Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tujuan Hijab Islam (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Hijab Memuliakan Wanita

Ada satu masalah yang masih harus dibicarakan, yaitu salah satu kritik yang ditujukan kepada "hijab" yang mengatakan bahwa "hijab" merampas martabat dan kehormatan wanita. Ketauhilah, bahwa martabat manusia telah menjadi salah satu tujuan penting manusia sejak berkembangnya kata-kata mengenai hak-hak asasi manusia. Martabat manusia dihormati; seluruh manusia memiliki martabat ini, baik pria maupun wanita, kulit hitam ataukah kulit putih dan juga semua bangsa serta agama. Setiap manusia memiliki hak atas martabat itu.
Mereka mengatakan bahwa "hijab" Islam bertentangan dengan martabat wanita. Kita menerima hak atas martabat manusia. Pembahasan ini adalah mengenai apakah "hijab", yaitu hijab yang disebutkan dalam ajaran Islam, tidak menghormati wanita dan merupakan suatu penghinaan terhadap martabatnya. Gagasan ini timbul dari gagasan bahwa "hijab" memenjarakan wanita, menjadikannya sebagai budak. Perbudakan berlawanan dengan martabat manusia. Mereka mengatakan bahwa karena "hijab" diberlakukan oleh laki-laki agar ia dapat mengeksploitasi wanita, maka laki-laki menawan wanita dan memenjarakannya di sudut rumahnya. Dan dengan demikian, ia berarti telah memandang rendah atau menghinakan martabat wanita sebagai manusia. Kehormatan, harga diri dan martabat wanita tidak menghendaki "hijab".
Sebagaimana telah kami katakan, dan nanti akan kami jelaskan lebih jauh, kami akan menyimpulkan ayat-ayat suci Al Qur'an bahwa kita tidak mempunyai suatu hak apa pun untuk memenjarakan wanita. Jika pria memiliki kewajiban-kewajiban dalam hubungannya dengan wanita, atau wanita mempunyai kewajiban-kewajiban dalam hubungannya dengan laki-laki, maka kewajiban itu dimaksudkan agar dapat memperkuat dan memperkukuh kesatuan keluarga. Artinya, hal itu memiliki tujuan yang jelas. Selain itu, dari segi social, hal itu mempunyai banyak kepentingan. Yaitu, kesejahteraan masyarakat menuntut agar pria dan wanita membuat hubungan khusus satu sama lain, atau kesucian etika dan keseimbangan etika serta ketenangan ruhani masyarakat menuntut agar pria dan wanita memilih cara khusus untuk berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tidaklah disebut pemenjaraan dan tidak pula disebut perbudakan, ataupun merupakan sesuatu yang bertentangan dengan martabat manusia.

Seperti kita lihat, jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan telanjang, maka ia akan dicerca dan dipersalahkan, dan barangkali polisi akan menangkapnya. Bahkan jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan mengenakan piyama saja, atau hanya menggunakan celana dalam saja, maka setiap orang akan menghentikannya, karena hal ini bertentangan dengan martabat social. Hukum atau adapt istiadat menetapkan bahwa bila seorang pria meninggalkan rumahnya , maka ia harus berpakaian lengkap. Apakah bertentangan dengan martabat manusia bila diperintahkan agar ia berpakaian lengkap bila meninggalkan rumah?
Sebaliknya, jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan tertutup dalam batas-batas yang akan kami sebutkan nanti, hal ini menyebabkan penghormatan yang lebih besar baginya. Yaitu, hal ini menghindarkan adanya gangguan dari laki-laki yang tidak bermoral dan tidak mempunyai sopan santun. Jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan tertutup, hal ini bukan hanya tidak mengurangi martabatnya sebagai manusia, akan tetapi justru menambahnya. Ambil saja contoh seorang wanita yang meninggalkan rumahnya dengan hanya muka dan kedua telapak tangannya yang terlihat, dan dari perilaku serta pakaian yang dikenakannya tidak ada sesuatu pun yang akan menyebabkan orang lain terangsang atau tertarik kepadanya. Artinya, ia tidak akan mengundang perhatian pria kepada dirinya. Ia tidak menggunakan pakaian-pakaian mencolok atau berjalan dengan suatu cara yang menarik perhatian orang kepada dirinya, atau ia tidak berbicara dengan suatu cara yang menarik perhatian.

Kadang-kadang pakaian itu berbicara. Cara dia (pria atau wanita) berbicara mengisyaratkan sesuatu yang lain. Ambil saja contoh seorang pria yang berbicara dengan suatu cara tertentu hingga seolah-olah mengisyaratkan kata-kata "takutlah kepadaku", atau pria yang menggunakan pakaian yang lain dari yang biasa dipakai orang. Yaitu, dengan mengenakan jubah, surban dan berjenggot, dan seterusnya, mengisyaratkan kepada masyarakat, "hormatilah aku".
Bisa saja terjadi wanita mengenakan pakaian sedemikian sehingga terjadi pergaulan yang baik dan terhormat di dalam masyarakat, dan bisa saja terjadi wanita mengenakan pakaian dan berjalan sedemikian sehingga mengisyaratkan:"ayo, ikutilah aku". Apakah martabat wanita, martabat pria, atau martabat masyarakat tidak menyebabkan wanita meninggalkan rumahnya dengan berpakaian dan bersikap sedemikian sehingga tidak menarik perhatian setiap orang yang berpapasan dengannya.

Dia harus berpenampilan sedemikian sehingga tidak mengalihkan perhatian pria dari apa yang ia lakukan. Apakah hal ini bertentangan dengan martabat wanita? Atau apakah hal ini bertentangan dengan martabat masyarakat? Jika seseorang mengatakan sesuatu, yang ada di dalam masyarakat non-Islam, bahwa "hijab" memenjarakan wanita, bahwa wanita harus di tempatkan di dalam sebuah rumah yang terkunci dan ia tidak berhak bergaul di luar rumah, maka itu tidak berkaitan dengan Islam. Seandainya dikatakan bahwa ajaran-ajaran Islam melarang wanita membeli sesuatu dari sebuah toko yang penjualnya adalah seorang pria, dan lalu dijawab:"tidak boleh, hal ini dilarang"; dan seandainya seseorang bertanya, "apakah seorang wanita diizinkan untuk ikut serta dalam pertemuan-pertemuan, perkumpulan-perkumpulan agamawi (acara-acara keagamaan)?" dan seandainya dijawab,"tidak, hal itu tidak diizinkan"; seandainya wanita dibolehkan untuk bertemu antara satu dengan yang lainnya? Dan seandainya dikatakan bahwa semua ini adalah dilarang, bahwa wanita harus duduk di sudut rumah dan tidak boleh meninggalkan rumahnya; maka hal ini menjadi suatu hal; akan tetapi Islam tidak menyatakan hal ini.
Kami mengatakan bahwa hal ini di dasarkan pada dua hal. Yang pertama didasarkan pada apa yang baik bagi keluarga. Artinya, wanita tidak boleh mengerjakan sesuatu yang dapat mengganggu situasi keluarganya, walaupun meninggalkan rumahnya untuk pergi ke rumah adiknya atau bahkan untuk mengunjungi ibunya bila kunjungan itu menimbulkan kekacauan dalam rumah tangganya. Keluarga tidak boleh diganggu.
Dasar kedua adalah bahwa meninggalkan rumah, menurut Al Qur'an, tidak boleh dengan tujuan untuk memperagakan diri, untuk mengganggu kedamaian dan ketentraman orang lain, untuk mengganggu pekerjaan orang lain. Jika bukan demikian, maka tidak ada masalah.


Perintah untuk Meminta Izin dalam Memasuki Rumah Orang Lain
Sekarang kita akan membicarakan ayat-ayat Al Qur'an, dan setelah menjelaskan apa yang telah diterangkan oleh para mufassir tradisional mengenai ayat-ayat itu, dengan bantuan hadits-hadits yang berkenaan dengan topic ini dan fatwa-fatwa fuqaha dalam masalah ini, maka masalah ini akan menjadi lebih jelas. Ayat-ayat yang berhubungan dengan hijab terdapat dalam surah an-Nur dan al-Ahzab. Semuanya akan kami paparkan.
Pembahasan akan kami mulai dengan ayat-ayat dari surah an Nur. Tentunya ayat-ayat yang berhubungan langsung dengan hijab adalah ayat 30 dan 31 dari surah an Nur, akan tetapi sebelum ini ada tiga ayat yang kurang lebih merupakan pengantar hijab dan berhubungan dengan masalah ini.
"hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat."(Qs. 24:27).

Ayat ini menjelaskan kewajiban seorang pria yang bukan muhrim dalam memasuki rumah orang lain, yaitu rumah seseorang yang istrinya bukan muhrim baginya. Tentunya ada juga aturan-aturan mengenai mereka yang muhrim, dan hal itu akan kami paparkan nanti. Juga ada beberapa tempat yang bukan merupakan tempat khusus bagi mereka yang muhrim. Hal ini berhubungan dengan apa yang harus dilakukan seseorang dalam memasuki rumah orang lain.
Pertama-tama izinkanlah saya mengatakan bahwa selama zaman jahiliyah, sebelum Al Qur'an diwahyukan, rumah-rumah pada waktu itu tidak menggunakan kunci, dan seterusnya. Pada dasarnya pintu ditutup karena takut pencuri. Jika seseorang hendak masuk, dia akan membunyikan bel atau mengetuk pintu. Pada zaman jahiliyah keadaan seperti ini tidak ada. Keadaannya lebih menyerupai keadaan di desa-desa. Orang seperti diri saya, yang tinggal di desa, tahu bahwa pada dasarnya tidak ada pintu yang tertutup. Pintu halaman selalu terbuka. Di banyak tempat bahkan tidak ada kebiasaan mengunci pintu pada malam hari. Di Fariman, sebuah desa dekat Teheran, tempat saya tinggal, saya tidak pernah melihat pintu halaman dikunci walau sekali pun, dan disana hampir tidak pernah terjadi pencurian.

Sejarah menunjukkan bahwa, khususnya di Makkah, rumah-rumah bahkan sering tidak menggunakan pintu. Di dalam Islam ada satu hukum: seseorang tidak pernah memiliki rumah di Makkah. Tentunya ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha. Para Imam dan pengikut mazhab Syafi'I sepakat bahwa tanah di Makkah tidak bisa dimiliki oleh siapa pun. Artinya, tanah di Makkah adalah milik seluruh kaum muslimin dan tidak dapat diperjual belikan. Rumah-rumah yang ada disana menjadi milik semua orang (muslim), seperti halnya masjid. Di dalam surah al Hajj dikatakan bahwa orang-orang yang tinggal disana (Makkah) dan orang-orang yang datang dari luar, semuanya sama.
Praktek penyewaan yang sekarang terjadi di Makkah, tidak sesuai bukan hanya dengan fikih Syi'ah, tetapi juga tidak sesuai dengan kebanyakan fikih Sunnah. Harus ada peraturan internasional untuk itu. Mereka tidak berhak memberikan batasan-batasan disana, dan tidak pula berhak melarang seseorang untuk masuk kesana. Ia adalah seperti sebuah ruangan di dalam sebuah masjid, dan setiap orang berhak berada di dalamnya. Namun demikian ia tidak berhak melarang orang lain memasukinya. Orang tidak berhak menutup sebuah ruangan yang kosong. Tentu saja jika seseorang sedang menempatinya, maka dialah yang lebih berhak.
Orang pertama yang menyuruh agar rumah-rumah diberi pintu adalah Muawiyah. Hal ini dilarang dilakukan terhadap rumah-rumah di Makkah. Inilah situasi yang umum.

Bersambung...