Apa pendapat Ibnu Bajjah tentang Ruh Mutlak?
Ibnu Bajjah, Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin Al-Dhai’ Al-Tujibi yang dikenal dengan Ibnu Bajah (Avempace) sang filsuf, adalah seorang alim, penyair dan pengamat politik di Andalusia. Baje dalam bahasa orang-orang Andalus berarti perak. Diperkirakan ayahnya adalah seorang ahli emas. Ia dilahirkan di Saragosa, namun tidak diketahui kapan ia dilahirkan. Adapun tahun wafatnya, sebagaimana yang dicatat oleh para ahli sejarah, adalah tahun 533 H (1138 M). Ia wafat di Fes, sebuah daerah di Maroko.
Pemikiran-pemikiran Filsafat Ibnu Bajjah
Kriteria-kriteria pemikiran filsafat Ibnu Bajjah dapat disimpulkan dengan dua hal: mengenal manusia secara filosofis dan pemikirannya yang bisa dikatakan merupakan sebuah upaya dalam bidang fenomenologi ruh.
Ibnu Bajjah memulai kajiannya tentang manusia dari pemikiran ini: segala sesuatu yang dalam berbagai hal sama dengan benda mati; setiap hewan hanya memiliki kesamaan dalam beberapa sesuatu yang lain dengan makhluk hidup; dan manusia juga memiliki keserupaan dengan segala hewan yang tidak nathiq (tidak berakal) dalam beberapa hal. Sisi persamaan makhluk hidup dengan benda mati di antaranya adalah: sama-sama jatuh ke bawah karena daya gravitasi, dengan susah payah diangkat ke atas, dan lain sebagainya. Hewan dengan makhluk hidup juga memiliki kesamaan; karena keduanya dari satu unsur, yang sama-sama memiliki daya untuk tumbuh, memakan, berkembang biak dan seterusnya. Dengan demikian manusia juga memiliki kesamaan dengan hewan dari segi memiliki panca indera, ingatan, segala perbuatan yang merupakan hasil dari kriteria tersebut, dan juga bergantung pada ruh yang hidup. Namun letak perbedaan manusia dari hewan adalah kekuatan untuk berfikir. Jadi manusia memiliki kekuatan untuk berfikir yang mana tak satupun makhluk hidup lainnya memilikinya. Ibnu Bajjah berkata tentang perilaku manusia: “Tindakan dan perilaku manusia muncul karena kehendak dan keinginan bebasnya, dan tindakan yang dilakukan manusia sesuai keinginannya itu tidak ditemukan pada hewan-hewan. Oleh itu setiap tindakan yang dilakukan manusia adalah khusus milik manusia, karena manusia melakukannya dengan ikhtiar dan keinginannya.” Lalu ia menambahkan: “Yang kumaksud dengan ikhtiar dan keinginan adalah keputusannya berdasarkan daya berfikirnya.”
Bentuk-bentuk Ruhani
Dalam tulisan-tulisan Ibnu Bajjah ditemukan dua pembahasan yang belum tuntas, yang mana keduanya bisa dikata buah pemikiran filosofisnya yang sangat penting. Yang pertama adalah pembahasan “Bentuk-bentuk ruhani” atau “al-Shuwar al-Ruhaniah” dan “Menyatunya Manusia dengan Akal Aktif.” Pembahasan pertama ia tulis dalam Tadbir Al-Mutawahhid dan juga tulisan-tulisan lainnya. Sedangkan pembahasan kedua ia sampaikan secara tersendiri dan juga ia singgung dalam tulisan-tulisan lainnya secara terpisah. Ibnu Bajjah memulai menyampaikan pembahasan pertamanya dengan menjelaskan definisi ruh dan jiwa. Ia berkata: Dalam bahasa Arab, ruh adalah apa yang dipahami oleh para filsuf tentang jiwa; baik yang dimaksud adalah “panas naluriah” yang merupakan perangkat pertama jiwa, sebagaimana para doktor berkata bahwa ruh ada tiga: ruh alami (ruh thabi’i), ruh perasa dengan panca indera (ruh hassâs), dan ruh penggerak (ruh muharrik). Ruh juga dimaknai dengan jiwa, namun bukan jiwa karena jiwa itu sendiri, tapi jiwa yang memiliki kekuatan penggerak. Dengan demikian ruh dan jiwa adalah dua kata yang wujud sebenarnya satu. Begitu pula ruh menurut para filsuf menunjukkan pada substansi-substansi yang diam (sakin) yang menumpangkan sesuatu-sesuatu yang lainnya. Namun substansi-substansi itu tidak harus materi, namun merupakan wajah-wajah atau gambaran-gambaran bagi materi; karena setiap materi itu bergerak. Substansi semakin jauh dari sifat materi semakin layak disebut dengan ruhani. Di sinilah Ibnu Bajah membagi wajah-wajah ruhani menjadi empat macam:
1. Bentuk-bentuk materi mustadir atau nufus falaki;
2. Akal aktif (‘aql fa’’al) dan akal mustafad;
3. Ma’qulat hayulani (kategori-kategori materi);
4. Pemahaman-pemahaman maknawi yang ada dalam daya atau kekuatan jiwa. (pemahaman-pemahaman itu ada dalam kekuatan inderawi, kekuatan berkhayal dan ingatan). Yang pertama sama sekali bukan materi, namun yang ketiga memiliki hubungan dengan materi, yang oleh karena itu disebut hayulani (hyle), yang merupakan ma’qulat hayulani dan dengan sendirinya tidak ruhani. Yang kedua juga sama sekali bukan hayulani, karena secara urgen memang tidak hayulani, hanya memiliki hubungan dengan hayula saja, karena penyempurna ma’qulat hayulani; yakni entah dia adalah mustafad atau ‘aqil ma’qulat hayulani, dan dengan demikian disebut dengan ‘aql fa’’al atau akal aktif. Adapun yang keempat berada di antara ma’qulat hayulani dan bentuk-bentuk ruhani.
Ibnu Bajjah tidak membahas yang pertama, yakni benda-benda langit dengan sendirinya, lalu mengkaji ruh mutlaq yang merupakan ‘aql fa’’al dan segala yang terkait dengannya; yakni apa yang difahami manusia dengan akalnya. Kata ma’qulât (kategori-kategori) dalam istilah filsafat Islam merupakan terjemahan dari kata Aristoteles, yakni Noita (pemikiran-pemikiran) yang berlawanan dengan Aisita (hal-hal yang diindera).[1] []
[1]. Silahkan rujuk: http://www.iptra.ir/prte2.8ehjh8z8bj8b..jzi9g9b4j.html