Nasib Keluarga di Barat
Struktur sosial dalam peradaban umat manusia sejatinya dibangun dari unit lembaga sosial terkecil yang disebut sebagai keluarga. Satuan lembaga sosial tekecil ini terdiri dari bapak, ibu dan anak. Keluarga merupakan sistem sosial yang dinamis, yang memiliki peran khusus di segenap institusi sosial lainnya. Will Durant, sejarawan AS dalam bukunya berjudul The Pleasure of Philosophy, menulis, “Keluarga adalah fundamen paling dasar seluruh peradaban yang pernah diketahui oleh sejarah. Keluarga merupakan unit ekonomi dan produksi masyarakat. Pasalnya, seluruh anggota keluargalah yang telah menanami bumi. Kekuasaan seorang bapak terhadap keluarganya, menjadikannya sebagai pemerintahan kecil yang mendukung pemerintahan besar. Keluarga adalah unit budaya, melalui pendidikan dan pengajaran anak-anaknya, ia wariskan tradisi dan seni para penduhulunya.
Keluarga juga merupakan unit moral, yang mengajarkan pada anggotanya bahwa kerjasama dan prinsip kedisiplinan merupakan fondasi spritualitas masyrakat. Dalam situasi tertentu, peran keluarga lebih penting dari pemerintah. Ketika tidak ada lagi pemerintahan, namun bangunan keluarga masih bertahan, maka peluang tetap terjaganya keteraturan sosial masih terbuka lebar. Inilah keyakinan para sosiolog yang percaya, dengan hancurnya keluarga, maka hancur pula peradaban manusia”.
Pada jaman kita sekarang, seluruh upaya untuk meraih keberhasilan di bidang ilmu pengetahuan, dan teknologi maju telah berkembang dangan begitu pesatnya, hingga terkadang nilai-nilai kemanusiaan yang paling asasi pun harus terkorbankan. Dalam situasi semacam itu, tiap kali peradaban manusia mengalami kemajuan, institusi keluarga pun semakin terancam, dan mengalami perubahan juga. Sepertinya, langkah yang ditempuh manusia modern saat ini, sejengkal demi sejengkal telah melangkah ke belakang kembali.
Hancurnya bangunan keluarga, tempat di mana keduaorangtua dan anak-anaknya hidup besama, telah melahirkan ragam keluarga yang baru di negara-negara Barat. Munculnya model keluarga singel parents atau orang tua tunggal yang mencakup sepertiga jumlah keluarga di AS sekarang ini, dan sebagain besar keluarga-keluarga di Eropa, telah memantik banyak pertanyaan baru bagi para sosiolog dan psikolog. Sejumlah permasalahan pelik, seperti tekanan mental, masalah pendidikan, dan masa depan anak-anak mereka serta krisis psikologis dan fisik yang menyertai keluarga single parent merupakan problema pokok masyarakat Barat saat ini.
Kini, model keluarga tradisional yang terdiri dari suami, istri dan anak telah berubah menjadi model yang lain. Kian berkembangnya keluarga tanpa bapak dan ibu, anak-anak tanpa wali, atau anak-anak yang terbiasa hidup dengan kakek dan nenek mereka, ataupun kehidupan bersama tanpa ikatan suami-istri, merupakan model lain keluarga modern yang telah menuai banyak kekhawatiran di tingkat global. Sejumlah sosiolog seperti, Simon Duncan dan Rosalind Edwards, menilai, sekarang ini tengah terjadi perubahan jangka panjang pada model keluarga dan hubungan antara lelaki dan perempuan. Tekanan ekonomi, tuntutan karier masing-masing pasangan, dan kian bebasnya hubungan di luar nikah merupakan sejumlah faktor penyebab terjadinya perubahan tersebut.
Dikeluarkannya sejumlah data mengenai runtuhnya sturuktur keluarga di Barat menunjukkan, bahwa intitusi sosial yang satu ini tengah mengalami kerusakan yang parah dan memerlukan perhatian yang lebih serius lagi. Berdasarkan laporan yang ada, pada tahun 2000, lebih dari 13 juta orang dari para orang tua AS merupakan wali dari 21 juta anak-anak dan ABG (anak baru gede). Ironisnya, anak-anak AS ini hanya hidup dengan salah satu orang tua mereka. Sementara itu, lebih dari 5 juta anak-anak AS terpaksa hidup dengan kakek dan nenek mereka. Berita lain juga menyebutkan, bahwa jumlah janda di AS pada tahun 1970 samapai 2000, mengalami peningkatan dari 3 juta orang menjadi 10 juta.
Baru-baru ini, dalam peringatan Hari Keluarga Sedunia, sejumlah besar warga Italia menggelar aksi unjuk rasa dengan inisiatif sendiri, guna menyuarakan pentingnya mempertahankan keutuhan banguanan keluarga. Aksi demo yang diikuti lebih dari satu juta warga Italia itu memadati jalan-jalan utama kota Roma sambil meneriakkan yel-yel ‘Hidup Keluarga!’. Aksi ini mereka gelar sebagai upaya untuk mempertahankan model tradisional institusi keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Para demonstran juga memprotes rencana PM Italia, Romano Prodi yang akan mengakui secara resmi pasangan homoseksual. Aksi unjuk rasa ini diikuti pula oleh sejumlah tokoh politik. Selain itu, para pengunjuk rasa memperingatkan juga akan bahaya kebebasan tanpa batas dan menentang model pernikahan pasangan sejenis. Ini merupakan salah satu langkah positif di awal abad ke-21 sebagai aksi peringatan untuk senantiasa menjaga keberadaan bangunan keluarga sebagai pondasi paling dasar sebuah masyarakat yang sehat.
Perlu diketahui juga, bahwa masyarakat Italia sekarang ini tengah menghadapi beragam krisis sosial akibat dari kian menyebarnya tindak amoral dan rapuhnya bangunan keluarga di kalangan mereka. Koran Italia Corriere Della Sara menulis, lebih dari separuh anak-anak yang lahir di Italia merupakan hasil di luar nikah. Menurut koran ini, di Italia saat ini terdapat lebih dari 600 ribu orang homoseks. Sementara itu laporan lainnya menyebutkan, bahwa pada tahun 2005 angka pernikahan resmi di negara itu melorot tajam dan hanya tercatat sebanyak 250 ribu kasus.
Bagi mereka yang berpikiran sehat dan realistis, niscaya menerima bahwa bertahannya sebuah peradaban tergantung pada langgengnya fundamen keluarga. Jika hal itu diabaikan, tentu saja akan menimbulkan berbagai krisis sosial dan runtuhnya norma dan nilai-nilai kemasyrakatan.kita berharap pondasi paling dasar peradaban manusia ini dapat terus bertahan abadi, di mana seorang ayah, ibu dan anak-anaknya dapat hidup dalam kehangatan keluarga yang utuh, sehingga bisa menghadiahkan kedamian dan ketenangan bagi umat manusia.
Keluarga yang sehat dan harmonis, tentu memerlukan prinsip dan norma yang benar. Agama memberikan kita norma dan nilai-nilai yang paling mulia itu. Ajaran suci agama senantiasa mengamanatkan pada kita untuk selalu mempertahankan keharmonisan di antara anggota keluarga dan menyebarkan kehangatan dan kasih sayang di antara mereka dan di lingkungan masyarakat kita. Dengan begitu, akan bisa tercipta sebuah masyarakat madani yang harmonis, yang jauh dari konflik dan krisis sosial.
Dengan kata lain, agama melalui ajaran sucinya, mampu mengarahkan dan membentuk kehidupan manusia secara positif, dan mewujudkan keluarga yang sehat bagi masyarakat. Karena itu, para ahli menyarankan pada kita agar merujuk kembali pada ajaran agama dalam mengatur pernikahan dan tugas keluarga. Yang jelas, sekarang ini dampak negatif dari gaya hidup bebas ala Barat telah kian tampak nyata. Realitas pahit ini tentu semakin menambah berat tanggung jawab para ilmuan sosial dan agamawan untuk berusaha sekuat mungkin mempertahankan keberadaan bangunan keluarga dan mencari solusi serta kiat-kiat yang tepat dalam memecahkan krisis sosial yang tengah mengancam kelanggengan model keluarga tradisional.