Apa perbedaan antara imam dan khalifah? (2)
Kadangkala pula terjadi, yang terwujud pada seseorang adalah khilâfah, bukan imâmah, yaitu mungkin seseorang adalah khalifah dan pelanjut, akan tetapi ia bukan seorang imam, misalnya jika Rasulullah menempatkan seseorang sebagai pengganti dan khalifahnya, dan ia diserahi serangkaian tugas tertentu yang harus ia laksanakan dalam ketidakhadiran beliau, maka kepada orang seperti ini, dari sisi leksikal bisa dikatakan sebagai khalifah Rasul, akan tetapi tidak termasuk sebagai imam mutlak dan pemimpin dalam seluruh tingkatan.
Demikian juga jika sebuah bangsa memilih salah seorang diantara mereka dan salah satu dari tugas-tugas Rasul diserahkan kepadanya, bisa jadi, sesuai akidah mereka, orang ini disebuat sebagai khalifah, dan secara leksikal hal seperti ini tidak bermasalah, akan tetapi imâmah mutlak dan pemimpin hakiki tidak benar untuknya.
Dari pandangan al-Quran, pengangkatan dan kedudukan imâmah memiliki maqam yang khas, dan al-Quran menganggapnya sebagai tahapan akhir kesempurnaan manusia dimana hanya orang-orang terbatas yang bisa sampai ke maqam ini, sebagaimana firman-Nya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”[6]
Dengan yakin makam imâmah yang diberikan kepada nabi Ibrahim ini merupakan makam dan kelayakan tertinggi yang diperoleh oleh Nabi Ibrahim dari Allah Swt setelah melewati sekian banyak ujian. Oleh karena itu penunjukan imâmah bahkan lebih tinggi dari kenabian. Tentunya kedudukan imâmah dan kenabian dalam beberapa kasus terkumpul menjadi satu, seperti pada para nabi ulul azmi.
Syiah, bertolak belakang dengan keyakinan Ahlusunnah, meyakini bahwa imâmah, yang tak lain adalah penerus Rasul Saw, sebagaimana kenabian, merupakan sebuah maqam penunjukan –bukan pemilihan- dan pemegang maqam ini ditentukan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, imam dalam segala dimensinya –kecuali dalam masalah perolehan wahyu- selangkah dan sejajar dengan Rasul.
Akan tetapi, Ahli Sunnah menganggap pelanjut Rasul sebagai sebuah kedudukan yang diberikan oleh masyarakat –bukan sebuah penunjukan Ilahi- yang diberikan kepada khalifah melalui masyarakat, dan khalifah ini menduduki jabatan ini karena pemilihan.
Dalam pandangan Syiah, kedudukan seperti ini (imâmah) baru akan dianggap legal dan sah ketika atas penunjukan Ilahi, dan orang yang dari awalnya memiliki kedudukan seperti ini, haruslah maksum dan terbebas dari segala kesalahan dalam menyampaikan hukum-hukum dan ajaran-ajaran Islam, demikian juga harus bebas dari segala dosa dan kesalahan.
Dengan demikian, perbedaan Syiah dan Ahli Sunnah dalam masalah imâmah, tampak dalam tiga hal:
Imâmah adalah penunjukan Ilahi,
Ilmu imam adalah ilmu pemberian Allah dan bebas dari segala kesalahan,
Kemaksuman dan kesucian imam.
Tentunya, kemaksuman tidaklah sama dengan imâmah, karena dalam keyakinan Syiah, Hadhrat Fatimah az-Zahra Salamullah ‘alaiha juga maksum, kendati beliau tidak memiliki kedudukan imâmah. Demikian juga Hadhrat Maryam juga memiliki kedudukan ismah ini.
Kadangkala sebagian orang mengkritik masalah seperti ini dan mengatakan bahwa masalah khilâfah dan pelanjut Rasul merupakan sebuah masalah sejarah yang berkaitan dengan masa lalu, lalu apa manfaatnya kita terus membahas masalah seperti ini?
Menurut Syiah, keyakinan terhadap imâmah memiliki efek dan pengaruh yang signifikan, dimana pengaruh ini tidak akan diperoleh melalui keyakinan terhadap khilâfah.
Pertama: imâmah merupakan usuluddin dan kelanjutan dari kenabian, karena Syiah menganggap imâmah merupakan lanjutan dari tanggungjawab-tanggungjawab dakwah dan bimbingan Rasul. Oleh karena itu, agama hingga akhir dunia akan senantiasa hidup.
Kedua: bahasan mengenai model pemerintahan yang merupakan salah satu dari pembahasan paling krusial, mengikut masalah ini. Di dalam al-Quran dan hadis terdapat ratusan hukum dan aturan yang berkaitan dengan hakim dan penguasa. Jika maqam imâmah merupakan sebuah maqam penunjukan, maka pelaksanaan hukum-hukum ini harus diserahkan kepada orang-orang yang telah ditunjuk oleh Allah untuk memegang tanggungjawab kepemimpinan umat.
Ketiga: masalah penjelasan prinsip-prinsip, ajaran-ajaran, penjelasan hukum-hukum furu’uddin dan bimbingan manusia[7] merupakan satu lagi dari hasil topik kalam ini dimana imam yang bertanggungjawab atasnya.
Tujuan-tujuan di atas hanya akan terpenuhi melalui bimbingan manusia-manusia terpilih dimana kapasitas wujud mereka memiliki kemampuan untuk menjelaskan peran detil agama Islam dan hal ini akan diperoleh melalui keyakinan terhadap imâmah. []
[1]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsîr Tasnîm, jil. 3, hal. 56.
[2]. Ibnu Manzhur, Lisân al-Arab, jil. 14, hal. 29, kata alif mim.
[3]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jil. 4, hal. 180.
[4]. Ibid, hal. 420.
[5]. Ibnu Khaldun, Muqadimah, hal. 191.
[6]. (Qs. Al-Baqarah [2]: 124)
[7]. Hidayah batin dari hal-hal yang menurut akidah Syiah merupakan karakteristik-karakteristik imam, dan karakteristik seperti ini tidak terdapat pada pengertian khalifah.