Menjadi Manusia yang Kosmik : Wujud Kecintaan Pada Nabi Muhammad SAW (2)
Jiwa Manusia dalam Kosmologi Islam
Dalam kosmologi Islam, perilaku yang baik lahir dari keseimbangan potensialitas jiwa. Potensialitas jiwa manusia terbagi menjadi dua yaitu, akal dan hati. Menurut Murata merujuk pandangan kaum sufi bahwa akal adalah potensi diri manusia yang sangat erat kaitannya dengan ruh yang murni dengan cahaya, sedangkan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an memiliki dua dimensi yaitu, dimensi yang dekat dengan cahaya dan dimensi yang dekat dengan alam semesta. Dimensi pertama disebut sebagai hati kedalaman sedangkan dimensi kedua disebut dengan hati permukaan. Hati kedalaman terpaut dengan spiritualitas sedangkan hati permukaan terpaut dengan hasrat manusia.
Akal dan hati juga diistilahkan dalam kosmologi Islam sebagai akal teoretis dan akal praktis. Akal teoretis juga sering disebut dengan maskulin dan akal praktis juga sering disebut dengan feminin. Keduanya memiliki watak yang berbeda satu sama lain. Akal teoretis memiliki kecenderungan untuk mengurai segala sesuatu. Dalam epistemologi dikenal dengan proses konsepsi atau tashawwur, sedangkan akal teoretis dikenal dalam proses penilaian, penetapan nilai atau tashdīq.
Dari dua model istilah yang digunakan untuk mengacu pada akal dan hati, dapat dilihat keduanya menjadi sumber sekaligus alat dalam memperoleh pengetahuan manusia. Akal sebagai sumber pengetahuan memberikan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat rasional, sedangkan hati sebagai sumber pengetahuan memberikan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat intuitif. Akal sebagai sebuah alat pengetahuan membantu manusia dalam mengurai data dan persoalan, akal lebih dekat dengan teoritisasi sedangkan hati sebagai alat pengetahuan membantu manusia untuk memutuskan tindakan atau dengan kata lain dekat dengan tindakan.
Akal dan hati perlu dikawinkan dalam jiwa agar menghasilkan satu tindakan yang bijaksana. Perkawinan jika terjadi pada jiwa manusia akan melahirkan manusia yang kosmik yaitu, yang seimbang kerja akal dan hatinya. Dengan demikian, manusia yang seimbang jiwanya dapat disebut sebagai manusia yang kosmik, akan tetapi lebih lanjut memunculkan pertanyaan bagaimana kita dapat mengawinkan akal dan hati?