Jalan Menuju Cahaya 906: Surat al-Zukhruf ayat 29-35
Surat al-Zukhruf ayat 29-35
بَلْ مَتَّعْتُ هَؤُلَاءِ وَآَبَاءَهُمْ حَتَّى جَاءَهُمُ الْحَقُّ وَرَسُولٌ مُبِينٌ (29) وَلَمَّا جَاءَهُمُ الْحَقُّ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ وَإِنَّا بِهِ كَافِرُونَ (30)
Tetapi Aku telah memberikan kenikmatan hidup kepada mereka dan bapak-bapak mereka sehingga datanglah kepada mereka kebenaran (Al Quran) dan seorang rasul yang memberi penjelasan. (43: 29)
Dan tatkala kebenaran (Al Quran) itu datang kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya.” (30)
Sunnah Ilahi dalam menghadapi manusia adalah kesempurnaan hujjah dan dalil. Selama ajaran kebenaran belum sampai kepada masyarakat, maka Allah Swt tidak meminta pertanggung jawaban mereka dan juga tidak mengazabnya. Allah Swt mengutus seorang nabi di tengah umat Arab dan dari kalangan mereka sendiri, sehingga mereka memahami ucapannya dan menyadari kebenaran dari ucapannya tersebut.
Namun demikian mayoritas umat, ketika kebenaran mendatangi mereka, mayoritas dari mereka menentangnya. Tak hanya menolak kebenaran, mereka malah menyebut nabi tersebut sebagai penyihir dan menolak beriman kepadanya. Meski demikian, Allah tidak mencabut nikmat materi dari mereka dan memberi mereka kesempatan, mungkin mereka menyadari kesalahannya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Apa yang datang dari Tuhan, sepenuhnya kebenaran. Jika manusia menetapkan hukum dan undang-undang yang bertentangan dengan ajaran Ilahi, maka sepenuhnya batil, meski hukum tersebut diikuti mayoritas masyarakat.
2. Seseorang yang memiliki nikmat kekayaan besar bukan alasan kebenaran mereka. Apalagi jika hal tersebut sebagai kesempatan dan ujian Tuhan bagi masyarakat.
3. Ketika manusia menyadari kebenaran maka hujjah telah sempurna bagi dirinya dan segala bentuk alasan untuk lari dari kebenaran adalah tanda kekufuran dan menolak kebenaran.
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَذَا الْقُرْءانُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ (31) أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (32)
Dan mereka berkata, “Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” (43: 31)
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (43: 32)
Ayat ini mengisyaratkan alasan musyrik Mekkah yang mengatakan, jika seharusnya ada seorang nabi yang diutus dari kalangan kami, maka ia harus sari salah satu pemuka kota Mekah atau kabilah, bukan seorang anak yatim yang dibesarkan oleh kakeknya dan tidak memiliki kekayaan duniawi.
Mereka menganggap seorang nabi tidak berbeda dengan pemimpin kabilah yang harus dipegang oleh sosok yang kuat, memiliki kekayaan besar dan posisi tinggi di tengah masyarakat. Selain itu, seluruh anggota kabilah harus tunduk terhadap perintahnya. Padahal seorang yang layak mencapai derajat kenabian adalah mereka yang telah mencapai kesempurnaan manusiawi, suci, benar perilakunya dan jujur; mereka yang memiliki karakteristik seperti pengetahuan, martabat dan keberanian serta menyadari penderitaan orang tertindas, sepanjang sejarah para nabi adalah orang-orang seperti ini.
Kelanjutan ayat ini menyatakan, “Memangnya wewenang kenabian berada di tangan manusia, sehingga apa yang mereka inginkan, lantas Tuhan memberi kenabian dan jika ada yang menentangnya maka Tuhan tidak memberikan posisi ini kepadanya? Allah Swt Maha Mengetahui segala hal batin hamba-Nya dan Ia lebih mengetahui dari yang lain siapa yang layak atas tanggung jawab ini dan siapa yang tidak layak.”
Di urusan duniawi, perbedaan yang tampak di antara masyarakat seluruhnya berdasarkan hikmah. Sejatinya jika seluruh dari sisi kecerdasan, potensi dan kemampuan fisik serta mental berada di level yang sama, maka sistem dan aturan sosial bakal hancur. Allah Swt menciptakan manusia berbeda dari sisi kemampuan berpikir dan fisik, sehingga siapa saja yang berminat dan mampu melakukan sesuatu hal, ia akan melayani yang lain dan orang lain pun memberi bantuan atas hal-hal yang dibutuhkannya. Karena mengelola kehidupan dan menjalaninya tidak mungkin dilakukan tanpa saling membantu.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di mata kebanyakan manusia, kebesaran dan keagungan dinilai berdasarkan kekayaan, kekuatan dan popularitas. Padahal menurut Tuhan, tolok ukur ini tidak berharga.
2. Nikmat materi dan maknawi tanda rahmat Ilahi terhadap manusia dan keduanya anugerah Tuhan. Ketika mata pencaharian manusia dibagi berdasarkan hikmah Ilahi, lantas bagaimana dengan kenabian yang merupakan hal-hal maknawi diserahkan kepada mereka (manusia)?
3. Keberadaan dan keselamatan masyarakat tergantung pada kerja sama timbal balik anggotanya dan memanfaatkan kemampuan beragam pemikiran serta fiksi para anggotanya. Dengan demikian perbedaan fisik dan berpikir anggota sosial dimaksudkan untuk menciptakan spirit saling membantu dan memenuhi kebutuhan yang lain. Bukan untuk berbangga dan melecehkan yang lain.
وَلَوْلَا أَنْ يَكُونَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمَنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفًا مِنْ فَضَّةٍ وَمَعَارِجَ عَلَيْهَا يَظْهَرُونَ (33) وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْوَابًا وَسُرُرًا عَلَيْهَا يَتَّكِئُونَ (34) وَزُخْرُفًا وَإِنْ كُلُّ ذَلِكَ لَمَّا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةُ عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ (35)
Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. (43: 33)
Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan atasnya. (43: 34)
Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (43: 35)
Emas dan perak serta perhiasan yang membuat manusia terpesona dan kemudian berlomba-lomba mengejarnya, tidak bernilai di sisi Tuhan. Jika kepemilikan orang kafir atas beragam nikmat materi tidak akan membuat orang yang cinta dunia condong kepada kekufuran, maka Tuhan akan menjadikan peralatan rumah orang kafir dari emas dan perak. Rumah dengan atap perak, bertingkat dan memiliki tangga, istana megah dengan berbagai pintu serta tempat duduk indah. Selain itu, Allah telah menyediakan bagi mereka beragam alat dan perhiasan dengan lukisan indah sehingga kehidupan materi mereka sempurna dari sisi manapun.
Jika Tuhan melakukan hal ini, maka itu supaya mereka sibuk dengan hal-hal buruk materi dan mengakhiri kehidupan fananya serta semua orang harus menyadari bahwa tolok ukur nilai dan kepribadian manusia bukan perhiasan dan bermegah-megahan di kehidupan duniawi.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Manusia awam akalnya seperti matanya, jika menyaksikan kehidupan orang kafir penuh kenikmatan dan bermegah-megahan, mereka menyangka jalan orang kafir tersebut benar dan mereka mengikutinya.
2. Nilai manusia terletak pada dirinya sendiri, bukan rumah, mobil dan perhiasan duniawi. Dengan kata lain, nilai setiap orang adalah kesempurnaan moral dan kemanusiaan, bukan hal-hal zahir dan diluar.
3. Jika di dunia kita bertakwa dan berbuat benar, maka kelak di Kiamat Tuhan akan membalasnya. Lebih baik dari yang dimiliki orang kaya di dunia, di akhirat kita akan memiliki hal yang lebih baik dan tidak dapat disamakan dengan di dunia.