Banjir Nuh Perspektif Al-Qur’an, Al-Kitab, dan Arkeolog
Bermula setelah tahun 950 dari dakwahnya, nabi Nuh a.s betul-betul gigih dalam berdakwah dan penuh kesabaran menghadapi perdebatan kaumnya atas apa yang dibawakan oleh nabi Nuh, terkecuali orang-orang yang beriman kepadanya. Lalu nabi Nuh berdoa kepada Allah Swt agar di bumi ini tidak dikotori orang yang membangkang pada agama Allah Swt, seperti dalam Al-Quran Surat Nuh Ayat 26;
وَقَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْاَرْضِ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ دَيَّارًا
Artinya; “Dan Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi”.
Ibnu ‘Arabi berkata nabi Nuh AS berdoa teruntuk semua orang kafir, dan nabi Muhammad Saw mendoakan orang yang merasa susah atas orang mukmin. Dengan ini, dalil menunjukkan diperbolehkan mendoakan keburukan kepada orang kafir secara umum, Adapun secara khusus yang belum diketahui akhir hayatnya nabi tidak mendoakan buruk, karena yang akan datang menurut kami (Ibnu Arabi) tidak diketahui, terkadang menurut Allah orang kafir diberi kesempatan masuk islam menuju keselamatan akhirat. Namun, nabi Muhammad Saw pernah mendoakan khusus pada ‘Atbah, Syaibah, dan rekan lainnya, karena sudah diketahui akhir hayatnya atas izin Allah yang dibukakan rahasia hidup umatnya.[1]
Kemudian, Allah Swt memerintahkan nabi Nuh a.s untuk membuat kapal “safinah” karna akan terjadinya peristiwa besar dengan menenggelamkan orang-orang kafir serta menyelamatkan orang yang beriman. Dan nabi Nuh AS mengetahui akan maksud Allah Swt. Dalam proses pembuatan kapal berukuran besar tentunya Allah Swt memberikan ilham langsung kepada nabi Nuh, hal yang maklum dikatakan ilmu ladunni. Sehingga, nabi Nuh mudah menyelesaikan pekerjaannya dengan sempurna. Sebagain kisah mengatakan banjir topan dimasa nabi Nuh terjadi pada hari jumat Asyura 10 bulan Muharram, yang berlangsung selama enam bulan, pendapat lain selama lima bulan. [2]
Terdapat banyak israiliyat pada awal mulanya banjir terjadi. Para mufasir dan ulama banyak berbeda pendapat terkait penjelasan dalam surah Hud: 40-41:
حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَمۡرُنَا وَفَارَ ٱلتَّنُّورُ قُلۡنَا ٱحۡمِلۡ فِيهَا مِن كُلّ زَوۡجَيۡنِ ٱثۡنَيۡنِ وَأَهۡلَكَ إِلَّا مَن سَبَقَ عَلَيۡهِ ٱلۡقَوۡلُ وَمَنۡ ءَامَنَۚ وَمَآ ءَامَنَ مَعَهُۥٓ إِلَّا قَلِيل وَقَالَ ٱرۡكَبُواْ فِيهَا بِسۡمِ ٱللَّهِ مَجۡرىٰهَا وَمُرۡسَىٰهَآۚ إِنَّ رَبِّي لَغَفُور رَّحِيم
Artinya: “Hingga apabila perintah Kami datang dan tungku (dapur) telah memancarkan air, Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman”. Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. Dan Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya”. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam ayat ini hanya disebutkan bahwa air muncul dari tungku, sedangkan air memancar dari seluruh bumi tidak hanya melalui tungku saja. Imam Ali bin Abi Thalib berkata “tungku yang dimaksud disini ialah permukaan tanah. Yang pada intinya air muncul dari permukaan tanah tanpa henti hingga menyebabkan banjir besar.[3] Namun secara jelas dalam al-Qur’an dan hadis tidak ada dalil yang menunjukkan terjadinya banjir seluruh dunia, tapi hanya terjadi pada daerah kaumnya nabi Nuh AS saja.[4]
Syaikh Muhammad Abduh berpendapat tidak ada nash pasti atau risalah nabi Nuh banjir terjadi seluruh muka bumi. Sedangkan hadis yang mengatakan seluruh bumi itu derajatnya ahad dan tidak wajib diyakini. Karena dalam meyakini akidah harus hadis yang mutawatir. Bagi ahli Sejarah atau peneliti bisa mentarjih dengan riwayat, sejarawan, ilmuwan, dan ahli tafsir. Tidak perlu membuat-buat dalil pasti tentang terjadinya banjir ini, dan masalah ini terjadi perselisihan antara ahli agama dan ilmuwan. Sedangkan para ahli kitab yakni yahudi dan Nasrani dan para ulama mengatakan banjir topan terjadi menyeluruh muka bumi. Hal ini sesuai dengan pendapat mayoritas ilmuwan atau peneliti, dibuktikan dengan adanya fosil kerang dan ikan yang mengeras diatas gunung. Para ilmuwan sekarang mengatakan tidak menyeluruh dengan berbagai bukti pendekatan dari sains dan sebagainya. Namun, bagi orang islam tidak boleh mengingkari bahwa peristiwa banjir topan itu menyeluruh muka bumi.[5]
Bukti banjir berdasarkan temuan arkeologis di kota Ur menunjukkan bahwa sebuah peradaban telah runtuh setelah banjir besar, dan di tempat itu muncul peradaban baru. Penggalian pertama dilakukan di tempat ini oleh R. H. Hall dari British Museum. Leonard Woolley, yang melakukan penggalian setelah Hall, menjadi pengawas penggalian yang diawasi oleh British Museum dan University of Pennsylvania secara bersamaan. Penggalian yang berpengaruh di seluruh dunia dilakukan oleh Woolley dari 1922 hingga 1934. Analisis mikroskopis menunjukkan bahwa banjir yang sangat besar telah menghancurkan peradaban Sumeria kuno, menghancurkan banyak deposit tanah liat di bawah bukit kota Ur.
Lubang galian yang jauh di bawah gurun Mesopotamia menyatukan cerita Gilgamesh dan Nuh. Max Mallowan membahas pendapat Leonard Woolley, yang mengatakan bahwa bencana banjir yang sangat besar adalah satu-satunya alasan endapan sebesar itu yang terbentuk dalam waktu yang relatif singkat. Woolley juga menjelaskan bahwa sisa banjir memisahkan kota Sumeria di Ur dari Al Ubaid, yang penduduknya menggunakan tembikar yang dicat. Semua ini menunjukkan bahwa kota Ur adalah salah satu dari banyak tempat yang terkena dampak Banjir Nuh.[6]
Pada kesimpulannya baik dalam Al-Qur’an yang dikuatkan beberapa ulama tafsir dan bukti arkeolog sepakat menyatakan bahwa banjir bersifat lokal, hanya di daerah Mesopotamia dan sekitarnya. Meski ada beberapa penafsiran, ayat dalam Al-Kitab dan pendapat ulama lainnya mengatakan bahwa banjir ini bersifat global, menyeluruh dunia, maka hak masing-masing dalam meyakininya. Karena perkara ini masih dalam perdebatan hingga saat ini.
[1] Syaikh Muhammad Khatib Al-Syirbini, Al-Siraj Al-Munir Fi Al-’Ianah ’Ala Ma’rifa Ba’dhi Ma’ani Kalami Rabbina Al-Hakim Al-Khabir, 2012th ed., vol. 1 (Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah Bairut Libanon, 2012.), 438.
[2] Al-Sya’rawi, Qashahs Al-Anbiya’ Wa Ma’aha Sirah Al-Rasul Saw, 44.
[3] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Min Rawa’i Al-Qur’an Ta’ammulat ’Ilmiyah Wa Adabiyyah Fi Kitabillah ’Azza Wa Jalla, Mu’assasah Ar-Risalah, Lebanon: Beirut, 1999, 272.
[4] Afif Abd Al-Fattah Thabbarah, Ma’a Al-Anbiya’ Fi Al-Quran Al-Karim, 15th ed., Dar Al-Ilmi Al-Malayiin Bairut Libanon, n.d., 73.
[5] Syikah Muhammad Abduh, “Tufan Nabiyullah Nuh ’Alaih Al-Salam,” Dar Al-Ifta’ Al-Misyriyah, February 25, 1900, https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/14256/طوفان-نبي-الله-نوح-عليه-السلام.
[6] Harun Yahya, Negeri-Negeri Yang Musnah, 2nd ed., Dzikra Buku-Buku Sains Islami, 2003, 20.