Kemiskinan: Ujian Besar dan Kematian yang Lebih Dahsyat (2)
Kemiskinan dan Penyimpangan Akidah serta Moral
Kemiskinan, menurut Islam, tidak boleh menjadi alasan untuk membenarkan dosa, tetapi juga tidak boleh dijadikan dalih untuk menutup mata terhadap penderitaan orang lain. Orang yang memiliki kekayaan diperingatkan untuk tidak bersikap angkuh, dan yang miskin diberi harapan serta dorongan untuk tetap menjaga kehormatan dirinya dan Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pengentasan kemiskinan. Alasannya jelas: kemiskinan menjadi ladang subur bagi berbagai penyimpangan akidah dan moral, terutama bagi mereka yang lemah dan tidak kuat secara mental.
Dari berbagai hadis dan pandangan para imam, tampak jelas bahwa Islam tidak hanya menyeru pada kesabaran menghadapi kemiskinan, tetapi juga menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan. Dalam Islam, kemiskinan bukan sekadar ujian, tetapi masalah sosial yang harus diatasi secara kolektif. Rasulullah Saw dan para imam Ahlulbait tidak hanya menganjurkan kesabaran kepada fakir miskin, tetapi juga mendorong masyarakat dan pemimpin untuk bertanggung jawab menghilangkan kemiskinan melalui zakat, infak, sedekah, serta kebijakan sosial yang adil.
Telah banyak kita saksikan bahwa orang-orang miskin kadang melontarkan kata-kata yang mendekati kekufuran. Ketika mereka melihat istri dan anak-anaknya kelaparan, mereka bisa saja nekat melakukan apa pun: melanggar hukum-hukum sosial, melupakan adab dan akhlak, dan menganggap segala cara halal demi mengatasi kefakiran mereka.
Maka dari itu, Islam tidak memandang kemiskinan sebagai kemuliaan spiritual itu sendiri, melainkan ujian yang berat dan berpotensi menggiring ke arah kejatuhan moral dan spiritual jika tidak ditangani secara bijak—baik oleh individu maupun oleh masyarakat.
Syukur Sebagai Penjaga Nikmat
Dalam konteks yang berkaitan, Imam Ali juga berbicara tentang pentingnya syukur dalam menjaga dan menambah nikmat. Beliau bersabda:
[4]“مَن أُعْطِيَ الشُّكْرَ لَمْ يُحْرَمِ الزِّيَادَةَ”
“Barangsiapa diberi kemampuan untuk bersyukur, maka ia tidak akan dihalangi dari tambahan nikmat.”
Artinya, ketika seseorang menyambut nikmat Allah dengan hati yang bersyukur, lisan yang memuji, dan amal yang sesuai, maka Allah akan terus menambahkan nikmat itu. Sebaliknya, ketidaksyukuran bisa menjadi sebab nikmat dicabut, dan ini berlaku juga dalam konteks sosial: masyarakat yang tidak peduli terhadap fakir miskin, bisa saja kehilangan keberkahan bersama.
Islam tidak hanya menganjurkan sabar bagi fakir miskin, tetapi juga mendorong masyarakat untuk menghilangkan kemiskinan. Zakat, infak, dan sedekah bukan hanya ibadah individual, tetapi bentuk tanggung jawab sosial yang konkret.
Kata-kata Imam Ali dan Rasulullah bukan sekadar peringatan, melainkan panggilan untuk merenung dan bertindak. Kemiskinan adalah ujian berat bagi yang mengalaminya, dan ujian tanggung jawab bagi yang tidak mengalaminya. Ia bisa mendekatkan seseorang pada kekufuran atau mengangkatnya ke derajat yang tinggi, tergantung pada bagaimana ia menghadapinya.
[1] Al-Majlisi, Bihār al-Anwār, jilid 19, hlm. 130
[2] Nahjul Balaghah Hikmah no. 163
[3] Nahjul Balaghah Hikmah no. 313
[4] Nahjul Balaghah Hikmah no. 135