Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

“Kaidah Fiqh Tasalut: Melawan Pengaruh Asing dalam Hubungan Internasional” (1)

2 Pendapat 05.0 / 5

Kaidah Tasalut, yang melarang dominasi kekuatan asing terhadap umat Islam, menjadi prinsip penting dalam hukum Islam dan sangat relevan dalam konteks hubungan internasional. Pengaruh atau نفوذdalam pandangan fiqh Islam, khususnya dalam perspektif Syiah, memiliki perkembangan yang unik seiring dengan perubahan sosial dan politik dalam sejarah umat Islam. Kaidah ini bertujuan untuk menjaga kemandirian umat dan melindungi dari segala bentuk intervensi asing yang merugikan, sehingga konsep ini memiliki keterkaitan erat dengan kekuasaan dan dominasi dalam hubungan internasional modern. Artikel ini membahas bagaimana para fuqaha Syiah memahami dan mengembangkan konsep نفوذ dalam tiga periode utama—sebelum konstitusi, masa konstitusi, dan era Revolusi Islam Iran—dan kaitannya dengan kaidah tasalut dalam membangun resistensi terhadap pengaruh asing.

Pada masa pra-konstitusi, ulama-ulama Syiah terkemuka seperti Sheikh Tusi dan Muhaqqiq Hilli memberikan pandangan awal terkait kaidah Nafy Sabil (larangan untuk memberikan jalan bagi non-Muslim dalam menguasai kaum Muslim), yang dianggap sebagai dasar dari penolakan terhadap dominasi asing. Pada periode ini, para fuqaha lebih fokus pada fiqh politik internal, yang bertujuan melindungi kekuasaan pemimpin Islam dari campur tangan kekuatan asing. Konsep نفوذ dalam pandangan para fuqaha periode ini tidak diterapkan dalam konteks hubungan internasional, melainkan sebagai bagian dari usaha menjaga kemandirian umat Islam di bawah kepemimpinan Islam. Dengan demikian, Nafy Sabil berfungsi sebagai perisai bagi masyarakat Muslim dari ancaman luar yang dapat menggoyahkan stabilitas dan kedaulatan pemimpin mereka. Para fuqaha menekankan pentingnya mempertahankan kekuasaan pemimpin Islam, yang harus bebas dari pengaruh atau campur tangan asing. Pandangan ini menjadi dasar penting dalam melindungi umat Islam dari segala bentuk pengaruh eksternal yang berpotensi merugikan.

Namun, pada periode konstitusi, ketika dunia Muslim mulai berinteraksi lebih intensif dengan kekuatan kolonial, pemahaman mengenai نفوذ mengalami perkembangan lebih lanjut. Para fuqaha pada masa ini, seperti Akhund Khorasani dan Allamah Na’ini, menyadari bahwa interaksi dengan dunia luar telah membawa berbagai bentuk pengaruh dan dominasi asing yang mengancam independensi umat Islam. Istilah نفوذ mulai digunakan dalam konteks hubungan internasional dan menjadi perhatian utama dalam menjaga kemerdekaan dan stabilitas negara-negara Muslim. Akhund Khorasani dan Allamah Na’ini bahkan memperingatkan bahwa نفوذ melalui jalur diplomasi resmi sering kali menjadi sarana bagi kekuatan kolonial untuk menguasai negara-negara Muslim secara tidak langsung. Mereka memperingatkan umat Islam tentang potensi ancaman dari diplomasi resmi yang dijalankan oleh kekuatan asing, yang sering kali tersembunyi di balik niat kerja sama, tetapi memiliki tujuan tersembunyi untuk memperkuat dominasi atas negara-negara Muslim. Pemikiran ini menjadi peringatan bagi umat Islam untuk selalu waspada terhadap upaya infiltrasi yang bisa saja merugikan, terutama dalam konteks hubungan internasional. Pada saat itu, para fuqaha memperingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam kepentingan negara-negara kolonial yang mencoba mempengaruhi kebijakan dalam negeri melalui berbagai perjanjian diplomatik atau kerja sama yang sebenarnya menyamarkan upaya penguasaan.