Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Keadilan Ekonomi; Hukum bagi si penimbun(1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Pendahuluan

Isu penimbunan barang, terutama dalam konteks barang kebutuhan pokok dan mata uang, menjadi perhatian serius di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Iran. Di Indonesia, penimbunan sering terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi, inflasi, dan fluktuasi harga barang. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bagaimana Iran mengelola isu serupa melalui pendekatan hukum dan ekonomi, serta bagaimana hal ini dapat dibandingkan dengan praktik di Indonesia.


Definisi Penimbunan

Secara umum, penimbunan didefinisikan sebagai tindakan menyimpan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi ketika pasokan berkurang. Dalam hukum Islam, tindakan ini dianggap merugikan masyarakat dan bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Ahmad Alamolhoda, Imam Jumat Mashhad, pada 4 Ordebesht 1402 (30 April 2023), menegaskan bahwa “penyimpanan mata uang dan koin adalah dosa yang setara dengan penimbunan,” serta menyerukan agar pemerintah menyita aset-aset tersebut. Dalam konteks ini, kita perlu mempertimbangkan apa yang dimaksud dengan penimbunan menurut fikih dan bagaimana hal ini diatur dalam hukum negara.


Penimbunan dalam Fiqh

Dalam pandangan fikih, penimbunan adalah praktik yang diharamkan, terutama ketika barang yang ditimbun adalah kebutuhan pokok masyarakat. Menurut sebagian ulama, penimbunan hanya berlaku untuk barang-barang tertentu seperti gandum, jelai, kurma, dan kismis, yang dianggap esensial bagi kehidupan masyarakat. Imam Khomeini, dalam buku *Tahrir al-Wasilah*, menyatakan bahwa penimbunan adalah haram, yakni menyimpan dan mengumpulkan makanan dengan tujuan menaikkan harga saat umat Muslim membutuhkan. Penimbunan dianggap sebagai tindakan egois yang merugikan masyarakat dan melanggar prinsip keadilan.

Imam Ja’far al-Sadiq juga memberikan pandangan yang tegas tentang penimbunan. Dalam sebuah riwayat, beliau mengatakan, “مَنِ ادَّخَرَ طَعَامًا يُعَامِرُ النَّاسَ لِيُغَلِّبَهُمْ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ”

“Barangsiapa yang menimbun makanan untuk menyakiti orang-orang, maka dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.” (Kitab Al-Kafi, Bagian Muamalat, Hadits nomor 1957)

Pernyataan ini menegaskan bahwa penimbunan tidak hanya merugikan ekonomi masyarakat, tetapi juga berdampak pada moral dan spiritual individu yang melakukannya. Dalam konteks ini, tindakan penimbunan dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan bertentangan dengan nilai-nilai moral yang diajarkan dalam Islam.