Mengapa Nasruddin Hoja Kesal dengan Pertanyaan Anaknya?
Diceritakan, ketika usia anak Nasruddin Hoja beranjak dewasa dan rasa ingin tahunya kian bertambah, ia begitu sering melontarkan berbagai macam pertanyaan kepada ayahnya tersebut, hingga tak jarang membuat sang ayah kesal.
Suatu ketika, sang anak mengajukan pertanyaan untuk yang kesekian kalinya. “Ayah, mengapa engkau memiliki beberapa lembar rambut berwarna putih?”
“Sebab,” bentak Hoja yang memang sudah begitu kesal dengan sikap anaknya tersebut, “Ketika anak-anak tak henti menanyakan hal-hal yang tak masuk akal maka rambut seorang ayah menjadi putih.”
“Oh,” jawab putranya santai, “Pantesan rambut kakek putih seperti salju!”
Barangkali cerita Nasruddin di atas merupakan gambaran kecil perihal sikap kita sebagai orang tua, guru atau bahkan sebagai kaka, yaitu sikap yang sering merasa bosan ketika ada seorang anak melontarkan berbagai macam pertanyaan yang membingungkan. Setidaknya itu yang terkadang saya alami.
Ketika usia Kiya, anak pertama saya baru dua tahun lebih, ia pernah menanyakan, “Allah itu apa?” Waktu itu saya menjawab sebisanya dengan mengatakan bahwa Allah itu adalah Tuhan yang menciptakan Ilkiya, menciptakan Mama dan Aba.
Belakangan, dengan bertambahnya usia, pertanyaan Kiya kian banyak dan beragam. Kadang sering membingungkan. Dari hal-hal yang rumit sampai yang tak begitu penting. Semisal tentang di mana rumah Allah? Allah menggunakan baju warna apa? Sampai dengan pertanyaan kenapa Ilkiya tidak bertelur? Atau kenapa rambut Ilkiya ikal? Dan sebagainya.
Meski terkadang membuat sedikit kesal karena setelah diberi jawaban, muncul lagi pertanyaan lain yang lebih membingungkan, namun saya tetap harus bersyukur. Sebab, bisa saja hal itu merupakan akar rasa cintanya terhadap segala bentuk pengetahuan. Apalagi disaat usinya makin beranjak dewasa, tentu keingintahuannyapun kian bertambah.
William Sears, seorang psikolog anak, menuturkan, bahwa meskipun pertanyaan seorang anak tidak habis-habisnya, dan begitu mengganggu atau tidak menyenangkan, namun tetaplah segera menjawabnya, sebab hal itu merupakan suatu investasi untuk masa depan seorang anak.
Selain itu, lanjut Sears, ketika kita memberikan jawaban atau membantunya menemukan jawaban, sebenarnya kita telah mengajarkan keterampilan hidup, yaitu mencari pengetahuan, menganalis permasalahan, dan bekerja sama.
Ikut andil dalam memberi jawaban dari berbagai macam pertanyaan seorang anak, selain mengajarkan keterampilan hidup kepada mereka, seperti yang dinyatakan William Sears di atas, terkadang pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari isi kepala anak-anak juga memberikan wawasan yang cukup menakjubkan.
Pernah suatu hari, Kiya melontarkan pertanyaan yang cukup menarik kepada ibunya ketika ia melihat seekor siput di dekatnya. “Mama, siput itu ciptaan Allah kan?” “Iya,” “Nah, kalau siput itu ciptaan Allah, kenapa ia tidak tinggal dekat Allah saja?”
Pada akhirnya, sebagai orang tua, kita memang mesti selalu belajar untuk lebih peka terhadap apa-apa yang berkenaan tentang anak-anak kita sendiri. Karena mereka merupakan salah satu sumber kebahagiaan yang mendalam.
Namun, ada hal yang juga cukup penting untuk diperhatikan ialah bahwa kita, sebagai orang tua mesti menghindari sikap bohong ketika menjawab pertanyaan.
Imam Jamal Rahman menuturkan, bahwa orang tua mesti menghormati naluri anak-anak untuk memperoleh kebenaran, dan jangan sampai melakukan kebohongan kecil kepada mereka. Sebab, kata Jamal Rahman, seorang anak ialah peniru alami dan cepat belajar untuk berperilaku seperti orangtuanya. Ketika orangtua mereka berbohong maka mereka pun akan segera mempelajari keahlian tersebut. Waallah A’lam