Benarkah Umar bin Khattab Mengingatkan Nabi Saw dan Ayat Turun Membenarkannya Sekaligus Menyalahkan Rasulullah?
Pada beberapa pembahasan sebelumnya telah banyak disinggung tantang riwayat yang bertentangan dengan kemaksuman Nabi Muhammad Saw serta argumentasi penolakan atasnya. Pada tulisan kali ini akan disebutakan hadits yang lain berkaitan dengan ayat ke 84 surah al-Taubah:وَ لا تُصَلِّ عَلى أَحَدٍ مِنْهُمْ ماتَ أَبَداً وَ لا تَقُمْ عَلى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَ رَسُولِهِ وَ ماتُوا وَ هُمْ فاسِقُون (Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) orang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik)
Dalam menafsirkan ayat ini tafsir Ibn Katsir, memuat riwayat sebab turunnya ayat tersebut dari Bukhari yang bertentangan dengan kemaksuman Nabi muhammad Saw:
“Ubaid bin Ismail menyampaikan hadits kepada kami dari Abu Usamah dari Ubaidullah dari Nafi’ dari Ibn Umar yang berkata: Ketika Abdullah bin Ubai meninggal “putranya Abdullah bin Abdullah datang menemui Rasulullah Saw, dan memintanya untuk memberi bajunya untuk kain kafan ayahnya, lalu dia memberikannya kepadanya, kemudian ia memintanya untuk menyolatkannya, lantas Rasulullah bangkit untuk menyolatinya. Kemudian Umar bangkit dan memegang baju beliau seraya berkata: Wahai Rasulullah! Apakah engkau menyolatkannya padahal Tuhanmu melarangmu untuk menyolatinya? Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Allah telah memberi saya pilihan, dengan firman-Nya: (Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka sebanyak tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka)[1], aku akan meminta ampun untuknya lebih dari tujuh puluh kali. Dia (Umar) berkata: sesungguhnya ia seorang munafik. Ia berkata: kemudian Rasulullah Saw menyolatkannya, maka Allah SWT menurunkan ayat: (Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) orang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya). Ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Abu Usamah Hammad bin Usamah.[2]”
Dari riwayat di atas ada beberapa hal yang dapat dipahami. Yang pertama: Rasulullah Saw tidak memahami makna zahir ayat tentang istigfar. Yang ke dua: Umar bin Khattab lebih tahu dari Nabi Saw. Yang ke tiga: setelah diperingatkan Umar bin Khattab, Nabi Saw tetap bersikeras untuk menshalati tokoh munafik tersebut. Dan ke empat: turun ayat yang membenarkan pendapat Umar dan menyalahkan Rasulullah Saw.
Dalam menanggapi riwayat di atas dan berbagai riwayat serupa, Allamah Thabathabai dalam tafsirnya memberikan penjelasan sekaligus sanggahan berikut:
“Riwayat-riwayat ini, disamping memuat sebagian kontradiksi dan pertentangan di dalamnya serta kontradiksi di antara mereka sendiri, juga tertolak dengan ayat-ayat mulia dengan cara yang jelas dan tidak ada keraguan padanya:
Pertama berdasarkan zahir dari firman Allah: (Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka sebanyak tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka) zahir yang nyata dalam menjelaskan bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut adalah tidak bermanfaatnya permintaan ampun terhadap orang-orang munafik, bukan bermakna pilihan. dan jumlah yang disebutkan bermakna banyak dan tidak ada makna khusus pada tujuh puluh, sehingga dengan menambah jumlah tersebut diharapkan adanya ampunan.
Dan Nabi Saw, lebih agung dari orang yang tidak mengetahui pemaknaan ini, sehingga dia memaknainya dengan pilihan, lalu berkata aku akan meningkatkannya menjadi tujuh puluh, lalu orang lain mengingatkannya tentang artinya, kemudian dia bersikeras pada ketidaktahuannya sampai Allah melarangnya dari shalat dan lainnya dengan ayat lain yang Dia turunkan kepadanya.
Padahal, semua ayat yang memaparkan pengampunan bagi orang-orang munafik dan menshalati mereka, seperti firmanNya:( Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka), firmanNya (sama saja atas mereka Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka) dan firmannya (Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) orang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya), meneyebutkan kekafiran dan kefasikan mereka sebagai alasan pelarangan dan ketidak bergunaan perbuatan tersebut, hingga firman Allah Swt dalam pelarangan istigfar bagi orang musrik: (Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (mereka), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam[3]) ayat 113 dari surat tersebut melarang permintaan ampun disebabkan kekafiran dan kekekalan mereka di neraka. Dengan demikian bagaimana bisa dibayangkan ada yang memahami kebolehan permintaan ampunan dan menshalati mereka (dari ayat tersebut)?
Dan ke dua: konteks ayat-ayat tersebut, termasuk ayat (Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) orang yang mati di antara mereka), jelas dalam hal bahwa ayat tersebut turun ketika Nabi Saw masih dalam perjalanan menuju Tabuk dan beliau belum kembali ke Madinah. Dan itu terjadi pada tahun ke delapan. Sedangkan peristiwa meninggalnya Abdullah bin Ubai di Madinah, terjadi pad tahun ke sembilan hijriah. Semua ini diterima berdasarkan dalil naqli.
Lantas bagaimana memahami perkataannya dalam beberapa riwayat tersebut? : “bahwa Nabi Saw menshalati Abdullah bin Ubai dan berdiri di kuburnya, lalu Allah Swt menurunkan ayat: (Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) orang yang mati di antara mereka).
Lebih aneh dari itu apa yang tertera pada sebgian riwayat yang telah lewat bahwa Umar berkata kepada Nabi Saw: apakah engkau akan menshalatinya padahal Allah Swt telah melarangmu menshalati orang-orang munafik. Kemudian Nabi berkata: Tuhan telah memyerahkan padaku untuk memilih, lalu Allah Swt menurunkan ayat: (وَ لا تُصَلِّ عَلى أَحَدٍ مِنْهُمْ)[4]”
Ringkasan dari bantahan yang diberikan oleh Allamah adalah:
Pertama: tidak mungkin Nabi tidak memahami ayat-ayat yang dijadikan umar sebagai alasan pelarangan beliau
Ke dua: bagaimana mungkin sahabat dalam hal ini Umar bin Khattab lebih tahu dari Nabi dalam memahami zahir ayat tersebut?
Yang ke tiga: dengan adanya peringatan dari sahabat, bagaimana Nabi tetap bersikeras dengan pendapatnya, sehingga perlua ada peringatan dari Allah?
Yang ke empat: bagaimana Rasulullah bisa salah sementara Umar bin Khattab benar dan mendapat dukungan ayat yang turun?
Yang ke lima: Siyaq atau konteks ayat menunjukkan bahwa ayat pelarangan menshalati kaum munafik turun dalam perjalanan menuju Tabuk pada tahun ke delapan, sedang meninggalnya Abdullah bin Ubai pada tahun ke sembilan. Maka tidak mungkin peristiwa tersebut sebgai sebab turunnya ayat.
Berdasarkan argumentasi di atas, riwayat tersebu mesti ditolak karena pada dasarnya bertentangan dengan kemaksuman Nabi Saw.
[1] Al-Taubah/ 80
[2] Ibn Katsir, Abu al-Fida Ismail bin Umar, Tafsir al-Quran al-Adzim, jil: 4, hal: 192-193, cet : Dar al-Tayyidah Li al-Nasyr wa al-Tauzi’, Riyad, 1418 H/ 1999 M, Ke dua.
[3] Al-Taubah/ 113
[4] Thabathabai, Muhammad Husain, al-Mizan Fi Tafsir al-Quran, jil: 9, hal: 366-367, cet: Jamaah al-Mudarrisin, Qom.