Memahami Arti Tafsir Bi Ra’yi (1)
Tafsir bi ra’yi bermakna bahwa manusia menjadikan pendapat dan gagasan tertentu sebagai hipotesa dan praasumsi yang diterima dan tidak dapat diragukan kemudian merujuk kepada al-Quran untuk mencari sokongan dan dukungan berdasarkan konsep ayat-ayat Ilahi.
Tafakkur adalah sebuah perjalanan dalam batin atau gerak dari pendahuluan menuju kesimpulan dan dari ma’lum kepada majhul dimana yang menjadi asasnya adalah ilmu. Dengan kata lain tafakkur adalah sebuah fakultas yang terdapat dalam diri manusia yang kerjanya melakukan inferensi dan penyimpulan berdasarkan hal-hal yang diketahui yang berujung pada pengenalan dan pengetahuan bagi manusia.
Inferensi personal atau penafsiran al-Quran merupakan sebuah pengetahuan khusus yang memiliki kriteria-kriteria dan formula-formula tertentu. Setiap orang dapat menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan melakukan inferensi atasnya atas hal-hal yang diketahuinya. Terdapat kriteria-kriteria dan kaidah-kaidah untuk melakukan interpretasi dan penafsiran al-Quran yang tanpanya ia tidak dapat melakukan kesimpulan pribadi yang akan kita urai pada jawaban detil.
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang terdiri dari tiga subyek tersendiri dan jawaban dari masing-masing subyek ini menuntut ruang tersendiri lebih dari sekedar sebuah makalah. Namun pada kesempatan ini kami akan berusaha berusah menjawabnya secara ringkas.
Jelas bahwa dengan memperhatikan definisi yang akan dikemukakan terkait dengan tiga subyek bahasan ini yaitu tafsir bi ra’yi, tafakkur dan penafsiran pribadi, maka perbedaan di antara ketiganya juga akan menjadi jelas.
Tafsir bi ra’yi:
Tasfir bi ra’yi bermakna bahwa manusia menjadikan pendapat dan gagasan tertentu sebagai hipotesa dan praasumsi yang diterima dan tidak dapat diragukan kemudian merujuk kepada al-Quran untuk mencari sokongan dan pembenaran berdasarkan konsep ayat-ayat Ilahi. Dengan kata lain, sebelum merujuk kepada al-Quran sebagai nara sumber dan kalam Ilahi manusia menggambarkan beberapa hipotesa dan pendapat dalam beberapa bidang kemudian sampai pada kesimpulan yang diinginkannya. Nah supaya pendapat-pendapatnya itu memiliki sandaran al-Quran dan wahyu kemudian ia merujuk kepada al-Quran dan memanfaatkan bentuk lahir ayat untuk menyokong pandangan-pandangannya serta menyandarkan pandangan-pandangan ini pada al-Quran. Hal seperti ini dalam terma dispilin ‘Ulum al-Qur’an disebut sebagai tafsir bi ra’yi.
Beberapa bahaya tafsir bi ra’yi:
Salah satu kunci memahami al-Quran dengan tepat dan mencerap secara benar maksud-maksudnya adalah menghindari pelbagai prajudis dan prahipotesa yang tidak akan diperoleh hasilnya kecuali dengan tafsir bi ra’yi.
Sejatinya praasumsi dan prahipotesa terkait dengan ayat-ayat al-Quran akan menggiring manusia hingga pada batasan keterpurukan dan menjatuhkan manusia dalam kubangan tafsir bi ra’yi. Tafsir bi ra’yi adalah salah satu aktivitas yang paling berbahaya sehubungan dengan al-Quran. Tafsir semacam ini telah dilarang dalam beberapa riwayat. Bahaya ini semenjak awal telah mengancam umat Islam.
Para Imam Maksum As berulang kali mengingatkan bahayanya masalah tafsir bi ra’yi ini. Rasulullah Saw terkait dengan hal tersebut bersabda apa yang aku takutkan setelah yang akan menimpa umatku adalah tafsir bi ra’yi.[1] Rasulullah Saw demikian juga bersabda, “Man fassara al-Qur’ân bira’yihi falyatabawwahu maq’adahu min al-nâr.” Barang siapa yang menasirkan al-Quran berdasarkan pendapat pribadinya maka ia harus mempersiapkan tempat kediamannya dari api neraka.”[2] Karena itu, tafsir bi ra’yi adalah menafsirkan al-Quran yang bertentangan dengan kandungan-kandungan ilmu Bahasa Arab, sastra Arab, dan penyelarasan pendapatnya pada asumsi-asumsi, anggapan-anggapan batil dan kecendrungan-kecendrungan pribadi dan kelompok.
Tafsir bi ra’yi memiliki banyak cabang di antaranya adalah memilih-milih ayat-ayat al-Quran. Artinya bahwa manusia dalam sebuah pembahasan misalnya seperti syafa’at, tauhid, imâmah dan seterusnya hanya bersandar pada beberapa ayat yang cocok dengan pendapatnya dan praasumsi-praasumsi. Adapun ayat-ayat lainnya yang tidak sejalan dengan pikiran-pikirannya dan dapat menjadi penafsir ayat-ayat pertama diabaikan begitu saja atau dengan enteng ditinggalkan begitu saja.
Kesimpulan: Sebagaimana sikap jumud terhadap lafaz-lafaz al-Quran dan tidak menaruh perhatian pada indiikasi-indikasi rasional dan referensial yang standar merupakan sebuah bentuk penyimpangan, tafsir bi ra’yi juga merupakan penyimpangan yang lain dan keduanya membuat manusia jauh dari ajaran-ajaran tinggi dan nilai-nilai mendalam al-Quran.
Bersambung...