Adu Konsep Pemikiran Tentang Ego: Antara Sigmund Freud dan Al-Ghazali (2)
Dalam terminologi agama, kehidupan yang hedonis dan menuruti kesenangan sesaat, identik dengan keterjebakan manusia ke dalam lorong-lorong kegelapan. Hal ini selaras dengan tesis Jonathan Haidt, yang menegaskan bahwa seorang mistikus dan kaum sufi merasa tidak silau dengan materi dan kehidupan hedonistik. Haidt mengambil teladan dari Sidharta Gautama, yang pernah menyatakan bahwa kebahagiaan itu berasal dari dalam hati dan kalbu manusia. Meski menurut sebagian generasi milenial, suasana dan kondisi kebatinan, tidak selalu menjadi sumber utama untuk mencapai fase kebahagiaan hidup. Karena bagaimanapun, toh Sidharta pernah menikmati masa-masa kesenangan dan kenikmatan hidup di dalam istana. Sampai kemudian, ia mencapai fase kesadaran (al-lawwamah), bahwa segala aksesoris duniawi, makanan lezat, hingga jabatan tinggi, bukanlah sumber utama yang menyebabkan pikiran dan perasaan dapat terkoneksi dengan kesejatian.
Jadi, perlu juga melewati fase “kemakmuran awal” yang bersifat badaniyah dan aqliyah. Konsep inilah yang digagas Al-Ghazali dalam karyanya “Kimiya as-Sa’adah”, bahwa fase kesenangan dunia atau kemakmuran awal, merupakan satu-kesatuan dalam pencapaian kualitas kebahagiaan yang bersifat ukhrawi. Dalam konteks ini, Rasulullah pernah memperingatkan bahwa kefakiran dan kemiskinan, akan mudah menggelincirkan manusia ke dalam kekufuran (kesesatan). Kita pun bisa memahami, meskipun Muhammad muda berusia 25 tahun punya hak untuk menolak Khadijah, janda yang sudah menginjak 40 tahun. Namun, wanita dewasa yang cerdas dan matang itu, seakan terbaca oleh pengamatan Muhammad, bahwa ia telah tercukupi segala-galanya, dengan demikian telah melampaui fase kemakmuran awalnya.
Di sisi lain, Al-Ghazali menandaskan, bahwa kecerdasan akal adalah bagian dari jiwa manusia yang harus dipenuhi nutrisinya dengan ilmu yang berkualitas. Jika banyak hal dalam hidup ini yang tidak dipahami, manusia akan cenderung galau dan tidak tenang. Akal pikiran manusia, perlu dipenuhi gizinya dengan banyak menuntut ilmu, agar terampil memahami segala sesuatu.
Fase kemakmuran awal lebih bersifat badaniyah, seperti kecukupan sandang, pangan, beristri atau bersuami, berkeluarga, berbadan sehat, hingga memiliki kedudukan dan popularitas. Akan tetapi, segala kesenangan yang bersifat hewani (id) tidak ada batasnya, jika tidak dibatasi oleh kesadaran diri. Maka, nafsu al-lawwamah ibarat rem kendaraan yang pakem, di mana manusia harus terampil mengolah dan mengendalikan dirinya agar tidak kebablasan.
Kita butuh harta, butuh istri dan keluarga, bahkan kita pun butuh diakui dan dihormati. Akan tetapi, kita harus sadar bahwa semuanya itu tidak bersifat abadi, karena hakikatnya hanya Allah-lah yang sesungguhnya layak dipuji dan diagungkan. Jika sampai pada fase kesadaran ini, bahwa semua yang dimiliki hanya titipan, bahwa semua hanyalah milik Allah semata, maka derajat manusia untuk mencapai fase nafsu “al-muthmainnah” akan terasa mudah dan ringan.
Betapa banyak orang menderita di era milenial ini, karena disibukkan oleh tampilan merek, seakan-akan segala aksesoris itu lebih berharga daripada dirinya. Betapa banyak orang diperbudak oleh hasrat keinginan duniawi, hingga mereka selalu galau, nelangsa dan kehilangan harga dirinya. Meminjam istilah yang sering dipakai Abdullah Gymnastiar, bahwa konsep zuhud tidak identik anti dunia dan skeptis pada kebutuhan materi, tetapi nilai dan harga diri manusia jangan sampai diperbudak oleh hasrat dan keinginan duniawi yang materialistik dan meninabobokan.
Kekayaan sebanyak apapun takkan ada nilainya jika tidak disertai keberkahan. Untuk itu, pemikir sekelas Einstein nampaknya telah sampai kepada konsep spiritualitas ini, bahwa hidup sederhana dan bersahaja, jauh lebih baik ketimbang kesibukan mengejar target kesuksesan (hiper modern), bersama segala keruwetan yang akan terus-menerus menyertainya.
Lebih lanjut menurut Al-Ghazali, fase nafsu al-muthmainnah dapat mengantarkan manusia pada kelapangan hati yang bersifat taufiqiyah. Artinya, kita harus menyadari bahwa kemakmuran awal yang kita peroleh selama ini tak lain sebagai karunia Allah yang diberikan kepada hamba-hamba yang dikasihi-Nya. Inilah yang membedakan anugerah dari segala keberhasilan yang bersifat istidraj (juggernaut). Karena, kenikmatan dan kesuksesan sehebat apapun akan menjadi “bom waktu” jika Allah tidak meridhoinya.
Sebab, dasar dari kebahagiaan sejati adalah kenikmatan hidup yang disyukuri, dan bersifat taufiqiyah. Tidak membuat penikmatnya selalu dipusingkan oleh keruwetan yang menyempitkan hati dan pikiran.
Rasa syukur atas kenikmatan itulah yang membuat manusia bersikap humanis dan rendah-hati kepada sesamanya, serta rendah-diri di hadapan Tuhannya. Sifat-sifat malakut telah melekat dalam dirinya, sehingga bujuk-rayu setan dan iblis (yang terbuat dari api) senantiasa akan menghindar dan menjauh darinya. Kekuatan api hanya akan terkoneksi dengan sifat-sifat manusia yang takabur, angkuh, dan selalu menyombongkan dirinya.
Sedangkan, orang yang tenteram jiwanya, kehadirannya senantiasa membuat orang merasa aman dan nyaman, karena ia telah selesai dengan dirinya, dengan demikian akan mudah membahagiakan sesamanya.
Jadi pada prinsipnya, Al-Ghazali menekankan keselarasan antara duniawi dan ukhrawi, sebagaimana kesejajaran antara kebutuhan badaniyah dan nafsiyah. Kita harus proporsional memberikan nutrisi bagi kebutuhan fisik dan rohani, baru kemudian tercipta ketenangan dan kenikmatan jiwa (muthmainnah) yang akan mudah mencapai ending secara husnul khatimah. Setelah itu, kita pun akan ringan dan dimudahkan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Insya Allah. (*)