Syekh Nikmatullah Wali, Sufi yang Gemar Bertani (2)
Pada suatu masa, Pir Muhammad, salah seorang penguasa dinasti Timurian akan menyerang kawasan Kerman. Sebelum memasuki batas wilayah, Syekh segera menemui Raja, lalu mengajak berdialog. Karena nama Syekh dikenal baik di kalangan istana, negosiasi berjalan lancar. Pertumpahan darah yang diperkirakan dapat menelan banyak korban orang-orang tak berdosa pun dapat dihindari.
Syekh Nikmatullah Wali meninggalkan berbagai karya yang berharga, di antaranya menulis syair. Sampai hari ini, syair-syair Syekh dapat dinikmati dalam sebuah divan atau buku kumpulan syair setebal 600 halaman. Syair-syair yang berjumlah sekitar lima belas ribu bait ini ada yang berbentuk qasidah, ghazal, rubaiyat, bahkan ada banyak larik-larik puisi yang terinspirasi dari syair Matsnawi Rumi.
Setelah enam abad berlalu. Hari ini saya mendengar seorang pemuda melantunkan kembali syair-syair Syekh diiringi suara sitar yang dipetiknya sendiri. Sitar, semacam alat musik seperti gitar, namun lebih sederhana. Tepat di samping makam sang sufi, dengan penuh penghayatan pemuda itu bersenandung. Saya ikut larut dalam suasana khidmat. Duduk menyimak suara Sitar dan sesekali lantunan syair.
Sebelumnya, pemuda itu sempat berputar beberapa kali mengelilingi makam sambil mulutnya terlihat komat kamit. Sebuah ritual yang tidak pernah saya temui dalam tradisi ziarah masyarakat Iran. Setiap orang memang memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan kecintaaan kepada seseorang yang dihormatinya.
Perempuan paruh baya yang sedari tadi memperhatikan saya, mendekat lalu menyapa. Mungkin wajah saya yang khas Asia Tenggara menarik perhatiaannya. Ternyata ia sama-sama traveler yang datang jauh dari Jerman. Tak perlu waktu lama, kami sudah akrab dan mulai berbincang. Baginya, sosok Syekh Nikmatullah Wali sangat unik sehingga ia khususkan untuk berziarah ke makamnya. Sebagaimana saya yang sejak lama ingin melihat langsung tempat peristirahatan terakhir sang sufi ini.
Dua perempuan dengan latar belakang yang jauh berbeda dipertemukan di pusara Syekh Nikmatullah Wali. Sungguh saya merasa sangat beruntung dan bahagia. Jejak-jejak kebaikan Syekh semasa hidupnya seolah menyatukan kami yang beragam. Syekh juga mengajari kehidupan seimbang, antara beribadah dan bekerja. Antara menjadi pesalik dan pengabdi masyarakat.
Senja mulai beranjak mendekati maghrib. Suara lantunan puji-pujian kepada kanjeng Nabi terdengar dari pengeras suara masjid di komplek pemakaman. Para jamaah shalat mulai berdatangan. Saya duduk di bangku taman membuka kembali buku puisi milik Syekh Nikmatullah Wali yang baru saja saya beli. Mata saya tertuju pada puisi Syekh tentang shalawat kepada Nabi.
Duhai mukmin yang tulus, lantunkan shalawat kepada Nabi
Agar jiwamu menjadi pecinta, ungkapkan shalawat kepada Nabi
Sinarilah hatimu dengan cahaya, penuhilah dunia dengan wewangian
Sibukanlah bibirmu dengan mengucap syukur dan shalawat kepada Nabi
Jika engkau mengaku umatnya, kejarlah ridha-nya
Maka jangan berhenti untuk bershalawat kepada Nabi
Akal menjadi cemerlang, hati penuh kasih sayang
Bahkan Tuhanpun bershalawat, maka bershalawatlah kepada Nabi
Mari menghamba bersama, berlomba dengan Nikmatullah Wali
Mulai sekarang, selama kita mampu, bershalawatlah kepada Nabi
Saya kemudian membayangkan Syekh sedang mencangkul sambil melantunkan shalawat, atau Syekh sedang memulai kelasnya dengan bacaan shalawat. Saya juga membayangkan ketika Syekh menulis syair shalawat ini dan berwasiat tentang keutamaan shalawat. Sebuah bacan ringan, namun jika kita hayati dengan sepenuh hati, memiliki pengaruh yang luar biasa. Bulan Maulid boleh datang dan pergi, tapi shalawat dan kecintaan kita kepada Nabi tak lekang oleh waktu.