Komunikasi dalam Ilmu Irfan
Ilmu Irfan, Di dalamnya terdapat konsep-konsep penting dan inti dan mendalam tentang hubungan antara manusia dan penciptanya. Salah satu aspek yang tak terelakkan dalam ilmu Irfan adalah relasi komunikasi yang kompleks antara manusia dengan manusia, serta utamanya manusia dengan Tuhan.
Komunikasi dalam ilmu Irfan bukan hanya sebatas proses verbal atau fisik seperti dalam komunikasi sehari-hari. Lebih dari itu, komunikasi dalam Irfan merupakan pertukaran yang bersifat spiritual, di mana manusia berusaha untuk mencapai pemahaman mendalam tentang hakikat Tuhan dan eksistensinya. Dalam konteks ini, komunikasi menjadi jembatan untuk menyatu dengan keberadaan ilahi.
Salah satu konsep sentral dalam relasi komunikasi hamba dengan Tuhan dalam ilmu Irfan adalah “munajat”, relasi intim dengan Tuhan. Munajat merupakan bentuk komunikasi batiniah antara manusia dengan Tuhan. Ini adalah wujud dari keinginan manusia untuk memperdalam hubungan dengan Sang Pencipta melalui introspeksi, pengakuan dosa, dan permohonan ampunan. Munajat menjadi medium di mana manusia menyampaikan perasaan, kerinduan, dan pengabdian kepada Tuhan, seolah-olah berbicara langsung dengan-Nya.
Dalam ilmu Irfan, komunikasi juga melibatkan aspek “dzikr” atau mengingat Tuhan. Ini bisa berupa doa atau kalimat-kalimat pujian yang diulang-ulang dalam rangka mengingat kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan. Dzikr menjadi cara untuk menjaga kesadaran akan keagungan Tuhan dan memperkuat hubungan spiritual.
Rumi (Jalaluddin Rumi). Rumi adalah seorang penyair, filosof, dan sufi terkenal dari abad ke-13. Ajaran-ajarannya, yang sering diekspresikan melalui puisi-puisi dan cerita, mengajarkan tentang cinta dan komunikasi dengan Tuhan melalui bahasa cinta universal. Melalui lantunan syair yang indah namun sangat dalam dari sisi makna.
Ibn Arabi (Muhyiddin Ibn Arabi). Ibn Arabi adalah seorang filosof dan sufi besar dari abad ke-12. Dia mengembangkan konsep “wahdat al-wujud” (kesatuan eksistensi) yang berbicara tentang hubungan erat antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Ajarannya mengajarkan tentang komunikasi mendalam dan penyerahan diri kepada Tuhan.
Abdul Qadir al-Jilani. Dikenal sebagai pendiri tarekat Qadiriyyah, al-Jilani mengajarkan tentang aspek-aspek mendalam dalam komunikasi dengan Tuhan melalui praktik-praktik spiritual, seperti dzikir dan introspeksi. Tahlilan yang menjadi media komunikasi dengan Tuhan yang dilakukan oleh banyak dari warga Indonesia adalah peninggalan Syaikh berdarah persia ini.
Sayyid Muhammad Husayn Husayni, yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra, adalah seorang filsuf dan teolog Islam terkenal dari abad ke-17. Dia dikenal karena mempengaruhi pemikiran filsafat dan mistik Islam dengan konsep-konsepnya yang mendalam tentang eksistensi, metafisika, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Meskipun tidak ada catatan spesifik tentang bagaimana Mulla Sadra berkomunikasi dengan Tuhan secara pribadi, ajarannya memberikan pandangan tentang bagaimana seseorang dapat mencapai pemahaman mendalam tentang realitas ilahi.
1. Hikmah (Kearifan) Metafisika. Mulla Sadra mengembangkan konsep eksistensi sebagai suatu realitas tunggal yang mencakup semua eksistensi individual. Baginya, Tuhan adalah eksistensi yang sempurna dan menjadi sumber segala eksistensi lainnya. Oleh karena itu, komunikasi dengan Tuhan dipahami sebagai pengetahuan dan pengalaman akan realitas yang mendasari semua eksistensi.
2. Tafakkur (Meditasi) dan Tahqiq (Penyelidikan). Mulla Sadra menekankan pentingnya meditasi dan penyelidikan filosofis dalam mencari pemahaman tentang Tuhan. Menurutnya, dengan merenung dan mempertimbangkan realitas eksistensi, manusia dapat mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan dan hakikat eksistensi.
3. Wilayah Antara (Barzakh). Konsep “Barzakh” dalam pemikiran Mulla Sadra mengacu pada wilayah antara dunia materi dan roh. Ia berpendapat bahwa jiwa manusia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan alam rohaniah melalui tahap-tahap tertentu yang terletak di wilayah ini. Ini mengisyaratkan bahwa melalui tahapan seperti meditasi dan kontemplasi, manusia dapat merasakan kehadiran Tuhan secara lebih mendalam. Berkomunikasi dengan Tuhan dengan pengalaman yang berbeda dan secara serius serta mendalam.
4. Intuisi (Shuhud): Mulla Sadra mengajarkan bahwa intuisi atau penglihatan batiniah adalah cara bagi manusia untuk merasakan keberadaan Tuhan. Dalam keadaan tertentu, manusia dapat mencapai pengalaman spiritual yang mendalam yang memungkinkan mereka merasakan kehadiran ilahi dalam diri. Dia berfirman, Dia selalu bersama kalian dimanapun kalian berada (Qs. Al-Hadid: 04)
5. Pemahaman Mistik dan Filosofis: Karya-karya Mulla Sadra, seperti “Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arba’ah” dan “Asfar al-Arba’ah” (“Empat Perjalanan”), memberikan pandangan komprehensif mengenai cara mencapai pengetahuan tentang Tuhan melalui pemahaman filosofis dan mistik yang terintegrasi.
Selain komunikasi dengan Tuhan, relasi komunikasi dalam ilmu Irfan juga mencakup hubungan dengan sesama manusia. Konsep “muhasabah” atau introspeksi diri menjadi penting dalam menjaga hubungan harmonis dengan orang lain. Dalam muhasabah, manusia mengkaji ulang perilaku dan niat mereka, serta memperbaiki aspek-aspek negatif dalam diri mereka agar dapat berinteraksi dengan sesama manusia secara lebih bijaksana. Menakar ulang apakah relasinya dengan sesama manusia sudah diridhai Tuhan atau tidak. Jadi pada saat relasi komunikasi dengan manusia sebenarnya seorang arif juga sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Selalu selamanya Tuhan hadir di setiap detik-detik kehidupannya.
Disatu sisi pendapat mengenai teknologi dan digitalisasi sebagai “bidah” juga dapat muncul dalam beberapa konteks, terutama dalam lingkungan keagamaan yang konservatif atau tradisional. Namun, penting untuk diingat bahwa pandangan seperti ini mungkin bervariasi antara kelompok dan individu. Berikut beberapa sudut pandang yang mungkin mendasari munculnya pandangan ini, meskipun pandangan ini tidak mencerminkan semua pendapat.
1. Interpretasi Agama. Dalam beberapa keyakinan agama, terutama dalam kelompok-kelompok yang menganut tafsiran konservatif terhadap ajaran agama, teknologi dan digitalisasi mungkin dianggap sebagai “bidah” karena dianggap melanggar nilai-nilai atau prinsip-prinsip agama yang dianggap konsisten.
2. Pengaruh Terhadap Nilai-Nilai Tradisional. Beberapa orang mungkin mengkhawatirkan bahwa kemajuan teknologi dan digitalisasi bisa mengubah nilai-nilai tradisional dan norma-norma sosial. Perubahan ini dapat dianggap sebagai “bidah” karena dianggap menyebabkan pergeseran dalam cara hidup dan pandangan masyarakat.
3. Ketidaksesuaian Dengan Budaya Lokal. Teknologi dan digitalisasi sering kali datang dengan unsur-unsur budaya global yang mungkin dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai budaya lokal. Ini bisa menjadi alasan mengapa beberapa orang melabeli teknologi ini sebagai “bidah”.
4. Pengaruh Negatif. Beberapa pandangan mungkin terbentuk karena pengalaman negatif terkait teknologi, seperti dampak buruk dari konsumsi media sosial yang berlebihan, potensi penyebaran informasi yang salah, atau efek negatif pada interaksi sosial langsung.
Teknologi dapat digunakan sebagai alat untuk memperdalam hubungan spiritual, seperti mendengarkan ceramah agama, membaca literatur Irfan, atau berpartisipasi dalam komunitas-komunitas virtual yang membahas masalah-masalah rohaniah.
Relasi komunikasi dalam ilmu Irfan melibatkan dimensi-dimensi yang lebih jika dibandingkan dengan komunikasi konvensional. Melalui doa, munajat, dzikr, dan muhasabah, manusia berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan memperkuat hubungan dengan sesama manusia. Di tengah kemajuan teknologi, prinsip-prinsip ini tetap relevan dan dapat diaplikasikan untuk meningkatkan pengalaman spiritual dengan memanfaatkan dunia digital.