Benarkah Nabi Ijinkan Budak Wanita Bernyanyi dan Menabuh Rebana di Hadapannya?
Keterangan-keterangan yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad Saw yang terdapat dalam hadis-hadis, tidaklah semuanya benar dan bisa diterima begitu saja. Sebab hal itu terkadang bertolakbelakang dengan logika maupun nilai-nilai yang telah ditetapkan di dalam al-Quran tentang sosok beliau Saw.
Seperti halnya dalam sebuah riwayat sebagai berikut:
حَدَّثَنَا الحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الحُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ، يَقُولُ: خرجَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ في بعضِ مَغازيهِ ، فلمَّا انصرفَ جاءت جاريةٌ سوداءُ ، فقالت : يا رسولَ اللَّهِ إنِّي كُنتُ نذرتُ إن ردَّكَ اللَّهُ سالمًا أن أضربَ بينَ يديكَ بالدُّفِّ وأتغنَّى ، فقالَ لَها رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ : إن كنتِ نذَرتِ فاضربي وإلَّا فلا . فجعَلت تضرِبُ ، فدخلَ أبو بَكْرٍ وَهيَ تضربُ ، ثمَّ دخلَ عليٌّ وَهيَ تضربُ ، ثمَّ دخلَ عُثمانُ وَهيَ تضربُ ، ثمَّ دخلَ عمرُ فألقتِ الدُّفَّ تحتَ استِها ، ثمَّ قعَدت علَيهِ ، فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ : إنَّ الشَّيطانَ ليخافُ منكَ يا عمرُ ، إنِّي كنتُ جالسًا وَهيَ تضربُ فدخلَ أبو بَكْرٍ وَهيَ تضربُ ، ثمَّ دخلَ عليٌّ وَهيَ تضربُ ، ثمَّ دخلَ عثمانُ وَهيَ تضربُ ، فلمَّا دخلتَ أنتَ يا عمرُ ألقتِ الدُّفَّ.
Telah bercerita pada kami Husein bin Huraits, berkata: Telah bercerita pada kami Ali bin Husein bin Waqid, berkata: Telah bercerita padaku ayahku, berkata: Telah bercerita padaku Abdullah bin Buraidah, berkata: Aku mendengar ayahu Buraidah berkata: Rasulullah telah keluar (bepergian) dalam sebagian peperangannya, ketika ia kembali (dari peperangan) datanglah seorang budak hitam wanita, berkata: Wahai Rasulullah sungguh aku telah bernazar seandainya Allah Swt memulangkanmu dalam keadaan selamat maka aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapanmu. Rasulullah Saw berkata padanya: Seandainya kamu telah bernazar, maka tabuhlah, jika tidak maka jangan. Kemudian ia (budak wanita) mulai menabuh rebana dan masuklah Abu Bakar sementara ia masih menabuh, kemudian masuklah Ali dan budak wanita itu masih menabuh, kemudian masuklah Utsman dan ia masih menabuh, kemudian masuklah Umar dan budak wanita itu meletakan rebana itu mendudukinya, kemudian Rasulullah Saw berkata: Sesungguhnya Syaitan takut darimu wahai Umar, sebelumnya aku duduk dan ia (budak wanita) menabuh (rebana dan bernyanyi), kemudian Abu Bakar masuk sementara ia masih menabuh, kemudian masuk Ali dan budak wanita itu masih menabuh, kemudian masuk Utsman dan ia masih menabuh, namun ketika engkau masuk wahai Umar, ia (budak wanita) melempar rebananya.[1]
Dari riwayat tersebut terlihat beberapa hal yang tidak wajar apabila hal tersebut muncul dari sosok agung Nabi Muhammad Saw, seperti:
Pertama, membiarkan seorang budak wanita (bukan muhrim) menabuh rebana dan bernyanyi di hadapannya. Hal ini seperti perbuatan yang dilakukan oleh para pembesar arab di masa jahiliah yang mana apabila kejadian itu bisa kita tarik dan terjadi pada seorang ulama besar masa ini, maka hal ini akan mencoreng marwah dan kehormatannya, bagaimana bisa hal itu terjadi pada Nabi Saw. Selain meskipun perbuatan budak wanita tadi berdasarkan nadzar, apabila nazarnya adalah perbuatan maksiat maka hal tersebut tidak sah untuk menjadi nadzar seperti yang dijelaskan dalam riwayat yang dinukil oleh Ibnu Majah dalam bab An-Nadzr Fil Ma’shiati.
Kedua, budak wanita itu tidak takut pada siapa pun yang hadir termasuk Nabi Muhammad Saw, kecuali Umar. Dari sini terlihat seolah sosok Umar lebih ketat dan perhatian dalam urusan mempraktikan hukum-hukum Allah Swt ketimbang Nabi Muhammad Saw. Sementara itu secara jelas dan tegas Allah Swt menyatakan di dalam al-Quran bahwa sosok nabi adalah contoh dan tauladan bagi manusia, artinya beliau Saw adalah yang terdepan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat atau hukum Allah Swt, seperti yang sudah diulas pada pembahasan sebelumnya. Seandainya terdapat orang lain yang melebihi keutamaannya, maka hal ini akan membuat ketauladanannya dipertanyakan.
Oleh sebab itu riwayat di atas meskipun secara sanad dihukumi sebagai hadis yang hasan, sahih dan gharib, oleh penulis kitab, namun hal ini tidak menafikan kebutuhan kita untuk meninjau kandungannya dengan membandingkannya pada al-Quran ataupun riwayat-riwayat sahih lainnya.
[1] At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa, Sunan At-Tirmidzi, hal: 1218-1219 bab: Al-Manaqib, no: 4022, cet: Muassasah Ar-Risalah.