Ghasb Administratif: Mark Up Tipis, Dosa Serius (1)
Dalam dinamika administrasi perusahaan modern, ada satu jenis pelanggaran yang sering luput dari perhatian karena bentuknya tampak rapi dan nilainya dianggap kecil: mark up biaya operasional. Di atas kertas, angka terlihat wajar; laporan terverifikasi; dan bukti transaksi lengkap. Namun di balik semua itu, ada kelebihan angka yang disengaja, ada nota yang ditulis bukan sesuai kenyataan, ada biaya perjalanan yang dinaikkan sedikit demi sedikit, hingga akhirnya menjadi kebiasaan. Inilah yang dalam fikih disebut sebagai ghasb administratif—penguasaan atas harta yang bukan hak secara diam-diam melalui celah prosedur dan kekuasaan kecil yang dipercayakan kepada kita.
Dalam realitas dunia kerja, tidak semua bentuk pelanggaran bersifat besar dan mencolok. Justru yang paling berbahaya sering kali datang dari tindakan-tindakan kecil yang dilakukan terus-menerus dan dianggap wajar. Salah satu contohnya adalah praktik penggelembungan anggaran atau mark up ringan yang dilakukan oleh karyawan terhadap dana operasional perusahaan, seperti biaya perjalanan dinas, pembelian alat tulis kantor, atau laporan pengeluaran kegiatan. Tindakan ini sering dikemas rapi: nota hotel dinaikkan, uang transport dilipatgandakan, makan siang fiktif dibuat seolah-olah bagian dari rapat. Hasilnya tampak sah di atas kertas, tapi sejatinya adalah bentuk korupsi kecil-kecilan yang diamini secara kolektif.
“Biasa aja, Bang. Semua juga ngelakuin,” begitu kata seorang pegawai muda saat ditanya soal uang dinas yang dimark-up. “Daripada capek bahas ini, mending kita pakai buat nambah pulsa,” sambungnya sambil tertawa. Ungkapan-ungkapan seperti ini terdengar ringan, tapi menunjukkan bahwa tindakan melanggar justru telah dinormalisasi. Celakanya, bukan cuma pelakunya yang merasa wajar, tapi kadang juga sistem dan lingkungan yang menutup mata. Atasan tahu, bawahan maklum, dan audit hanya jadi formalitas. Kebocoran demi kebocoran terus dibiarkan mengalir, asal tidak membuat gaduh.
Padahal, jika ditilik dari sisi etika, praktik semacam ini tetap merupakan pelanggaran serius. Karyawan menerima gaji atas dasar amanah. Setiap rupiah uang perusahaan yang dikelola dan dilaporkan membawa beban moral. Ketika seseorang sengaja melebihkan pengeluaran dalam laporan demi keuntungan pribadi, ia telah melakukan kebohongan administratif dan perampasan hak. “Hanya 200 ribu,” katanya. Tapi jika dilakukan 12 kali dalam setahun, oleh 50 orang, maka yang hilang bukan cuma uang, tapi juga nilai-nilai kejujuran dalam perusahaan.
Bersambung ...