Akidah, Pembebas Akal Manusia
Manusia adalah makhluk yang paling mulia, oleh Allah ia dijadikan sebangai khalifah di muka bumi yang memiliki kelayakan untuk mencapai derajat yang tinggi. Allah berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi, sedangkan kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan-Mu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’. [QS. Al-Hasyr: 8-9]
Di samping manusia memiliki kelayakan tersebut, manusia juga bisa menyamai kedudukan binatang. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya, ia mengulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, ia mengulurkan lidahnya (juga)”. [QS. Al-Hujurat: 13]
Atas dasar itu, akidah Islam memperhatikan kedua faktor kelemahan dan kekuatan yang dimiliki oleh manusia itu. Al-Quran juga memandang manusia sebagai makhluk yang lemah, gelisah (keluh kesah), tergesa-gesa, condong melampaui batas, lalim dan bodoh. [QS. Ash-Shaffa: 24]
Atas dasar itu pula, Islam tidak memaksanya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban berat yang melampui batas kemampuannya, baik secara lahiriah mapun batiniah. Allah berfirman: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya). [QS. At-Tahrim: 6]
Dengan demikian akidah Islam menganggap bahwa faktor-faktor kelemahan yang terdapat dalam dalam diri manusia adalah satu hal yang lumrah dan muncul bersama penciptaannya sebagai manusia. Oleh sebab itu, karena akidah Islam ingin membina manusia yang sempurna, maka Islam berusaha untuk menfokuskan perhatian manusia terhadap sisi positif dari keberadaannya (dan melupakannya dari faktor kelemahan yang dimilikinya).
Akidah Islam berperan membebaskan manusia dari berbagai hal yang akan menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan. Berikut di antara poin-poinnya.
Pertama, akidah Islam telah berhasil membebaskan manusia dari penindasan politik. Islam tidak merestui seseorang menindas sesamanya atau satu golongan menghina golongan yang lain.
Sepanjang sejarah, Islam adalah faktor utama bagi munculnya gerakan-gerakan kemerdekaan dan kebebasan. Bagaimanapun pandangan seseorang terhadap agama, ia tidak akan dapat melupakan faktor agamis dan pengaruhnya dalam memunculkan kesadaran revolusioner sepanjang sejarah Islam. Betapapun banyaknya penyelewengan yang telah menimpa kaum muslimin sepanjang sejarah, akan tetapi hal itu tidak mampu membasmi semangat revolusioner para pemeluk agama suci ini yang senantiasa berusaha memulihkan kembali agama tersebut (sehingga dapat berkiprah dalam kehidupan sehari-hari), membasmi kezaliman dan menjunjung tinggi hak-hak dan kehormatan seorang muslim. [At-Tafsirul Kabir 5: 223]
Imam Ali a.s berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya Adam tidak melahirkan budak dan sahaya. Dan sesungguhnya seluruh manusia adalah merdeka). [Usudul Ghabah, Ibnu Atsir 4:102/3783]
Hanya saja, Islam tidak memberikan kebebasan mutlak kepada manusia. Karena hal itu akan menyebabkan manusia bebas berbuat sesuka hatinya. Islam menentukan batasan-batasan yang jelas bagi kebebasan tersebut sehingga tidak terjadi kekacauan, harus ada keseimbangan antara kebebasan dan penghambaan
Kedua, akidah Islam mengikat hati insan muslim dengan tali Allah dan alam akhirat, telah berhasil membebaskannya dari jeratan hawa nafsunya. Hawa nafsu -menurut pandangan Ahlulbait a.s- adalah titik ketergelinciran yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, mereka lebih banyak mencurahkan perhatian mereka terhadap satu titik berbahaya ini.
Akidah Islam telah membekali akal seorang muslim dengan alat kontrol istimewa yang dapat mencegahnya dari penyelewengan atau lebih mementingkan dunia yang fana atas akhirat yang abadi (sebagai akibat dari mengikuti ajakan hawa nafsu).
Atas dasar itu, kita dapati perkataan, hikmah dan nasehat-nasehat Amirul Mukminin a.s banyak berhubungan dengan masalah hawa nafsu dan pentingnya kita menguasainya. Satu hal yang menarik kita perhatikan, pada masa pemerintahannya, Imam Ali a.s senantiasa berwasiat kepada para panglima perang dan gubernur beliau atas daerah-daerah kekuasaannya agar mereka menguasai jiwa dan hawa nafsu mereka. Pembinaan manusia tidak akan sempurna jika tidak disertai dengan penguasaan atas hawa nafsu.
Ketiga, akidah Islam telah berhasil membebaskan manusia dari menyembah alam, mengkultuskan dan takut atas fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya.
Allah SWT berfirman: “Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasan-Nya adalah malam, siang, matahari dan rembulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan bulan). [Ushulul Kafi 2: 308/2, Bab al-’Ashabiyyah]
Manusia pernah bingung dan takjub menghadapi fenomena-fenomena alam yang luar biasa ini. Ia tidak mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik keluarbiasaan itu. Oleh karena itu, ia mengkultuskannya dan mengajukan binatang-binatang korban yang berlimpah untuknya dengan harapan ia akan aman dari lahar-lahar gunung berapinya yang berkobar, gempanya yang memporak-porandakan (setiap yang terdapat di muka bumi ini), banjirnya yang dahsyat dan petir-petir apinya yang siap menghanguskan (setiap yang disentuhnya). Maka datanglah akidah menyingkap tabir-tabir yang menyelimuti akalnya dan membuka jalan di hadapannya lebar-lebar supaya ia memfungsikan alam ini semaksimal mungkin dan hidup damai berdampingan dengannya.
Keempat, akidah Islam telah berhasil membebaskan manusia dari keyakinan dan perilaku yang sarat dengan cerita-cerita bohong dan tahayul. Hal ini bertujuan untuk membasmi tabir-tabir hayalan yang bersemayam di dalam akalnya yang dapat menonaktifkan fungsi akal tersebut.
Rasulullah Saw bersabda: “Tidak termasuk golongan kami orang yang meramal (nasib) dan orang yang minta diramal, orang yang melaksanakan praktIk dukun dan orang yang meminta untuk didukuni atau orang yang menggunakan praktek sihir dan orang yang memohon darinya untuk melakukan hal itu demi kepentingannya). [Al-Ihtijaj, Thabarsi 1: 260]
Perlu diingat, mazhab Ahlulbait tidak mencela ilmu Nujum sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang dengannya manusia dapat mengetahui keagungan langit, dan selanjutnya ia akan memahami kebesaran Penciptanya. Mazhab ini mencela klaim sebagian orang yang mengaku mengetahui alam ghaib dengan ilmu Nujum tersebut.
*Disarikan dari buku Peran Akidah yang diterbitkan oleh Markaz Ar-Risalah