Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Berkah Terselubung

0 Pendapat 00.0 / 5

19 Ramadhan adalah hari duka bagi Islam dan kemanusiaan. Hari di mana Imam ‘Ali terkulai lemah akibat tebasan pedang yang dibenamkan oleh Ibnu Muljam. Tebasan yang kemudian berujung pada syahidnya Imam ‘Ali dua hari berikutnya. Tebasan yang membuat Islam dan kemanusiaan terkulai lemah. Selama hidupnya Imam ‘Ali berbakti dan mengabdi untuk Islam dan kemanusiaan. Dua hal yang tak terbantahkan dalam lembaran sejarah. Sejarah tidak akan pernah melupakan peran yang dimainkannya dalam membangun peradaban Islam dan kemanusiaan. Kita patut berduka sekaligus bergembira atas kepergiannya. Berduka karena umat manusia tidak lagi memiliki jelmaan keadilan Tuhan di muka bumi. Bergembira lantaran kematian di jalan Tuhan baginya adalah kejayaan dan kemenangan. Lahir di Ka’bah rumah Tuhan dan syahid di mihrab masjid Kufah kediaman Tuhan lainnya. Selangit keutamaan yang dimilikinya tak mampu ditandingi oleh siapa pun dari para sahabat Rasul. Cukup bagi kita keutamaan yang disebutkan oleh Sang Guru kinasihnya, Rasulullah Saw tatkala ia maju ke medan laga berduel dengan Amr bin Abduwud: ”Kini keimanan seluruhnya bangkit melawan kemusyrikan seluruhnya.” ‘Ali tatkala diutus tidak kembali kecuali membawa kemenangan gemilang.

Pada perang itu, ‘Ali sekali lagi membawa kemenangan dan kejayaan bagi kaum Mukminin dengan menumbangkan dan menebas jawaran kaum Musyrikin, “Tebasan pedang Ali atas Amr bin Abduwud menandingi pahala ibadahnya seluruh tsaqalain.” Demikian Rasulullah Saw menyambut kemenangan ‘Ali. Haidar Qarrar merupakan julukan yang diberikan kepadanya karena keprawiraannya laksana singa yang ketika memburu mangsanya tidak akan kembali kecuali dengan menerkam, menerjang dan membawa hasil dari buruannya. Siapa yang berani berdiri berhadap-hadapan dengan ‘Ali? Siapa yang nekat menghunus pedangnya di hadapan ‘Ali? Hanyalah orang pengecut yang telah berputus asa berani menghunus pedang di belakang ‘Ali itu dalam keadaan ia sementara asyik berdua-duaan dengan Kekasihnya? Kepengecutan inilah yang menghasut Ibnu Muljam untuk menerjangnya dalam shalat di kegelapan malam. ShallalLahu ‘alaika Yaa Amiral Mukminin…

Di hari kesembilanbelas ini tema doa kita berkisar pada masalah berkah, segala kebaikan (khairat), hasanah dan kebenaran yang nyata.

اَللَّهُمَّ وَفِّرْ فِيْهِ حَظِّيْ مِنْ بَرَكَاتِهِ وَ سَهِّلْ سَبِيْلِيْ إِلَى خَيْرَاتِهِ

وَ لاَ تَحْرِمْنِيْ قَبُوْلَ حَسَنَاتِهِ يَا هَادِيًا إِلَى الْحَقِّ الْمُبِيْنِ

Ya Allah, sempurnakanlah bagianku di bulan ini dengan berkahnya, permudahlah jalanku untuk menempuh kebaikannya, dan janganlah Kau halangi diriku untuk menerima kenikmatannya , wahai Penunjuk Jalankepadakebenaran yang nyata.

اَللَّهُمَّ وَفِّرْ فِيْهِ حَظِّيْ مِنْ بَرَكَاتِهِ

“Ya Allah, sempurnakanlah bagianku di bulan ini dengan berkahnya”

Semalam adalah malam 19 Ramadhan. Malam yang disebut dalam kitab suci sebagai salah satu dari malam Lailatul Qadar. Dalam mazhab Ahlubait, malam-malam 19, 21, 23 merupakan malam-malam Lailatul Qadar. Malam-malam yang penuh dengan keutamaan dan kemuliaan. Keutamaan, keberkahan dan kemuliaan yang terkandung di dalamnya adalah lebih baik dari seribu bulan. Alangkah bahagianya mereka yang mengisi malam-malam ini penuh dengan amalan dan ibadah.

Pada hari-hari dari malam-malam ini dapat kita sebut sebagai Yaumul Qadar. Misalnya hari ini yaitu hari 19 dapat kita sebut sebagai hari Qadar. Allah Swt menurunkan segala kebaikan, keberkahan dan emanasi-Nya di malam Lailatul Qadar. Dan pada hari Yaumul Qadar segala keberkahan Ilahi juga turun tercurah. Setiap hari, setiap menit bahkan setiap detik berkah Ilahi senantiasa tercurah. Namun apakah yang dimaksud dengan berkah ini?

Berkah merupakan sebuah hakikat yang tampak dari maknanya yang merupakan kondisi maknawi dan kualitas yang diberikan Tuhan pada apa dan siapa pun. Berkah yakni kebaikan yang melimpah dan lestari. Berkah maksudnya adalah nilai-nilai yang abadi.

Untuk menjelaskan makna berkah ini, saya mengajak Anda untuk mengikuti kisah berikut ini:

“Salah seorang sahabat Rasulullah Saw membawakan 12 Dirham supaya dibelikan baju. Rasulullah Saw bersabda kepada Ali As untuk menyediakan baju dengan sejumlah uang tersebut.

Tatkala baju yang dibelikan dibawa ke hadapan Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Sekiranya baju ini diganti dengan yang kasar. Karena aku tidak suka mengenakan pakaian untuk berbangga-bangga.” ‘Ali As menyerahkan baju itu kembali dan membeli baju seharga 4 Dirham. Di tengah jalan ada seorang fakir memohon diberikan baju, ‘Ali As menyerahkan baju tersebut dan kembali pergi membeli baju seharga 4 Dirham.

Di tengah jalan ‘Ali melihat seorang budak wanita menangis karena kehilangan uang 4 Dirham dan takut untuk pulang ke rumah. ‘Ali As membelikan apa yang diinginkan oleh budak wanita itu, namun ia tetap saja menangis. ‘Ali bertanya: “Mengapa engkau masih menangis?” “Aku takut kembali ke rumah karena sudah terlambat. Tuanku tentu akan menghajarku,” imbuhnya.

Baginda ‘Ali As menyertai budak wanita itu kembali ke rumahnya sehingga tidak dimarahi. Pemilik budak itu seorang wanita menyerahkan budak itu kepada Rasulullah Saw sebagai hadiah dan Rasulullah Saw membebaskan budak itu dan kemudian bersabda: “Wahai ‘Ali! Alangkah berkahnya 12 Dirham itu, membusanai dua orang telanjang, dan membebaskan seorang budak.”

Kisah ini merupakan contoh dari keberkahan uang. Namun keberkahan terkadang berkaitan dengan usia dan waktu, bertautan dengan perbuatan dan peristiwa. Sedemikian sehingga terkadang di balik sebuah peristiwa atau perbuatan yang tak terrencana kemudian membuahkan hasil yang baik, kita menyebutnya sebagai berkah terselubung (blessing in disguise), untuk memberikan corak dan warna kebaikan atas peristiwa atau perbuatan itu.

Tatkala Allah Swt menganugerahkan keberkahan pada usia manusia. Manusia mengambil banyak keuntungan dari keberkahan usia ini, memanfaatkannya semaksimal mungkin dan dapat memahami makna hidup dan kehidupan. Ulama dan pembesar agama adalah contoh bagi mereka yang memiliki usia yang penuh berkah. Pelayanan ilmiah, sosial dan politik mereka lakukan semasa hidupnya yang membuat mereka senantiasa lestari.

Misalnya Imam Khomeini yang melewati hidupnya dengan penuh pengabdian di jalan ilmu, sosial dan politik. Karya-karya di berbagai bidang ilmu, sosial dan politik merupakan warisan berharga yang ditinggalkan oleh Imam Khomeini untuk kemanusiaan dan kaum Muslimin. Republik Islam Iran merupakan persembahan monumental Imam Khomeini kepada dunia, khususnya dunia Islam. Imam Khomeini mampu meniupkan nafas “kebangkitan” dan mengajarkan bagaimana melawan arogansi dan tirani dunia.

Kita memohon kiranya Allah Swt menyempurnakan keberkahan yang terpendam di bulan ini dan dengan bekal berkah Ramadhan yang tercurah khususnya di malam lailatul Qadar dapat menjadi pemandu cerlang bagi kita untuk menebarkan dan menyebarkan berkah yang kita terima dalam bulan penuh berkah ini.

وَ سَهِّلْ سَبِيْلِيْ إِلَى خَيْرَاتِهِ

“Permudahlah jalanku untuk menempuh segala kebaikan yang terkandung di dalamnya.

Untuk sampai kepada kebaikan di bulan penuh berkah ini harus melintasi banyak rintangan. Orang yang ingin sampai pada kebaikan di bulan ini harus mempersiapkan dirinya dan bergabung dengan “jihad akbar.” Harus berperang dengan hawa nafsu dan syahwat rendah. Menutup mulut dari ucapan sia-sia, menahan marah yang berlebihan. Menahan perut dari makanan haram, menundukkan pandangan dari perbuatan dosa, menahan tangan dari berbuat dosa.

Kesemua ini dapat terlaksana berkat pertolongan Ilahi. Berkat pertolongan-Nyalah kita dapat mengayunkan langkah kaki di jalan kebaikan ini. Sebagaimana pada doa-doa sebelumnya telah kita bacakan bersama, sumber segala kebaikan adalah dari-Nya.

Segala kebaikan (khairat) juga seperti segala berkah (barakat) bersumber dari kebaikan Ilahi.

Khair, menurut Raghib Isfahani, adalah sesuatu yang membuat orang ingin memilikinya seperti akal, keadilan, keutamaan dan segala yang bermanfaat. Dan lawan katanya adalah syar.

Kebaikan ialah sebuah perbuatan yang dapat melesakkan manusia kepada kebahagiaan. Kebaikan terkadang pada harta, pada suatu waktu tertentu, pada usia, ilmu, anak, kesehatan, pada jiwa, pada badan, pada istri, pada bumi, pada langit dan pada hal-hal yang lainnya yang digunakan untuk beribadah dan taat kepada Allah Swt.

Tetapi apa segala kebaikan yang terkandung di bulan ini?

Barangkali yang dimaksud adalah ketaatan dan ibadah di bulan ini seperti: “berpuasa, bangun pada waktu sahur, membaca al-Qur’an, berdoa dan bermunajat, memberikan makanan kepada fuqara, mengasihi anak yatim, menghidupkan malam-malam ganjil (malam lailatul Qadar), bertobat dari dosa-dosa. Kesemua ini dapat disebut sebagai kebaikan.

Namun apakah sebaik-baik dan seutama-utama kebaikan itu? Jawabannya terdapat pada doa qunut shalat Idul Fitri dan Idul Adha dimana kita berdoa “Wa an tadkhuluni fii kulli khair adkhalta fihi muhammadan wa Ali Muhammad”(dan [Engkau] masukkan aku dalam setiap kebaikan yang telah Kau masukkan di dalamnya Muhammad dan keluarga Muhammad).” Iya seutama-utama kebaikan adalah wilayah Ahlulbait As.

Kita berdoa kepada Allah Swt untuk memudahkan kita menempuh segala kebaikan yang terkandung di dalamnya, dan menganugerahkan kita sebaik-baik kebaikan yaitu berwilayah kepada Ahlulbait As.

وَ لاَ تَحْرِمْنِيْ قَبُوْلَ حَسَنَاتِهِ

“Dan janganlah Kau halangi diriku untuk menerima kenikmatannya”

Boleh jadi manusia melakukan perbuatan baik namun tidak memperoleh hasilnya dan tidak diterima di sisi Allah. Karena ia tidak memperhatikan sisi kejujuran dan ketulusannya. Kriteria dan teraju seluruh perbuatan bukan hanya terbatas pada sisi skin-deep saja, namun yang penting adalah diterima atau tidaknya. Pada doa hari ketujuhbelas, kita telah membahas masalah tipologi perbuatan kapan ia disebut sebagai amal shaleh. Di sini kita tidak akan mengulangnya lagi.

Dalam frase doa ini kita bermohon untuk menerima hasanah (kebaikan yang berujung pada kenikmatan) dari bulan Ramadhan ini. Hasanah dalamMufaradât al-Qur’ân didefinisikan sebagai setiap kenikmatan (duniawi atau ukhrawi) yang menyebabkan kebahagiaan dan keceriaan manusia. Lawan katanya adalah sayyia’. (Raghib al-Isfahani) Dalam bahasa Indonesia antarakhair dan hasanah, keduanya diterjemahkan sebagai kebaikan.

Dalam al-Qur’an terdapat doa semuanya kita hafal di luar kepala. Doa itu adalah doa sapu jagat, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Al-Baqarah [2]:201) Hasanah dalam doa ini ditafsirkan oleh sebagian mufassir sebagai istri yang cantik dan shaleha di dunia dan bidadari di akhirat. Tentu dalam mazhab Ahlulbait hasanah lebih menjulang dan tinggi dari semua ini.

Hasanah di sini, sebagaimana khairat, adalah wilayah Ahlulbait As. (Bayan-e Rasa, hal. 414)

Kepada Allah Swt kita memohon kiranya kita dapat menerima hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Dimana hasanah yang tertinggi adalah wilayah Ahlulbait As.

يَا هَادِيًا إِلَى الْحَقِّ الْمُبِيْنِ

Wahai Penunjuk Jalan kepada kebenaran yang nyata

Di hari ini kita bertawassul kepada salah satu nama Tuhan, al-Hadi. Al-Hadi maksudnya adalah pemberi petunjuk. Dialah Tuhan yang memberikan petunjuk kepada seluruh makhluk di alam semesta. Adapun makna Hak di sini bermakna dirinya sendiri. Dan mencakup agama yang benar, termasuk wujud dan termasuk Haq Swt. Agama yang hak adalah agama yang diterima Allah Swt. Haq artinya tsabit (tetap), maujud (eksis) dan wujud (esksiten). Wujud lawan kata dari batil. Batil artinya tiada dan ketiadaan. Dan segala sesuatu selain-Nya adalah batil dan tiada.

Mubin artinya nyata dan benderang. Hak yang dijelaskan sebelumnya maksudnya Tuhan yang Nyata, dimana seluruh orang yang melihat melihatnya. Seluruh semesta ini dipenuhi keberadaan. Tiada sesuatu yang adam (tiada). Seluruh yang ada adalah keberadaan. Sungguh buta sekiranya ada orang yang tidak melihat realitas ini apatah lagi menolaknya. Dalam doa Arafah Imam Husain As berkata: “‘Amiyat ‘Ainun laa taraKa” (Sungguh buta mata yang tidak melihat-Mu). Mari kita meminta petunjuk kepada Allah Swt, dengan bertawassul dengan nama Tuhan, al-Hadi (Pemberi Petunjuk) untuk menunjukkan segala sesuatu dengan nyata dan benderang. Atau lebih tinggi dari itu, “Menunjukkan sesuatu sebagaimana adanya.” Sebagaimana pinta Rasulullah Saw, Allahumma arini al-Asya kama hiya… Ilahiii. Amin.