Kitab Suci, Biografi, dan Matahari
Sore, setelah seharian mendung dan dunia tampak murung.
Sore, setelah obrolan bersama teman-teman bertema “Kita dan Pertemuan Huruf”. Obrolan sambil menikmati celotehan orang-orang berbahasa Inggris. Ocehan terdengar daun-daun. Seharian itu bahasa Inggris berhuruf Latin termiliki puluhan orang. Obrolanku dengan teman-teman mengenai huruf Arab, Latin, dan Jawa cuma selingan agar Sabtu (5 Februari 2022) tak berlalu meninggalkan rupa-rupa malu. Obrolan berbahasa Indonesia tapi imajinasi huruf melulu Latin.
Teman-teman menulis babak awal mengalami “pembaratan” oleh ibu dan guru. Di rumah, mereka “diminta dan “dipaksa” bisa membaca kata-kata menggunakan huruf Latin. Sekian orang mengaku terpukau kata-kata tanpa “paksaan” dan “siksaan.” Konon, susah atau salah membaca mendapat marah dan hukuman. Pertemuan tak selalu romantis dan membahagiakan. Pengalaman berbeda saat bertemu huruf Arab. Semula, terdengar sebelum terlihat untuk terbaca.
Obrolan sejenak saja tanpa pamrih mengerti segala. Sekian buku untuk pendalaman atau lacakan sempat diungkapkan meski tanpa pasti dikhatamkan.
Di atas karpet untuk duduk selama obrolan, terlihat buku Marsden mengenai sejarah Sumatra, memuat dua halaman mengenai huruf dan bahasa. Ada tiga jilid Quran: Terjemahan dan Tafsirnya oleh Abdullah Yusuf Ali. Edisi terbitan dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Ali Audah dan Sapardi Djoko Damono, terbitan Pustaka Firdaus, 1993.
Tiga jilid teridamkan sejak lama. Pada suatu hari, ada pedagang di media sosial menawarkan dengan harga terjangkau. Beli! Pedagang justru mengurangi harga. Bahagia! Tiga jilid dikirim ke alamat rumah teman di Pare. Sekian hari lalu, kiriman tiba tapi tuan rumah tak membuka, cuma melihat sampul depan dan belakang. Tiga jilid terbungkus plastik masih rapi.
Sore, sebelum terdengar azan dan makan. Percakapan sejenak bersama pengajar bahasa Inggris tapi keranjingan membaca buku. Aku membual mengenai Abdullah Yusuf Ali mengacu buku biografi terbitan Mizan. Buku berjudul Jiwa yang Resah ingin terbaca lagi tapi kerepotan mencari gara-gara ribuan buku berantakan di rumah. Ingatan-ingatan mengenai Yusuf Ali diceritakan saja sambil memegang dan melihat tiga jilid Quran: Terjemahan dan Tafsirnya. Sore tanpa sumuk membuat percakapan mengenai Al Quran dan sosok Yusuf Ali (penerjemah dan penafsir) berterima saat mengalami hari-hari sering mendung.
Omonganku tak urut tapi menginginkan penghormatan terhadap Yusuf Ali. Dulu, membaca biografi penerjemah-penafsir itu membuat terharu berkepanjangan. Keinginan khatam 3 jilid masih menunggu pembuktian. Percakapan sejenak saat senja itu ingin mengaitkan kitab suci, bahasa Inggris, iman, kolonialisme, dosa, kritik sastra, identitas, bahasa Indonesia, dan lain-lain. Di akhir obrolan, aku menjanjikan bakal mengabarkan edisi bahasa Inggris. Edisi dimiliki duluan, sebelum mendapat edisi berbahasa Indonesia.
Pulang ke Solo, bergerak menuju tempat pemberhentian bis. Aku diantarkan lelaki suka berbagi cerita. Di atas sepeda motor, aku sempat mengatakan ada buku baru Karen Armstrong berjudul The Lost Art of Scripture. Buku terbitan Mizan mungkin berharga mahal. Di perjalanan malam, kitab suci dan manusia menjadi obrolan melawan keramaian jalan.
Di atas bus, tiga jilid dalam tas. Tubuh sudah lungkrah. Mengantuk. Malam basah oleh gerimis. Di bis ngebut, duduk terkantuk sambil mengandaikan bakal khatam tiga jilid Quran: Terjemahan dan Tafsirnya. Ada ingin khatam lagi buku biografi Abdullah Yusuf Ali. Dingin dan makin dingin dalam bis. Sejenak tidur. Malam ingin berlalu dalam bis dan angan-angan sepanjang jalan.
Sabtu berlalu, bertemu Minggu. Pagi masih dingin. Matahari telah bersinar. Terang. Duduk setelah sarapan dan membaca koran, Tiga jilid itu bertemu dengan The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary (1989) oleh Abdullah Yusuf Ali terbitan Amana Corporation, Brentwood, Maryland, USA. Sekian tahun lalu, edisi itu terbeli dengan harga murah. Sekian tahun cuma diam tak terbaca. Aku tak bisa berbahasa Inggris. Aku kadang membuka untuk melihat saja. Edisi bahasa Inggris dipotret dikabarkan ke Pare. Aku ingin mengetahui tanggapan atas citarasa bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Pertemuan The Holly Qur’an: Text, Translation and Commentary dan Quran: Terjemahan dan Tafsirannya menjadikan Minggu atau Ahad agak membahagiakan. Khatam masing angan.
Iseng jeda dengan membaca tumpukan majalah lama mendapat terang dari jendela terbuka. Horison edisi Juli-Agustus 1976 terbuka dan terbaca. Acak. Di halaman 196-197, terbaca Surat Yasin, bersumber dari Al Quranul Karim: Bacaan Mulia oleh HB Jassin. Sekian tahun lalu, Bacaan Mulia sudah termiliki dan terbaca. Khatam sekali saja. Teringat biografi HB Jassin dan babak saat menggarap puitisasi terjemahan Al Quran. Ingatan-ingatan agak samar.
Di lembaran Horison, terkutip: Maha Suci (Tuhan) Yang telah/ menciptakan berpasang-pasangan/ Segala sesuatu yang dihasilkan/ oleh bumi./ Oleh diri mereka sendiri/ Dan oleh segala yang tiada/ mereka ketahui.// Suatu tanda bagi mereka/ ialah malam:/ Kami tanggalkan siang/ daripadanya,/ Maka mereka pun tenggelam/ dalam kegelapan.// Matahari beredar untuk masa/ yang ditentukan baginya;/ Itulah ketetapan Yang Maha/ Perkasa, Yang Maha Tahu.// Dan bulan, telah Kami tetapkan/ baginya manzilah-manzilah/ Hingga dia kembali seperti tangkai/ kurma yang kering.// Tiadalah pantas bagi matahari/ menyusul bulan/ Dan tiada malam melampaui siang./ Masing-masing berenang dalam/ garis edarnya sendiri.
Minggu mau siang. Minggu masih bermatahari. Tubuh terasa lelah. Di jendela, mendung terlihat. Diri mengerti bila hujan bakal turun belum tentu puitis. Begitu.