Misteri Syahid Hari ‘Arafah (3)
Hilangnya Baiat
Kedudukan Muslim di sisi penghulu para syuhada, Imam al-Husain as, adalah seperti kedudukan Abul Fadhl Abbas, Ali Akbar, dan Qasim. Muslim mempunyai buku ziarah yang serupa dengan buku ziarah Abul Fadhl Abbas.
Perlu diketahui bahwa hari ketika Muslim keluar untuk berperang adalah hari Tarwiyah, yaitu tanggal 8 Dzulhijjah, saat tersiar kabar bahwa Hani telah terbunuh di tangan Ubaidillah. Muslim yang ketika itu tengah berada di rumah Hani, keluar bersama sekelompok orang dan berkumpul di seputar istana Ubaidillah. Para kaki tangan Ubaidillah menakut-nakuti mereka dengan mengatakan, “Pasukan dari Syam sebentar lagi memasuki kota.”
Perlahan-lahan kumpulan itu tercerai-berai. Sebagian wanita datang menarik tangan anak-anak mereka dan membawanya pergi sambil berkata, “Apa hubungan kita dengan fitnah ini?” Pada saat Muslim bin Aqil melaksanakan shalat Maghrib, hanya tersisa 30 orang yang ikut shalat bersamanya. Saat Muslim bin Aqil keluar dari masjid, tidak ada seorang pun yang tersisa.
Muslim bin Aqil berkeliling di jalan-jalan kota Kufah, tidak tahu harus pergi ke mana. Akhirnya, langkahnya terhenti di depan pintu sebuah rumah dan ia melihat seorang wanita tua sedang duduk menunggu anak laki-lakinya. Muslim mengucapkan salam kepada wanita tua itu, dan meminta air kepadanya. Wanita tua yang bernama Thaw’ah itu memberinya air dan Muslim meminumnya, namun ia tidak beranjak dari tempat itu.
Thau’ah bertanya, “Mengapa engkau tidak pergi?” Pada pertanyaan pertama dan kedua, Muslim diam tidak menjawab. Hingga ketika Thaw’ah berkata kepadanya, “Bangun dan pulanglah ke rumahmu! Jangan diam di sini!” maka Muslim berkata kepadanya, “Saya orang asing di kota ini, tidak punya rumah.”
Wanita tua itu bertanya, “Siapa Anda?”
Muslim menjawab, “Saya Muslim bin Aqil. Apakah engkau mau mem- bantu saya, hingga nanti di akhirat engkau akan mendapat ganjarannya? Sekelompok orang telah berbaiat kepadaku, namun kemudian mereka membatalkan baiat dan meninggalkanku sendirian.”
Thau‘ah menyediakan sebuah kamar dan menyiapkan makan malam bagi Muslim, namun dia tidak memakannya. Bilal, putra Thau’ah, masuk ke rumah dan bertanya kepada ibunya tentang siapa yang berada di dalam kamar. Thau‘ah meminta anaknya berjanji untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun bahwa Muslim bin Aqil ada di rumahnya.
Selama semalam suntuk hingga subuh, Muslim bin Aqil dalam keadaan berdiri, duduk, rukuk, dan sujud. Thau’ah berkata, “Aku mengambilkan air untuk Muslim supaya dia dapat berwudhu dan mengerjakan shalat Shubuh.” Semenara itu, Muslim bercerita, “Aku tertidur sejenak. Dalam tidur, aku bermimpi melihat pamanku Amirul Mukminin as berkata, ‘Cepat! Cepat!’ Aku paham bahwa akhir kehidupanku akan segera tiba.”
Sebelum azan Shubuh, Bilal, putra Thau‘ah, telah memberitahu kaki tangan Ubaidillah bahwa Muslim bin Aqil berada di rumahnya.47 Sementara itu, Muslim bin Aqil mengambil wudhu dan mengerjakan shalat Shubuh. Ketika ia sedang khusyuk berdoa, ia mendengar suara telapak kaki kuda di luar rumah. Thau‘ah berkata, “Sepertinya engkau telah siap untuk mati.” Muslim menjawab, “Benar! Engkau telah berbuat baik kepadaku. Pahalanya akan engkau peroleh dari syafaat Rasulullah.”
Pada saat itu, tiga ratus pasukan sudah mengepung di depan pintu rumah Thaw’ah. Sebagian dari mereka masuk ke dalam rumah. Lantaran khawatir rumah akan dirusak, Muslim bin Aqil memaksa keluar beberapa orang yang telah masuk ke dalam rumah. Akhirnya, terjadilah pertempuran yang sangat sengit.
Bersambung ...