Tafsir An-Nisa: 64, Rasulullah Meminta Ampunan untuk Mereka adalah Mensyafaati Mereka
Tulisan ini merupakan pelengkap dari pembahasan sebelumnya mengenai dalil amalan tawassul dan meminta syafaat, yang didasarkan pada Surat An-Nisa Ayat 64. Kali ini, kita akan menjelajahi lebih dalam mengenai makna dan tafsir dari ayat tersebut untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif.
Surat An-Nisa Ayat 64 menyampaikan firman Allah yang berbunyi, ‘Rasulullah Saw memohon istigfar bagi mereka.’ Dalam pemahaman tafsir, ayat ini mengandung makna bahwa Rasulullah Saw melakukan syafaat, yakni memohon ampunan dosa-dosa umatnya. Penting untuk dicatat bahwa dalam tafsirnya, Allah Swt menyapa Rasulullah dengan sapaan lawan bicara sebelum sampai pada ayat ini. Namun, pada ayat ini, Allah menggunakan kata ganti orang ketiga, mengindikasikan keagungan dan kedudukan Rasulullah Saw dalam perkara istighfar beliau.
Tafsir ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab tafsir muktabar, seperti “Bahrul Muhith” karya Abu Hayyan Andalusi (w. 745 H) dan “Madarik Attanzil wa Haqaiq at Tawil” atau yang dikenal sebagai Tafsir Nasafi karya Imam Nazmuddīn an-Nasafī (w. 537 H). Kitab-kitab ini memberikan pencerahan mengenai makna dan konteks dari Surat An-Nisa Ayat 64.
واستغفر لهم الرسول أي : شفع لهم الرسول في غفران ذنوبهم …. والتفت في قوله : و استغفر لهم الرسول ، ولم يجيء علي ضمير الخطاب في جاؤوك تفخيماً لشأن الرسول ، وتعظيماً لاستغفاره ، وتنبيهاً علي أن شفاعة من اسمه الرسول من الله تعالي بمكان ، وعلي أنَّ هذا الوصف الشريف وهو إرسال الله إياه موجب لطاعته …
Firman Allah yang berbunyi, ‘Rasulullah Saw memohon istigfar bagi mereka’, memiliki makna bahwa Rasulullah mensyafaati mereka untuk meminta ampunan dosa-dosa mereka. Sebelum sampai pada firman ini, Allah Swt menyapa utusannya dalam ayat ini dengan sapaan lawan bicara. Namun, setelah sampai pada jumlah ini, Allah menggunakan kata ganti orang ketiga. Hal ini tidak lain bertujuan untuk menunjukkan kedudukan dan keagungan Rasulullah dalam perkara istighfar beliau. Selain itu, Allah ingin menegaskan bahwa syafaat yang berasal dari Rasulullah itu memiliki kedudukan khusus di mata Allah Swt. Oleh karena itu, sifat terhormat yang dimiliki Rasulullah, yang Allah kirimkan kepadanya, menjadikan ketaatan dan kepatuhan kepadanya.(1)
Menurut tafsir tersebut, ketika Rasulullah Saw beristighfar untuk umatnya, hal itu bukan hanya sekadar permohonan ampunan, tetapi juga merupakan bentuk syafaat yang tinggi. Kedudukan pemberi syafaat yang dimiliki Rasulullah Saw dianggap sebagai anugerah agung yang Allah berikan kepadanya. Dengan demikian, tindakan Rasulullah ini menjadi bukti akan keagungan dan keistimewaannya dalam memberikan syafaat.
Dengan pemahaman ini, jelaslah bahwa syafaat yang dilakukan oleh Rasulullah adalah sah dan sesuai dengan ajaran Islam. Kitab-kitab tafsir memberikan landasan yang kuat untuk memahami bahwa syafaat Rasulullah berasal dari Allah Swt memiliki kedudukan agung. Oleh karena itu, tindakan ini bukanlah bid’ah atau sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Dengan demikian, pembahasan ini mengonfirmasi bahwa syafaat dalam Islam, khususnya berdasarkan Surat An-Nisa Ayat 64, adalah suatu praktek yang memiliki dasar yang kokoh dalam ajaran agama dan bukanlah bid’ah. Pemahaman lebih mendalam terhadap ayat ini dapat membantu umat Islam untuk mengambil pelajaran dan mempraktikkan ajaran agama dengan penuh keyakinan dan keberlanjutan.
Abu Hayyan Andalusi, Bahrul Muhith, jil. 3, hal. 295, cet. Dar al-Kutub al-Ilmiah – Beirut
Imam Nazmuddīn an-Nasafī, Madarik Attanzil wa Haqaiq at Tawil, jil. 5, hal. 370, cet. Dar al-Kalam Al-Tayyib – Beirut