"AGAMA TANPA MANUSIA"
Masyarakat secara sukarela terlihat memilih sekulariasme dalan pengertian umum ketika sebagian besar agamawan hanya mengulang-ulang teks dengan anjuran dan larangan juga janji pahala dan ancaman siksa tanpa interpretasi relevan dengan konteks zaman. Masyarakat mulai lelah dijejali agama yang hanya berdimensi teologis tanpa dimensi antropologis.
Agama seolah disampaikan di ruang kosong tanpa manusia, seakan agama hanya "dari Tuhan" tanpa "untuk manusia", seakan manusia harus menerima saja apa yang disampaikan para agamawan tentang ajaran Tuhan, padahal apa yang disampaikannya adalah produk interpretasi para agamawan terdahulu atau doktrin yang dipaksakan.
Akibatnya, agama dipandang sebagai aturan vertikal saat shalat dan praktik-praktik ritual semata. Sebagai gantinya, masyarakat merujuk ke ilmuwan dan konsultan, penasihat perkawinan, psikolog, motivator dan sebagainya saat ingin menyelesaikan aneka problema hidup. Para agamawan hanya diperlukan saat ada kematian untuk berkomat kamit membaca mantra, memberkati pasangan yang baru menikah, menyadarkan orang kesurupan dan sebagainya.
Lebih runyam lagi bila yang jadi agamawan adalah orang yang mendalami ilmu agama secara benar, apalagi tak mengimani agama tapi berbulu agamawan sambil melestarikan kejumudan demi memapankan status quo feodalisme.
Dalam konteks ini, kesenjangan antara ajaran agama yang diterima secara tradisional dan kebutuhan masyarakat modern untuk makna, bimbingan, dan pemahaman yang lebih relevan semakin terasa. Masyarakat cenderung mencari pemahaman yang lebih berarti tentang agama dengan mengaitkannya secara lebih langsung dengan realitas kehidupan mereka sehari-hari.
Agamawan perlu mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam dan teoritis tentang bagaimana agama dapat tetap relevan dan bermakna dalam kehidupan individu dan masyarakat dalam era sekularisasi dan modernisasi.
Kajian agama dan teologi yang kritis dan kontekstual dapat membantu merumuskan pandangan yang lebih holistik dan berkesinambungan tentang peran agama dalam memberikan arah dan makna bagi kehidupan manusia. Bila tidak, agama hanya bagian dari kebiasaan dan ketelanjuran tanpa esensi dan fungsi yang nyata.