Nikah Mut'ah: Yang Halal Bukan Berarti Wajib
Sebuah Upaya Meluruskan Pemahaman Tentang Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah (kontrak) merupakan salah satu topik bahasan dalam fikih yang cukup kontroversial, terutama di kalangan umat muslim Indonesia, yang mayoritas bermadzhab Ahlussunnah (Sunni) dan meyakini bahwa perbuatan tersebut haram hukumnya.
Agak disayangkan, karena topik yang seharusnya bisa menjadi diskursus menarik itu, justru kerap digunakan oleh sekelompok orang untuk mendiskriditkan Madzhab Ahlulbait (Syiah) yang notabene memiliki pandangan berbeda berkenaan dengan hukum nikah mut’ah.
Bagi madzhab Ahlulbait, nikah mut’ah hukumnya halal, sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat An-Nisa’ ayat 24, yang disepakati oleh para ulama Ahlulbait, bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban seorang lelaki untuk membayar maskawin kepada seorang perempuan yang dinikahi secara mut’ah.
Pandangan itu juga dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim tentang Khalifah Umar bin Khattab yang mengharamkan dua mut’ah, yang keduanya pernah ada di zaman Nabi Saw, yaitu nikah mut’ah dan haji tamattu. Dalam hadis yang lain pun disebutkan, bahwa di zaman nabi, sahabat pernah melakukan mut’ah kepada perempuan, dan mereka membayar maskawin dalam bentuk baju maupun kurma.
Sampai di sini, seluruh ulama, baik Sunni maupun Syiah sebetulnya bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu pernah terjadi di zaman Nabi, atau di masa awal pengamalan syariat Islam. Hanya saja Madzhab Ahlussunnah meyakini bahwa hukum itu sudah tidak lagi berlaku, sebagaimana telah diharamkan oleh Khalifah Umar, serta dalam beberapa periwayatan juga diyakini Nabi pernah mengharamkannya.
Namun bagi madzhab Ahlulbait, nikah mut’ah tetap sah dan halal sampai saat ini, karena mereka meyakini sebaliknya, bahwa Nabi tidak pernah menghapuskannya.
Jadi sejatinya, perbedaan keyakinan tentang halal dan haramnya nikah mut’ah adalah soal interpretasi terhadap hadis semata, namun nikah mut’ah sendiri disepakati sebagai syariat yang pernah ada dan pernah dilakukan di zaman Rasulallah Saw.
Terkait hal ini, Prof. Dr. Quraish Syihab pernah mengatakan “Andaikan ulama Syiah menerima keabsahan periwayatan hadis yang menyebut nikah mut’ah sudah pernah dihapus, maka mereka akan mengharamkannya. Pun sebaliknya, andaikan ulama Sunni meragukan keabsahan hadis tersebut, maka mereka pun akan tetap menghalalkannya.
Sampai di sini, perlu ditekankan, bahwa penghalalan nikah mut’ah bagi Madzhab Ahlulbait adalah sebuah upaya untuk memberikan kejelasan terhadap hukum suatu perbuatan. Seorang ulama bertanggung jawab di hadapan Allah Swt, ketika menyampaikan sebuah hukum. Apabila suatu perbuatan itu halal sesuai dalil-dalil yang menguatkannya, maka harus dikatakan halal, begitupun sebaliknya.
Dan hal lain yang juga perlu ditegaskan, bahwa sesuatu perbuatan yang dihukumi halal tidak selalu wajib dilakukan, dengan kata lain halal bukan berarti wajib. Betapa banyak perbuatan yang dihalalkan, namun kita diberikan kebebasan untuk melakukannya ataupun meninggalkannya.
Dengan demikian sangat tidak benar apabila pengikut Ahlulbait diidentikkan atau dicap pasti melakukan nikah mut’ah hanya karena mereka meyakini bahwa perbuatan tersebut halal.
Di sisi lain, nikah mut’ah juga tidak bisa diharamkan hanya karena diamalkan secara tidak benar oleh sebagian orang. Sebab jika hal tersebut berlaku, maka kita akan menjumpai begitu banyak perbuatan yang halal dan menjadi haram karena diamalkan secara tidak benar.