Perempuan Dan Politik dalam Konteks Sayyidah Fathimah as (Part: 2B)
Dan Allah swt telah melarang syirik, sehingga yang patut disembah hanyalah diri-Nya (“Maka bertakwalah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah mati melainkan dalam keadaan muslim”), dan ta’atilah Allah dalam hal-hal yang telah diperintahkan dan dilarang-Nya, karena sesungguhnya ; “Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Nya yang takut terhadap Allah ialah para ulama…
Wahai manusia, ketahuilah sesungguhnya aku adalah Fathimah, dan ayahku adalah Muhamad, aku mengatakan ini tidak satu kali tapi berkali-kali. Ketahuilah aku tidak pernah berkata salah dan aku tidak pernah melakukan perbuatan yang salah…
Allah telah menyelamatkan kalian dari kehinaan melalui ayahku Muhamad setelah melewati segala macam halangan dan rintangan…
Tiap kali para pengikut setan atau kaum musyrikin bangkit untuk menyerang kalian, ayahku menjadikan saudaranya (Ali bin Abi Thalib) untuk menghadangnya.
Ali tidak pernah berhenti berperang melawan para musuh-musuh Islam dan memadamkan api fitnah dengan pedangnya.
Ali senantiasa menjadikan dirinya dalam kesulitan dan kesusahan berjuang untuk Allah.
Ali senantiasa berjuang demi menjalankan perintah Allah.
Ali orang yang dekat dengan Rasulullah, ia adalah penghulu para wali dan kekasih Allah, senantiasa menyingsingkan lengan bajunya untuk melakukan kebaikan, bersungguh-sungguh dan pekerja keras, dalam menjalankan perintah Allah tidak takut dengan segala macam cercaan.
Sementara kalian kala itu hidup sejatera, hidup bersenang-senang dan aman.. kalian lari dari peperangan…. “[2]
Pidato Fathimah az-Zahra as dalam kondisi sakit di hadapan perempuan Muhajirin dan Anshar, isinya kembali mengingatkan perlakuan para suami mereka terhadap pemimpin sah yang diangkat Rasulullah saw,
“…aku marah pada para suami kalian… terpaksa aku limpahkan kepemimpinan kepada mereka…
Celakalah mereka, bagaimana mungkin mereka telah menjauhkan khilafah dari orang yang merupakan pondasi risalah, asas kenabian dan hidayah, tempat turunnya Jibril al-Amin, yang mengetahui segala urusan dunia dan agama. Tidak ragu lagi ini adalah kerugian yang sangat nyata…”
Apakah dosa Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib) mereka telah hingga mereka balas dendam kepadanya? Sumpah demi Allah, kesalahannya hanya karena ia menghunuskan pedang, tidak takut mati, berjuang keras dalam menumpas musuh-musuh Islam, berani dalam peperangan…” [3]
Dari khutbah-khutbah politik tersebut kita belajar tentang perjuangan Sayidah Fathimah bahwa dengan integritas, keteguhan, dan keberanian dalam menghadapi ketidakadilan, beliau telah membuktikan bahwa perempuan tidak hanya berperan dalam urusan domestik, tetapi juga memiliki peran strategis dalam politik, keadilan, dan perubahan sosial, dari perjuangannya untuk membela hak-hak yang benar.
[1] Biharul Anwar, jil 28, hal 205
[2] Balaghatun Nisa, Ibnu Thaifur, hal 23-32
[3] Balaghatun Nisa, Ibnu Thaifur, hal 32-33