Syekh Nikmatullah Wali, Sufi yang Gemar Bertani (1)
Pertengahan musim gugur, November 2019. Kami baru saja menyusuri propinsi Kerman, kawasan Tenggara Iran. Di Kerman, ada banyak situs budaya dan bangunan bersejarah. Salah satunya adalah makam seorang sufi bernama Syekh Nikmatullah Wali.
Di luar Iran, nama Syekh Nikmaullah Wali mungkin kurang dikenal. Sebaliknya, di tengah masyarakat Iran, ketenarannya melebihi sufi besar Bayazid Bustami. Hari itu pun, kompleks makam Syekh ramai dikunjungi oleh para peziarah.
Kami tiba di makam Syekh menjelang senja. Pepohonan dan taman kecil menyambut di sepanjang koridor menuju bangunan makam. Ada banyak keunikan yang saya temui saat memasuki ruang pemakaman Syekh. Mata saya segera tertuju pada patung Syekh yang diletakkan di sebuah sudut ruangan. Patung memang bukan barang haram di Iran. Di beberapa ruang publik dan taman, berbagai bentuk patung bisa dijumpai dengan mudah. Tapi, sebuah patung di ruangan makam seorang sufi, rasanya baru pertama saya melihatnya di sini.
Suasana di dalam ruangan pun terlihat begitu cair, dari anak-anak sampai orang tua. Bahkan, tak ada penyekat antara laki-laki dan perempuan. Mereka duduk berbaur mengelilingi makam Syekh yang terletak di tengah ruangan. Sesuatu yang tak biasa saya temui di kompleks pemakaman para ulama Iran. Sebenarnya, siapakah sufi yang makmnya cukup unik ini?
Dalam ruangan makam (foto: penulis)
Rasa penasaran, membawa saya mengunjungi book corner yang letaknya masih di dalam kompleks makam. Di sini, dijual buku karya Syekh maupun berbagai karya para pemikir tentang kehidupan Syekh.
Syekh Nikmatullah Wali adalah sufi abad ke 14, pendiri tarekat Nikmatullahi yang sekarang banyak berkembang di kawasan India dan beberapa negara Eropa. Nama lengkapnya Sayyid Nuruddin Nikmatullah bin Abdillah bin Muhammad. Nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad melalui 19 perantara. Syekh lahir di Alepo, meskipun keluarga besarnya berasal dari Kuhbanan, Iran. Ajaran wahdatul wujud Ibnu Arabi saat itu sedang digandrungi. Sedikit banyak situasi ini berpengaruh pada pemikiran Syekh.
Syekh selama hidupnya telah melakukan perjalanan ke berbagai negara, dimulai dari kota-kota di Iran, Irak, Azarbeijan, Mesir, hingga ke dataran Arabia. Puncaknya, ia pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syekh Abdullah Yaf’i, seorang ulama terkemuka pada masanya. Syekh Nikmatullah Wali, akhirnya menetap di kota Mahan sampai tutup usia.
Mahan adalah kota kecil di wilayah propinsi Kerman, Iran. Jarak kerman ke Teheran sendiri sekitar 800 KM. Di kota Mahan inilah, Syekh membentuk tarikat yang diikuti oleh banyak murid. Berbeda dari berbagai tarikat yang berkembang saat itu. Ajaran Syekh menekankan kepada murid-muridnya untuk rajin berkerja di samping bermunajat kepada Allah. Sebagaimana syair yang ia tulis.
Duhai sahabatku, perbanyaklah mengingat Allah
Namun sekuat tenaga bekerjalah dan terus bekerja
Syekh Nikmatullah Wali sendiri seorang petani yang setiap hari bekerja mengelola tanah pertanian. Menurutnya, penghambaan terbaik kepada sang khalik dapat dilakukan dengan berkhidmat kepada sesama. Syekh meminta murid-muridnya untuk tetap bergaul di tengah masyarakat dan turut menangani berbagai persoalan sosial. Ia juga melarang mereka mengenakan pakaian khusus yang membedakannya dengan kebanyakan masyarakat.
Meskipun Syekh dikenal menghindari hiruk pikuk kekuasaan. Namun, ia tetap mengikuti perkembangan politik pada masanya. Syekh memilah jalan negosasiasi ketimbang pertumpahan darah.
Bersambung ...