Memaknai Dzikrul Lil Alamin (2)
Al-Qur’an telah memprediksikan pada akhir masa supaya manusia merujuk pada orang-orang yang kukuh juga dalam ilmunya (rasikhun fil ‘ilm) dan mereka dengan memanfaatkan sketsa universal al-Qur’an memikul tanggung jawab membimbing umat dan menafsirkan, menjelaskan dan mengodifikasi buku pedoman partikular yang sesuai dengan kondisi dan masa. Ijtihad memiliki peran seperti ini.[3] Karena itu, tugas para alim ini adalah menyeleraskan hal-hal yang universal, menafsirkan hukum-hukum, memanfaatkan nara sumber wahyu dan memperhatikan pelbagai perubahan kondisi dan pergantian subyek-subyek hukum.
Terkadang sebuah masalah tidak pernah terjadi di tengah umat pada masa-masa awal kedatangan Islam namun masalah tersebut mengemuka pada masyarakat sekarang dan masalah tersebut dipandang sebagai masalah yang harus dicarikan jawabannya.
Merumuskan jawaban atas pelbagai kebutuhan yang baru, dilakukan berdasarkan penyelarasan hal-hal yang partikular pada hal-hal universal dan metode penyelarasan itu berada di pundak para alim dan mujtahid. Pada hakikatnya, demikianlah makna inklusivisme. Apabila al-Qur’an menyebut dirinya sebagai tibyan (penjawab) segala sesuatu maka demikianlah makna tibyan tersebut.[4]
Setelah menyebutkan pendahuluan dan mukaddimah yang lumayan panjang ini sekarang tiba saatnya untuk membahas pokok pertanyaan di atas.
Kami yakin bahwa al-Qur’an itu indah dan menawan dari sudut pandang esoteriknya (retoris dan elokuen) dan senada-seirama dari sudut pandang eksoteriknya, sedemikian sehingga tiada satu pun perbedaan dan pertentangan yang dapat dijumpai pada ayat-ayat dan hukum-hukumnya. Al-Qur’an tidak satu pun menafikan ayat-ayatnya, melainkan sebagian ayat-ayat tersebut membenarkan ayat-ayat lainnya dan tidak terdapat kontradiksi dan pertentangan di dalamnya.[5] “Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. Al-Nisa [4]:82)
Namun apabila yang Anda maksud terkait dengan nafi dan ta’dil itu adalah nasakh (naskh) maka dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa nasakh secara leksikal bermakna menghilangkan dan melenyapkan; artinya membatalkan sesuatu dan menggantikannya dengan sesuatu yang lain.[6] Secara teknikal nasakh bermakna dicabutnya sesuatu yang bersifat tetap dalam syariat Islam dan hal ini dilakukan karena berakhirnya masa berlaku syariat tersebut.[7]
Dalam al-Qur’an terdapat tiga jenis nasakh yang dapat digambarkan:
Nasakh hukum dan tilâwat (bacaan). Nasakh ini bermakna bahwa sebuah ayat yang memiliki satu hukum dari hukum-hukum Allah telah dinasakh. Jenis nasakh ini tertolak karena meniscayakan adanya distorsi dan tahrif dalam al-Qur’an.
Naskah tilâwat tanpa hukum. Nasakh ini bermakna bahwa ayat telah dicabut namun hukumnya tetap berlanjut. Jenis nasakh ini juga, disebabkan oleh beberapa dalil, tidak dapat berlaku pada al-Qur’an.
Nasakh hukum tanpa tilawat, nasakh ini mungkin saja terjadi dan juga telah terjadi pada al-Qur’an serta disepakati oleh para ahli tafsir. Namun jenis nasakh ini, bukan karena adanya kontradiksi dalam ucapan dan juga bukan karena perbedaan pendapat dan pembaruan pendapat, melainkan sebuah perbedaan hukum yang bersumber dari obyek (mishdâq). Artinya bahwa satu obyek disebabkan oleh kondisi-kondisi tertentu boleh jadi mengandung sebuah kemaslahatan menyangkut satu hukum khusus dan hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi, kemaslahatan yang disebutkan telah berlalu maka hukum juga mengalami perubahan; artinya semenjak semula hukum ini mengandung kemaslahatan terbatas dan temporal.
Sebagian ayat-ayat al-Qur’an seperti ayat 101 surah al-Naml dan ayat 106-107 surah al-Baqarah berada pada tataran menjelaskan makna ini.[8]
Adapun sekaitan dengan falsafah adanya nasakh harus dikatakan bahwa tujuan pewahyuan al-Qur’an adalah membangun masyarakat manusiawi. Masyarakat manusiawi seperti penyakit yang memerlukan resep untuk memperoleh kesembuhan. Jelas bahwa untuk menyelamatkan pasien terkadang memerlukan penggantian dan perubahan obat. Al-Qur’an juga resep kesembuhan manusia yang mengidap penyakit-penyakit bodoh, lalai, egois dan lain sebagainya serta tidak mengetahui hakikat-hakikat spiritual dan sifat-sifat transendental manusiawi. Untuk membina dan menyembuhkan para pasien ini, diperlukan program akurat dan urgen yang digunakan secara perlahan untuk menggantikan sifat-sifat tercela menjadi sifat-sifat mulia. Nasakh pada hakikatnya bagi masyarakat yang sementara beranjak dari satu tingkatan dekaden menuju tingkatan transenden. Nasakh ini merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari. Terlebih kebanyakan perpindahan secara serentak tidak mungkin dapat dilakukan dan harus dilaksanakan secara perlahan. Tingkatan demi tingkatan. Dengan demikian, ayat-ayat mansukh (yang dinasakh) pada masa perpindahan memiliki fungsi penyembuhan-penyembuhan temporal.[9]
Karena itu, nâsikh (yang menasakh) dan mansûkh (yang dinasakh) secara lahir tampak berbeda satu sama lain, namun sejatinya tidak terdapat pertentangan di antara keduanya; karena masing-masing mengandung kemaslahatan tertentu, namun pada nasikh, kemaslahatan tersebut setelah kemaslahatan yang terdapat pada mansukh.
Demikian juga pada ayat-ayat muhkam dan mutasyabih dalam al-Qur’an. Sebagaimana al-Qur’an sendiri menyatakan, “Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât.” Sebab adanya ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an disebabkan oleh tidak sampainya pikiran-pikiran manusia terhadap hakikat-hakikat al-Qur’an. Di samping itu, menjulangnya makna-makna dan hakikat-hakikat metafisika dan tidak sampainya lafaz-lafaz dan redaksi-redaksi yang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keseharian dan secara natural tidak memiliki daya tampung untuk mengungkapkan makna-makna menjulang tersebut.[10]
Para nabi Ilahi diutus kepada masyarakat secara umum, baik yang pandai dan pandir, cerdas dan bodoh, kebanyakan makna-makna menjulang dan subtil sedemikian sehingga pada saat disampaikan tidak dapat dipahami dan dicerap oleh setiap orang dan hanya mampu dipahami oleh orang-orang tertentu. Pengetahuan hal-hal mutasyabih ini berada di tangan râsikhuna fi al-‘ilm (orang-orang yang mendalam ilmunya).[11]
Karena itu, adanya pelbagai perbedaan secara lahir ini disebabkan oleh masalah ini dan masalah ini sama sekali tidak bermakna adanya pertentangan, penafian dan ta’dil pada ayat-ayat sehingga harus bertentangan dengan bimbingan bagi manusia sepanjang perjalanan sejarah.
[1]. Untuk telaah lebih jauh silakan lihat, Indeks: Sesuatu yang basah dan sesuatu yang kering dalam Al-Quran, Pertanyaan 5541 (Site: 5821)
[2]. Bihâr al-Anwâr, jil. 89, hal. 15; Nûr al-Tsaqalain, jil. 3, hal. 740.
[3]. Sayid Muhammad Ali Iyazi, Jâmi’iyyat-e Qur’ân, hal. 51. Untuk telaah lebih jauh tentang inklusivisme (jâmi’iyyat) dan kepamungkasan (khatamiyyat) kami persilakan untuk melihat Khatamiyyat, Murtadha Muthahhari; Khatamiyat az Nazhar Qur’ân wa Hadits, Ja’far Subhani; Râhnemâ Syinâsi, Muhammad Taqi Misbah Yazdi.
[4]. “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur’an) ini untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Nahl [16]:89)
[5]. “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka juga tidak tersembunyi dari Kami), dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Qs. Al-Fusshilat [41]:41-42). Allamah Thabathabai meyakini bahwa dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa hukum-hukum al-Qur’an tidak dapat berubah atau dicabut dan digantikan dengan yang lain.
[6]. Sayid Abu al-Qasim Khui, al-Bayân, hal. 277-278.
[7]. Sayid Ali Akbar Quraisyi, Qâmus Qur’ân, jil. 7, klausul na-s-kh.
[8]. “Setiap Kami menghapus suatu ayat (baca: hukum) atau melupakan (manusia) kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Qs. Al-Baqarah [2]:106) Silahkan lihat, Fakhrurazi, Tafsir al-Kabir, jil. 3 dan 4, hal. 226; Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 405 dan jil. 1, hal. 388. Sebagian ayat-ayat yang telah dinasakh adalah ayat-ayat 15 dan 16 surah an-Nisa’ yang telah dinasakh oleh ayat 2 surah an-Nur (24). Demikian juga ayat 12 surah al-Mujadalah terkait dengan sedekah sebelum berdua-duaan dengan Rasulullah Saw yang dinasakh oleh ayat 13 surah yang sama.
[9]. Mahdi Ahmadi, Qur’ân dar Qur’ân, hal. 103-112.
[10]. Ibid.
[11]. “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada (semua isi) al-Kitab itu, semuanya itu berasal dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali Imran [3]:7); “Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur’an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu.” (Qs. An-Nisa’[4]:162).