Filsafat Islam: Sebuah Pengantar Part 2 (bagian2)
Prinsip ashālah al-wujūd wa I’tibāriyat al-māhiyah. menyatakan bahwa “satu-satunya realitas adalah wujud sedangkan mahiyah adalah kesimpulan akal” kita tentang apa yang kita cerap melalui panca indera. Kita akan perjelas prinsip ini melalui contoh berikut:
Misalnya, kita melihat benda-benda di sekitar kita terlepas dari kata yang melekat pada benda tersebut. Saya berikan contoh, silakan lihat apa yang ada di depan Anda, maka kesan pertama yang Anda tangkap adalah perbedaan antara satu benda dengan benda yang lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan, kalau wujud adalah realitas satu-satunya di alam, mengapa yang saya tangkap adalah perbedaan bentuk, warna? Apakah perbedaan itu merupakan wujud atau mahiyah dari benda-benda?
Mari kita refleksikan,
Pertama, darimana munculnya kesadaran kita akan perbedaan objek-objek di luar diri kita? Kedua, apakah perbedaan itu merupakan realitas pada dirinya berupa wujudnya atau hanya kesimpulan akal kita saja yaitu, mahiyahnya?
Mari kita jawab! Pertama, perbedaan itu ditangkap oleh pikiran kita melalui panca indera yang memunculkan gambaran-gambaran benda. Dengan hadirnya gambaran tersebut pikiran kemudian melakukan abstraksi dan mengkategorisasi hingga menyadari adanya perbedaan antara satu benda dengan benda yang lain di luar diri kita. Secara epistemologis, pengetahuan kita tentang benda-benda atau objek di luar diri kita, tidak kita ketahui langsung dari benda-benda tersebut, melainkan melalui gambaran objek yang muncul dalam pikiran kita. Dengan demikian, pemahaman kita akan perbedaan antara satu gambaran benda atau objek dengan lainnya menghantarkan kita pada kesimpulan atau pengetahuan akan adanya perbedaan benda-benda di luar diri kita.
Kedua, perbedaan benda-benda yang ada di luar diri kita sesuai dengan pengetahuan kita, memang berbeda sebagaimana realitasnya. Misal, kita melihat meja, kursi, papan tulis dan yang hadir dalam pikiran kita dalah gambaran meja dengan bentuk segi empat, berwarna merah, berkaki empat begitu juga kursi dan papan tulis yang hadir gambarannya berupa bentuk dan warna. Akan tetapi yang hadir dalam pikiran tidak sebagaimana wujud meja, kursi dan papan tulis yang ada di luar diri kita. Kalau dia sesuai dengan wujudnya yang di luar maka kepala kita akan sobek. Begitu juga dengan api. Gambaran api yang muncul di pikiran hanyalah gambaran api tanpa adanya rasa panasnya api. Oleh karena itu, yang muncul di pikiran kita bukan wujudnya api sebagaimana api di luar melainkan mahiyah yang ditangkap oleh pikiran kita. Dengan demikian jelas kiranya, realitas yang ada di luar diri kita memang berbeda satu sama lain, akan tetapi bagaimanapun perbedaan benda-benda itu pada realitasnya, ada yang sama di antara mereka yakni, di setiap perbedaan itu ada wujudnya. Artinya, di realitas memang ada yang satu sekaligus berbeda. Yang berbeda tetap berasas pada yang satu. Maka, perbedaan itu ada pada wujudnya bukan pada mahiyahnya. Wujud menjadi dasar keberadaan realitas segala sesuatu.
Terakhir, sebagai penyempurna pembahasan ini, yang terpenting ialah pembahasan mengenai individuasi wujud. Individuasi wujud adalah konsekuensi logis atas unitas wujud atau satu-satunya realitas adalah wujud. Yang dimaksud dengan individuasi wujud ialah, bahwa tiap-tiap realitas wujud terindividuasi sehingga menghasilkan pluralitas atau keragaman wujud. Mengutip dari Nur Jabir dalam Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Shadra, kesatuan wujud dalam pandangan Mulla Shadra disebut dengan al-wahdah assarayani yaitu, kesatuan yang bisa bersatu dengan pluralitas.[1]
Selanjutnya, kita tidak akan lagi membahas mengenai mahiyyah, melainkan fokus pada prinsip-prinsip wujud lainnya di antaranya ada tasykik al-wujud atau gradasi wujud. Tentu kita akan membahas prinsip-prinsip ini tentu merujuk pada realitas eksternal, tidak hanya mengabstraksi konsep-konsep saja. Selain itu, ada gerak substansi yang masih berakitan dengan pembahasan wujud.
[1] Muhammad Nur, Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Shadra (Makassar: Chamran Press, 2012), hal. 27.