Diseminasi Moderasi Beragama dan Dakwah Inklusif
Jagad medsos hampir tidak pernah sepi dari pro dan kontra. Aktivitas keseharian kita dapat dipotret dari berbagai sisi dan sudut pandang. Salah satu potret kehidupan yang menarik untuk dicermati adalah model dakwah keagamaan Kiai muda NU yang bercorak heterogen dan unik.
Derasnya arus perkembangan IT tidak dapat disangkal memengaruhi paradigma berpikir umat. Media sosial—mulai dari youtube, facebook, IG dan TikTok—menyajikan heterogenitas model dakwah yang digunakan oleh Kiai muda NU. Berbekal akun media sosial mereka mendakwahkan Islam di tengah-tengah masyarakat.
Beberapa Kiai muda NU yang populer dan membanjiri jagad medsos kita di antaranya adalah Gus Baha’, Gus Miftah, Gus Kautsar, dan belakangan yang tengah melejit, Gus Iqdam. Beberapa gus (gawagis) tersebut mempunyai metode dakwah yang berbeda. Perbedaan ini jika dicermati tidak dapat dilepaskan dari konteks audiens yang menjadi sasaran dakwah. Beda audiens, beda pula metode yang digunakan.
Diferensiasi model dakwah yang heterogen ini mengingatkan kita pada seorang tokoh filsafat kontemporer, Thomas S. Kuhn. Kuhn adalah seorang filsuf, fisikawan, dan sejarawan Amerika Serikat yang menulis buku “The Structure of Scientific Revolutions” (1962) yang sangat berpengaruh dalam dunia akademik. Dalam buku tersebut Kuhn mengenalkan istilah “paradigm” (paradigma). Secara sederhana, paradigma dapat dimaknai sebagai cara pandang, metode atau kaidah berpikir yang digunakan oleh sekelompok intelektual dalam mencermati realitas kemanusiaan. Dalam tahap selanjutnya, Kuhn juga mengenalkan istilah “pergeseran paradigma” (shifting paradigm).
Munculnya paradigma baru dalam tradisi keilmuan terkait dengan ketidakmampuan paradigma lama dalam menjawab dan memecahkan problematika sosial kemanusiaan yang tengah terjadi. Paradigma baru terbangun juga di antaranya karena terjadi anomali dan krisis dalam bidang keilmuan. Paradigma lama dengan segala keterbatasannya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Dari sinilah pilihan paradigma dari beberapa intelektual menentukan arah dan laju peradaban jaman yang terus bergerak maju dan progresif.
Dalam konteks paradigma Kuhn-ian, model dakwah yang digagas oleh Kiai muda NU merupakan paradigma baru (new paradigm). Paradigma baru ini seakan-akan ingin menegaskan bahwa metode dalam berdakwah tidaklah bercorak tunggal, tetapi variatif. Paradigma lama (old paradigm) dalam dakwah dengan ciri khas monolog kurang mendapat simpati dan apresiasi masyarakat. Masyarakat lebih tertarik dan apresiatif dengan model dakwah dialogis. Masyarakat butuh disapa dan diajak dialog. Ketika ini yang terjadi maka dakwah dari hati ke hati akan lebih mengena dan mudah dicerna. Model dakwah dialogis inilah yang kini lebih welcome dan mudah diterima oleh masyarakat awam.
Sebagai ilustrasi, Gus Baha’ dalam ceramahnya mengajak kita mengkaji Islam melalui ragam pendekatan (multidisciplinary approaches). Bisa melalui pendekatan normatif, historis, sosiologis dan fenomenologis. Uraian dalam ceramah keagamaannya jika dicermati mampu menghadirkan beberapa pendekatan sekaligus dalam menafsir Alqur’an. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh Ustaz atau Gus yang lain.
Sementara itu Gus Miftah, dakwahnya bisa dikatakan berani menjemput bola. Dia berdakwah di tempat dan lokasi yang dinilai negatif oleh masyarakat, misalnya diskotik, klub-klub malam dan tempat lokalisasi. Pendekatan dakwah Gus Miftah bercorak persuasif dan tidak menghadirkan ‘penghakiman kebenaran’ (judge of truth) atas ‘liyan’. Audiennya diajak untuk mengenal Tuhan meski hanya dalam waktu sekejap. Gus Miftah seakan-akan berseru—meminjam istilah KH Ali Masyhuri (Gus Ali) dari Pondok Pesantren Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo—‘Berlarilah Menuju Allah’ (Jawa Pos, 22/9/2023).
Model dakwah lain dikenalkan oleh Gus Iqdam dari Majelis Sabilu Taubah, Blitar. Gus Iqdam merangkul dan menerima beragam jamaaah yang hadir di majelisnya. Tidak hanya umat Islam, umat beragama lain pun seringkali hadir dalam ceramahnya. Kehadiran mereka tidak hanya sekedar ingin mendengar dakwahnya, tetapi juga tertarik dengan pilihan diksi dan kosa kata unik yang digunakan. Misalnya, pilihan diksi ‘garangan’, tolol, dan ‘wonge teko’. Bukan dalam rangka menjelekkan, tetapi untuk menghibur dan menarik jamaah aktif ke pengajian. Ini merupakan fakta dan fenomena yang nyata di masyarakat kita.
Dakwah inklusif saat ini sangat dibutuhkan dengan beberapa ekspektasi. Pertama, dalam rangka menjaga semangat persatuan dan nasionalisme. Dakwah inklusif yang dikenalkan para Gus tersebut terbukti mampu menghadirkan potret keberagamaan yang menghargai sesama. Dakwah inklusif jauh dari kesan menghakimi dan membenci umat beragama lain. Malah sebaliknya, ajakan persuasif dan santun dalam memahami agama lebih ditekankan. Dari sini, kesan radikal terhadap agama tergerus dengan sendirinya.
Kedua, dakwah inklusif menjadi modal sosial (social capital) dalam menggerakkan semangat moderasi beragama. Moderasi beragama diharapkan menjadi solusi atas problematika kebangsaan yang terjadi seperti ujaran kebencian (hate speech), radikalisme, pertikaian antar kelompok di masyarakat, keterbelahan umat di tahun politik dan lain-lain. Karena beberapa alasan urgen inilah moderasi beragama dimasukkan dalam RPJMN 2020-2024. Selain itu, moderasi beragama juga dikuatkan melalui Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.
Regulasi tersebut kemudian ditindaklanjuti Kementerian Agama dengan menggelar Simposium Penguatan Kebijakan Moderasi Beragama yang berlangsung di Surabaya, 18-20 Oktober 2023. Simposium dengan tema ‘Moderasi Beragama untuk Penguatan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’ tersebut menjadi pemantik untuk mendiseminasi gerakan dan aksi nyata di masyarakat.
Sebagai wujud dan aksi nyata, Kabupaten Banyuwangi misalnya telah me-launching program Kampung Moderasi Beragama (KMB) di beberapa titik. Kelurahan Karangrejo Banyuwangi menjadi percontohan program ini yang diluncurkan pada 6 Februari 2023. Kontinuitas program terus berlanjut dengan diluncurkannya tiga desa pioner KMB yaitu desa Rogojampi, Yosomulyo dan Sukorejo pada 27 Juli 2023.
Walhasil jika program KMB ini dapat bersinergi dengan model dakwah inklusif tersebut maka masa depan keberagaman di Indonesia akan tetap terjaga. Sinergi keduanya menjadi pondasi keberagamaan kita yang kini tengah diuji oleh berbagai ketegangan di tengah kutub ekstrimitas anak bangsa yang seperti terbelah dan terkotakkan.