Apakah al-Qur’an menyinggung jembatan shirâth?
Sebagai pendahuluan harus dikatakan bahwa shirâth adalah jalan dan kemudian dideskripsikan dengan redaksi kata “mustaqim,” yang bermakna jalan lurus. Pada sebagian dari ayat-ayat dari al-Qur’an redaksi ayat shirâth mustaqim dapat juga disinggung seperti pada ayat-ayat:
1. “Tuhanku tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” (Qs. Al-Fatiha [1]:5)
2. “Sesungguhnya Allah adalah Tuhan-ku dan Tuhan-mu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (Qs. Ali Imran [3]:51)
3. Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Qs. Ali Imran [3]:101)
4. “Dan inilah jalan Tuhanmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran.” (Qs. Al-An’am [6]:126)
Pada kesemua ayat di atas menandaskan bahwa yang di maksud dengan shirâth mustakim adalah jalan lurus dan jalan hidayah di dunia ini, kalau seseorang di dunia ini dimana apabila seseorang mengayungkan langkahnya di jalan ini maka di akhirat juga ia akan berjalan di atas jalan yang sama. Artinya hasil dari segala amal kebaikannya di dunia akan ia dapatkan.
Satu hal yang jelas adalah bahwa apa yang dimaksudkan al-Qur’an terkait shirâth mustaqim pada ayat-ayat ini adalah mengamalkan seluruh perintah dan hukum Ilahi yang merupakan sebaik-baik jalan dan model kehidupan bagi manusia di dunia ini. Dan mengamalkan perintah-perintah ini, laksana bergerak dan berjalan di jalan lurus yang menuntun manusia kepada petunjuk. Atas dasar ini, pada sebagian riwayat para Imam Maksum disebut sebagai shirât mustaqim (jalan lurus).[1]
Imam Jafar Shadiq As bersabda:” Imam As bersabda: ”Shirâth adalah jalan makrifat kepada Tuhan yang mencakup dua jalan yaitu jalan di dunia dan jalan di akhirat. Adapun shirâth di dunia adalam imam yang mesti harus ditaati, dan shirâth di akhirat adalah jembatan yang melintasi neraka jahannam. Barang siapa melintas dengan baik di atas jalan (shirat) dunia, yaitu mengenal dan mentaati imamnya maka di akhirat kelak ia akan melewati jembatan shirâth dengan mudah. Dan barang siapa yang tidak mengenal imammnya di dunia maka di akhirat kelak kakinya akan tergelincir dan terjerembab jatuh ke dalam neraka.”[2]
Begitu pula terkait dengan ayat 14 surah al-Fajr (89), inna Rabbika labil mirshâd,[3] Imam bersabda bahwa mirshâd adalah jembatan yang melintasi neraka dan orang-orang yang berlaku aniaya kepada orang lain tidak akan dapat melewati jembatan tersebut.”[4]
Meskipun demikian apa yang disabdakan Imam Jafar Shadiq As adalah salah satu dari penjelasan mishdâq (obyek luaran) atau contoh dari redaksi “mirshâd” (dalam pengawasan). Karena pengawasan Ilahi tidak hanya terdapat pada kiamat atau jembatan yang popular disebut sebagai shirâth mustaqim, lantaran di dunia ini orang-orang zalim berada pada mirshâd (dalam pengawasan) Tuhan.”[5]
Oleh itu “jembatan shirâth” adalah sebuah hakikat yang disebutkan dalam al-Qur’an[6] demikian juga pada riwayat yang menjelaskan ciri-ciri dan tipologi shirât tersebut. Imam Ja’far Sahdiq As bersabda: ”Di atas neraka terdapat jembatan yang jauh lebih tipis dari rambut dan jauh lebih tajam dari pedang.”[7]
Nabi Muhammad Saw bersabda: ”Yang paling kokoh langkahnya di antara kalian di atas shirât (jembatan) adalah mereka yang kecintaannya lebih besar terhadap Ahlulbaitku.”[8]
Yang harus diperhatikan disini adalah bahwa jembatan shirâth adalah salah satu tempat pemberhentian di hari Kiamat dan pada sebagian riwayat disebutkan dengan ragam redaksi, seperti jembatan, jembatan neraka, jembatan shirâth dan sebagainya, akan tetapi maksud dari sebagian riwayat ini adalah tempat pemberhentian dengan maksud untuk memudahkan masyarakat memahaminya. Karena itu tempat pemberentihan ini disebut sebagai jembatan. Bukan seperti kebanyakan jembatan di dunia ini yang memiliki fondasi dan menjadi tempat lintasan orang-orang, binatang dan alat transportasi.
Yang dimaksud shirât dalam al-Qur’an dan riwayat di sini adalah jalan, lintasan, cara, atau maktab. Dengan kata lain, orang-orang harus tahu bahwa maktab atau sebuah jalan yang akan mengantarkan mereka kepada kebahagiaan hakiki nan abadi adalah satu maktab, jalan dan metode, dengan tipologi dan ciri-cirinya yang khas; yaitu agama Allah Swt (Islam hakiki). Dan hanyalah dengan menjejakkan kaki di jalan ini yang akan menjadi penyebab kebahagiaan dan keselamatan manusia di dunia dan akhirat.
Di sisi lain, ketika manusia lalai dari makrifat yang sebenarnya terhadap pelbagai tipologi, kehalusan dan kejelian jalan ini maka hal tersebut akan menyebabkan penyimpangan dan keterpurukan di jalan kesesatan.
Oleh itu, penafsiran, jembatan shirat yang dideskripsikan sebagai lebih tajam dari “pedang” dan lebih tipis dari “rambut”, adalah sebuah jalan yang sangat subtil, akurat dan terhitung sehingga Allah Swt menetapkan starting-point-nya (titik mulanya) di dunia ini. Dan akan bersambung di akhirat sebagai kelanjutannya. Karena itu, barang siapa yang ingin melintas jembatan shirâth dengan mudah maka ia mesti berhati-hati di dunia ini dan memastikan langkahnya telah diayunkan di atas jalan ini (mengenal dan mengikuti para Imam Maksum As) dan berhati-hati jangan sampai tergelincir dan keluar dari jalan tersebut. Dengan ungkapan yang lebih tepat, jembatan shirâth di hari Kiamat merupakan penampakan dan penjelmaan jembatan shirâth di dunia yaitu berupa ketaatan kepada Imam Maksum As.[]
Catatan Kaki
[1]. Ma’âni al-Akhbâr, hal 32.
[2]. Ibid; Mizân, al-Hikmah, jil. 5, hal 346, klausul, shirâth.
[3]. “Sesungguhnya Tuhan-mu benar-benar mengawasi.”
[4]. Bihâr al-Anwâr, jil. 8 hal 66.
[5]. Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 48.
[6]. Di samping yang telah disampaikan sebelumnya, ayat-ayat 71-72 yang termaktub pada surah Maryam, “Dan tidak ada seorang pun darimu, melainkan pasti memasuki neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Dan Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut,” boleh jadi menyinggung jembatan shirath ini. Untuk telaah lebih jauh silahkan Anda lihat, Tafsir Nemune, jil. 13, hal 112-117.
[7]. Mizân, al-Hikmah, jil. 5, hal 346.
[8]. Bihâr al-Anwâr, jil. 8 hal, 69.