Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kemiskinan: Ujian Besar dan Kematian yang Lebih Dahsyat (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Kemiskinan bukan hanya sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga sebuah ujian besar yang dapat mengguncang pondasi keimanan dan akhlak seseorang. Para imam suci Ahlulbait as., khususnya Imam Ali a.s., dengan sangat jelas menekankan bahayanya kemiskinan. Bahkan Rasulullah Saw sendiri menyatakan bahwa kemiskinan bisa sedekat itu dengan kekufuran.

Dalam sebuah hadis masyhur, Rasulullah Saw bersabda:

[1]“كادَ الفَقرُ أن يكونَ كُفرًا”
“Hampir saja kemiskinan itu menjadi kekufuran.”

Hadis ini menggambarkan betapa beratnya dampak kemiskinan, hingga bisa menyeret seseorang pada titik kritis dalam keimanannya. Bukan berarti setiap orang miskin akan menjadi kafir, tetapi kemiskinan—terutama jika tidak disertai kesabaran dan kekuatan spiritual—bisa menjadi jalan yang sangat licin menuju kekufuran dalam bentuk pikiran, ucapan, maupun tindakan.

Imam Ali a.s., dalam banyak ungkapannya, menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Beliau bersabda:

[2]“الفَقْرُ المَوْتُ الأَكْبَر”
“Kemiskinan adalah kematian yang lebih besar.”

Ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam. Kematian biasanya membawa manusia keluar dari penderitaan dunia. Tetapi seorang fakir, orang yang hidup dalam kemiskinan parah, bagaikan orang yang terus-menerus berada di ambang kematian. Setiap hari adalah perjuangan, bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk menjaga harga diri, kehormatan, dan imannya.

Imam Ali melihat kemiskinan bukan dari sisi material semata, tetapi dari efek sosial dan spiritualnya. Kemiskinan bisa membuat seseorang kehilangan kendali atas dirinya. Ketika seseorang melihat anak-anaknya kelaparan dan tidak memiliki apa pun untuk diberikan, ia bisa terdorong untuk melanggar hukum, merobek nilai-nilai moral, bahkan meragukan keadilan dan rahmat Tuhan. Inilah yang dimaksud dengan “fakir bisa mendekati kekufuran”—bukan kekufuran dalam akidah saja, tapi juga dalam amal, dalam sikap, dan dalam penerimaan terhadap qadha Allah.

Salah satu ungkapan paling indah dan menyayat dari Imam Ali adalah:

[3]“الغِنَى فِي الْغُرْبَةِ وَطَنٌ، وَالْفَقْرُ فِي الْوَطَنِ غُرْبَةٌ”
“Kekayaan di negeri asing terasa seperti berada di tanah air, dan kemiskinan di tanah air sendiri terasa seperti di negeri asing.”

Kalimat ini mengandung ironi sosial yang dalam. Seorang yang kaya, meskipun jauh dari kampung halamannya, tetap disambut, dihormati, dan dimuliakan. Sementara seorang miskin, meskipun hidup di tengah keluarganya sendiri, bisa merasa terasing, terabaikan, bahkan tidak dihargai. Inilah ketidakadilan sosial yang sering muncul dalam realita masyarakat—di mana nilai seseorang tidak selalu diukur dari akhlaknya, melainkan dari hartanya.