Akad nikah mut’ah
Perempuan: زَوَّجْتُکَ نَفْسی عَلَی المَهْرِ الْمَعْلُومِ فی المُدَّةِ المَعْلُومَة; Saya menikahkan diri saya kepadamu dengan mahar yang sudah diketahui dan dalam jangka waktu yang sudah diketahui.
Laki-laki: قَبِلْتُ التَّزْویجَ عَلَی المَهْرِ الْمَعْلُومِ فی المُدَّةِ المَعْلُومَة; Saya menerima pernikahan tersebut dengan mahar yang sudah diketahui dan dalam jangka waktu yang sudah diketahui.
Berikut adalah beberapa hukum fikih tentang nikah mut’ah menurut fatwa fukaha Syiah:
Dalam nikah mut’ah, jangka waktu perkawinan dan besarnya mahar harus diketahui dalam akad nikah. Menurut para masyhur fukaha, apabila jangka waktu perkawinan tidak disebutkan dalam akad nikah mut’ah, maka pernikahan tersebut menjadi pernikahan permanen (daim).
Menurut pendapat sebagian fukaha, apabila kedua pihak akad tidak dapat membaca akad dalam bahasa Arab, meskipun mereka mempunyai kemampuan untuk mewakilkannya kepada seseorang, maka diperbolehkan untuk melaksanakannya dalam bahasa lain. Sebagian lain mengatakan bahwa bagaimanapun juga akad nikah dapat dibacakan dalam bahasa apapun.
Pernikahan mut’ah antara seorang laki-laki Muslim dengan seorang wanita ahli kitab adalah sah; namun pernikahan antara seorang wanita Muslim dengan ahli kitab adalah tidak sah. Juga, pernikahan mut’ah antara seorang Muslim, baik laki-laki atau seorang wanita, dengan non-Muslim yang bukan ahli kitab, hukumnya adalah haram.
Menikahi gadis yang masih perawan untuk nikah mut’ah adalah hal yang makruh, dan jika terjadi pernikahan, menghilangkan keperawanannya hukumnya adalah makruh.
Dalam perkawinan mut’ah, jika telah terjadi penetrasi, setelah berakhirnya masa perkawinan, pihak perempuan, jika belum menopause, wajib menjaga Iddah. Iddah seorang wanita dalam nikah mut’ah, jika ia tidak haid (walaupun ia dalam usia haid dan belum menopause) adalah 45 hari, dan jika ia haid, menurut pendapat sebagian fukaha, adalah dua periode haid.
Jika masa perkawinan berakhir atau pihak laki-laki menghibahkan sisa waktunya sebelum terjadi penetrasi, maka pihak perempuan tidak perlu menjaga Iddah.
Apabila pihak laki-laki meninggal dunia dalam nikah mut’ah, meskipun tidak terjadi penetrasi, maka pihak perempuan harus tetap menjaga iddah yaitu empat bulan sepuluh hari.
Dalam nikah mut’ah tidak ada perceraian; Sebaliknya, perpisahan terjadi ketika masa perkawinan berakhir atau pihak laki-laki menghibahkan sisa waktu tersebut.