Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Memaknai Dzikrul Lil Alamin (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Al-Qur’an sesuai dengan kesaksiannya merupakan sebuah kitab universal, dzikru lil ‘alâmin” dan tidak terkhusus pada ruang dan waktu atau umat tertentu, “nadzîrân lilbasyar.”

Allah Swt sedemikian menata kandungan dan pengetahuan-pengetahuan al-Qur’an sehingga mampu menjawab seluruh kebutuhan manusia sepanjang perjalanan sejarah. Dalam hal ini, manusia dapat memetik manfaat pengetahuan-pengetahuan yang murni dan menyegarkan dari al-Qur’an. Al-Qur’an adalah laksana pelita terang yang bersinar menerangi perjalanan hidup manusia dengan cahaya petunjuk.

Mengingat bahwa Nabi Muhammmad Saw adalah sebagai nabi pamungkas dan Islam adalah agama terakhir Ilahi, dan setelah Nabi Saw tidak akan ada lagi nabi yang akan diutus dan Islam adalah agama terakhir, maka kepamungkasan (khatamiyat) keduanya adalah dalil atas inklusivisme dan keabadian al-Qur’an.

Sejarah al-Qur’an dan penafsirannya adalah penjelas bahwa berkat keberadaan al-Qur’an pada setiap masa dan waktu, pengetahuan-pengetahuan baru akan tersingkap bagi para pemikir dan menyuguhkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan segala kebutuhan permanen dan temporal manusia yang senantiasa berubah. Akan tetapi hal ini dapat terealisir dengan penjelasan-penjelasan universal, prinsip-prinsip petunjuk dan pencabangan cabang-cabang dari prinsip-prinsip tersebut dilakukan oleh orang-orang yang kokoh dalam ilmu dan metode ijtihad.

Adapun seperti yang Anda katakan, “Al-Qur’an berulang kali menafikan dan menyesuaikan ayat-ayatnya” tidak benar adanya. Karena kami yakin bahwa tiada satu pun dari ayat-ayat al-Qur’an yang menafikan ayat lainnya dan tidak terdapat kontradikisi di dalamnya. Boleh jadi yang Anda maksud dari pernyataan Anda adalah adanya nasakh dalam al-Qur’an.

Namun harap diperhatikan bahwa nasakh sebagian hukum-hukum tidak bermakna nafi (menafikan) dan ta’dil (menyesuaikan). Karena nasakh semenjak semula memiliki hukum temporal dan tatkala masa berakhirnya tiba maka ia digantikan dengan hukum lainnya bukan bahwa hukum tersebut adalah hukum abadi dan kemudian disesuaikan (ta’dil).

Karena itu, apabila tampak pada sebagian ayat al-Quran kontradiksi atau pertentangan maka hal ini adalah pada permukaan dan lahiriahnya saja. Al-Qur’an membenarkan sebagian ayatnya dengan sebagian lainnya. Dengan penjelasan para penafsir maka kontradiski dan pertentangan yang tampak sepintas itu dapat diatasi dan dihilangkan.

Al-Qur’an sesuai dengan kesaksiannya merupakan sebuah kitab universal dan perennial serta mampu menjawab seluruh kebutuhan manusia pada setiap ruang dan waktu serta tidak terkhusus pada umat, adat dan tradisi tertentu. Al-Qur’an menyatakan, “dzikru lil ‘alâmin” (Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk umat semesta alam, Qs. Al-An’am [6]:90) “nadzîrân lilbasyar.”(Sebagai ancaman bagi manusia Qs. Al-Mudattsir [74]:36).

Allah Swt sedemikian menata kandungan dan pengetahuan-pengetahuan al-Qur’an sehingga mampu menjawab seluruh kebutuhan manusia sepanjang perjalanan sejarah. Manusia dapat memetik manfaat pengetahuan-pengetahuan yang murni dan menyegarkan dari al-Qur’an. Al-Qur’an adalah laksana pelita terang yang bersinar menerangi perjalanan hidup manusia dengan cahaya petunjuk.

Sejarah al-Qur’an dan penafsirannya juga merupakan penjelas bahwa berkat al-Qur’an pada setiap masa dan waktu, pengetahuan-pengetahuan baru akan tersingkap bagi para pemikir dan menyuguhkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan kebutuhan-kebutuhan baik yang bersifat tetap atau yang berubah-rubah bagi manusia serta memuaskan dahaga pengetahuan-pengetahuan Ilahi.

Sehubungan dengan inklusivisme, perennial dan universalitas al-Qur’an dapat diargumentasikan dengan banyak cara sebagaimana yang akan disinggung sebagian darinya sebagai berikut:[1]

Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Ma faratthna fi al-kitab min syai” (Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam kitab ini. Qs. Al-An’am [6]:38) “Al-yaum akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati..” (Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, Qs. Al-Maidah [5]:3) dan lain sebagainya.
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa agama Islam merupakan agama sempurna dan apa yang harus disampaikan di dalamnya dan hukum-hukum yang diperlukan sebagai petunjuk manusia telah ditetapkan.

Imam Shadiq As ditanya ihwal kesegaran (freshness) dan barunya (up to date) pengetahuan-pengetahuan al-Qur’an. Imam Shadiq As bersabda, “Kebaruan al-Qur’an disebabkan oleh karena Allah Swt tidak menurunkan al-Qur’an untuk masa temporal atau umat tertentu. Karena al-Qur’an bersifat perennial (abadi) dan universal, maka (ia) senantiasa baru pada setiap masa dan senantiasa menarik dan atraktif bagi masyarakat hingga hari Kiamat.”[2]Kepamungkasan (khatamiyat) adalah dalil inklusivisme dan keabadian al-Qur’an; karena falsafah pengutusan para rasul adalah supaya manusia memperoleh petunjuk melalui wahyu yang disampaikan kepada para rasul dan dengan penjelasan akidah-akidah dan petunjuk-petunjuk terhadap hukum-hukum dan instruksi-instruksi supaya manusia meraih kebahagiaan dan kesempurnaan serta spiritualitas. Mengingat kehidupan manusia senantiasa mengalami perubahan, perkembangan dan penyempurnaan maka harus dikirimkan agama kepada mereka yang mampu menjawab seluruh kebutuhan manusia, karena itu tipologi ini harus terdapat pada Nabi Islam Saw yang merupakan nabi pamungkas dan tidak lada agi agama baru yang memerlukan diutusnya nabi, syariat dan kitab baru yang dapat menggantikannya.
Dengan kata lain, kebutuhan manusia yang bersifat tetap dan selamanya terhadap nabi, syariat dan kitab maka perlu kiranya nabi, syariat dan kitab tidak mengalami ketuaan dan senantiasa baru. Rahasia mengapa al-Qur’an tidak akan kuno dan usang adalah bahwa al-Qur’an merupakan sebuah fenomena pensyariatan (tasyri’i) yang selaras dan harmoni dengan fitrah manusia yang merupakan sebuah fenomena penciptaan (takwini). Dan fitrah manusia tidak akan mengalami perubahan dan pergantian.

Di samping itu, al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang tidak terbatas pada penyampaian akidah-akidah dan hukum-hukum, deskripsi kondisi bangsa-bangsa, sebab-sebab kemenangan dan kekalahan, sejarah umat-umat terdahulu, penjelasan dunia kebadiaan dan jalan untuk sampai pada konstruksi diri dan konstruksi manusia semata, melainkan juga menunjukkan pada panduan-panduan yang dapat membantu manusia untuk melintasi jalan dan sampai pada tujuan. Merekalah para wali agama, orang-orang yang kukuh juga dalam ilmunya (rasikhun) dan mampu mengembalikan segala yang mutasyabihat dalam al-Qur’an kepada muhkamat dan dengan mencanangkan metode ijtihad telah memberikan kemampuan kepada para fakih untuk melakukan inferensi hukum-hukum kontemporer dan yang senantiasa berubah-ubah pada setiap masa.

Bersambung....