Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

“Amanah” Berujung Kegelapan (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Mereka yang seharusnya ditegur karena menyalahgunakan kekuasaan justru diberi penghargaan dan posisi baru. Lebih tragis lagi, pengkhianat kadang berlindung di balik topeng “pengabdian” dan “keikhlasan.” Maka, benarlah peringatan Allamah bahwa iman tanpa rasa malu kepada Tuhan hanyalah ilusi.

Institusi berbasis Islam seharusnya menjadi oase keadilan dan kejujuran. Namun, kenyataannya banyak lembaga pendidikan agama berubah menjadi lahan proyek dan kepentingan.

Namun sayang bukan kepalang, layaknya pungguk merindukan bulan, justru di bangunan-bangunan yang tergaung akhlakul karimah lah yang paling marak perilaku menyimpang ini berada. Terpampang jelas atau sembunyi gelap, argumentasi dan dalil “tanda terima kasih” seringkali dijadikan kedok agar seseorang bisa mengambil sesuatu yang klaimnya adalah jerih payahnya. Padahal yang dilakukan, adalah mencoreng kepercayaan banyak maslahat darinya. Memalukan bukan?

Bukankah lembaga pendidikan Islam mestinya mendidik para santri dan mahasiswa menjadi pejuang moral? Lalu mengapa justru praktik manipulatif dan transaksional menjadi hal biasa di dalamnya? Di sinilah letak ironi terbesar: ketika pengajar akhlak justru menjadi contoh keburukan.

Pendidikan yang seharusnya menanamkan nilai keadilan malah menjadi pabrik kesenjangan. moral. Apalagi ungkapan maaf dan penyesalan palsu, yang efek penyesalannya hanya sementara, tak sampai hitungan bulan bahkan minggu.

Islam mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang berat. Tapi dalam praktik lembaga-lembaga keagamaan, kursi jabatan lebih sering diperebutkan sebagai “tropi kehormatan” daripada tanggung jawab berat.

Yang diangkat bukan yang paling jujur, tapi yang paling dekat dengan yayasan, sekolah, atau sponsor. Padahal amanah tidak ditakar dari siapa yang pandai berbicara atau bersilaturahmi, melainkan dari siapa yang paling jujur, adil, dan bertanggung jawab.

Jika spiritualitas benar-benar hidup dalam diri seseorang, maka ia akan menjadi rem terhadap segala ambisi duniawi. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya: para pengelola lembaga agama justru membungkam nuraninya dan membungkus ambisi pribadi dengan retorika “Pengabdian.”

Allamah Tabataba’i sudah lama mengingatkan: iman yang sejati melahirkan rasa malu kepada Tuhan, bukan hanya takut kepada pimpinan. Di sinilah kita melihat bahwa iman bisa luntur ketika nominal di rekening semakin tebal, dan baju muslim tak lagi bisa menyembunyikan kerakusan yang disamarkan dengan “visi misi islami.”

Contoh nyata: bendahara pondok pesantren yang mampu berkhutbah tentang keikhlasan, tetapi diam-diam mengalihkan dana zakat untuk kepentingan pribadi. Inilah bentuk spiritualitas yang mandul, tanpa rasa malu kepada Tuhan.

Jika kebobrokan ini tidak dihentikan, maka generasi yang kita bangun bukanlah generasi saleh, tetapi generasi manipulatif yang pandai menyembunyikan dosa dengan dalih “pengabdian.”

Ketika peserta didik melihat para pengelolanya bermain proyek dan mencari keuntungan pribadi dari dana umat, maka mereka akan menganggap semua nasihat sebagai kepalsuan. Lebih buruk lagi, mereka bisa kehilangan kepercayaan pada agama itu sendiri.

Solusi yang ditawarkan Islam sebenarnya sederhana: berlaku jujur, menegakkan keadilan, dan takut kepada Tuhan. Namun dalam kenyataannya, prinsip-prinsip ini justru sering hanya berhenti di seminar, khutbah, dan maulid—tanpa ada penerapan nyata.

Kita tidak butuh lebih banyak ceramah tentang kejujuran; kita butuh lebih banyak teladan nyata. Harus ada transparansi anggaran, sistem seleksi terbuka, serta keteladanan dari atas ke bawah.

Yang lebih mengerikan adalah dampaknya bagi generasi muda. Mereka melihat, mencatat, dan meniru. Jika kita terus mempertontonkan kemunafikan dan keserakahan, jangan salahkan mereka jika suatu hari mereka menolak semua sistem ini, termasuk ajaran Islam.

Jika kita tidak segera bertobat dan memperbaiki sistem ini dari dalam, maka kita sedang menyiapkan kehancuran moral besar-besaran. Taubat nasuha bukan hanya untuk individu, tapi juga untuk lembaga dan sistem yang telah menyimpang dari jalan amanah.

Kita harus memilih: ingin membangun lembaga Islam yang benar-benar menjadi tempat ibadah dan pengabdian, atau hanya menjadi perusahaan yang mengejar untung dengan topeng agama?

Sudah saatnya kita menanggalkan kemunafikan, menegakkan integritas, dan memulai kembali dari dasar: kejujuran, keadilan, dan takut kepada Allah.

Daftar Pustaka:

Tabataba’i, Sayyid Muhammad Husayn
Tafsīr al-Mīzān. Qom: Al-Qur’an al-Karīm
Tafsir Surah an-Nisa’ Ayat 58.