Mengenal Sedikit Gambaran Nikah Mut’ah dalam Mazhab Syi’ah
Sebelumnya telah banyak kita bahas perihal disyariatkannya nikah mut’ah dalam Islam. Telah kita paparkan bukti riwayat-riwayat dari kitab-kitab Ahlussunnah tentang kehalalannya dan pengamalannya oleh para sahabat besar hingga tabi’in sejak zaman Rasulullah Saw. Lalu telah kita paparkan juga pandangan dari Para Ulama dan cendikiawan Islam mengenai nikah mut’ah.
Namun, sepertinya hal itu belum cukup untuk meredam tuduhan dan fitnahan negatif tentang nikah mut’ah yang diyakini oleh Mazhab Syi’ah. Bisa saja hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang nikah mut’ah dalam mazhab Syi’ah. Sehingga, dirasa perlu bagi kami untuk memaparkan sedikit gambaran umum tentang nikah mut’ah dalam Mazhab Syi’ah.
* Sebagaimana dalam nikah daim (Permanen) yang memiliki syarat dengan melakukan akad, begitupun nikah mut’ah harus dilakukan dengan akad yang di dalamnya ada ijab kabul, dan juga harus menyebutkan maharnya. Yang berbeda dengan nikah permanen ialah dalam akad nikah mut’ah harus disebutkan penentuan masa pernikahannya.
* Tidak boleh bagi perempuan yang masih perawan untuk melakukan nikah mut’ah tanpa seijin (restu) walinya (ayahnya atau kakeknya).
Tahrir wasilah Juz 2 Hal 288-289
istiftaat Sayyid Ali Sistani – sistani.org
Nikah mut’ah memiliki aturan masa iddah sebagaimana dalam nikah permanen. Dalam tafsir Al-Amtsal Syekh Makarim Syirazi menyebutkan bahwa ketika masa pernikahan mut’ah telah selesai, maka bagi perempuan ada masa iddahnya yaitu untuk tidak menikah dengan laki-laki lain paling sedikit setelah 45 hari.[1]
Sama halnya dengan nikah permanen, dalam nikah mut’ah tidak boleh untuk menikahi seseorang yang berstatus muhrim baginya seperti orangtua, anak, bibi dan lainnya. Begitu juga tidak boleh bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan perempuan yang berstatus istri orang lain. Oleh sebab itu tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa orang-orang syi’ah melakukan nikah mut’ah dengan saling menukar istri-istri mereka. Itu adalah fitnah yang kejam.
Disebutkan dalam tafsir Al-Amtsal, bahwa anak-anak yang lahir dari hasil nikah mut’ah tidak berbeda dalam hal apapun dari anak-anak yang lahir dari pernikahan permanen baik dalam hak waris maupun hak kemasyarakatan.[2]
Dari penjelasan di atas kita telah mengetahui bahwa nikah mut’ah memiliki aturan-aturan tertentu sebagaimana juga nikah permanen. Hal tersebut membuktikan bahwa nikah mut’ah tidak sama dengan zina seperti yang sering dituduhkan, dalam zina tidak mungkin ada aturan seperti akad atau masa iddah. Untuk penjelasan detail seputar persoalan nikah mut’ah pembaca yang Budiman bisa merujuk langsung pada risalah amaliah para maraji’ atau fatwa dari ulama – marja’ – syi’ah. Disana dijelaskan secara keseluruhan perihal fatwa-fatwa nikah mut’ah yang tidak bisa kami paparkan seluruhnya disini.
Mudah-mudahan dengan pemahaman dan penjelasan yang sedikit ini memberikan manfaat serta mencegah dari tuduhan negatif atau fitnah yang menyebut nikah mut’ah sebagai kesesatan mazhab tertentu, dan mudah-mudahan kita semakin kokoh dalam menjalin persatuan serta terhindar dari hasutan perpecahan yang bisa membuat kita lemah dan terperdaya.
(YS/MM)
[1] Tafsir Al-Amtsal Juz 5 Hal 83
[2] Ibid Hal. 84