahir maupun batin. Dengan segala ilmu yang dimiliki oleh imam, maka manusia menjadikannya rujukan untuk bertanya tentang segala sesuatu baik itu pada perkara atau urusan yang bersifat empirik maupun yang bersifat batin. sehingga menghantarkan manusia pada ketenangan dan harmonisme jiwa itu sendiri.
Dalam satu waktu, sosok imam merupakan manifestasi transendensi dan imanensi Tuhan. Dalam diri imam semua sifat Tuhan itu tampak, termanifestasilah seluruh nama Tuhan baik yang memanifestasikan sisi transendensinya seperti penguasa dan memanifestasikan nama atau sifat dari sisi imamensinya seperti rahman dan rahim. Dua kutub yang tidak akan terpisahkan dari sosok imam.
Kembali pada peristiwa Ghadir Khum, diutusnya imam Ali ibn Abi Thalib sebagai wali oleh Nabi Muhammad SAW tidak hanya memiliki makna lahir atas kepemimpinan tetapi juga memiliki makna batin atasnya. Sosok imam Ali merupakan poros dari kehidupan yang harmonis.
Kita patut mensyukuri atas diutusnya imam Ali ibn Abi Thalib sebagai penggati Nabi Muhammad SAW. Semoga kesadaran intelektual dan eksistensial kita bisa menghantarkan diri kita pada pemahaman atas hakikat dari setiap peristiwa yang terjadi di alam ini, terutama peristiwa Ghadir Khum.