Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tujuan Hijab Islam (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Di kalangan orang-orang arab pada zaman jahiliyah tidak ada kebiasaan meminta izin ketika hendak memasuki rumah orang lain. Hal ini mereka rasakan sebagai sebuah penghinaan. Di dalam ayat lain Al Qur'an dikatakan bahwa jika kamu tidak diizinkan untuk masuk, maka kembalilah. Hal ini kiranya oleh sebagian orang dipandang sebagai penghinaan, tetapi penekanan ini di dalam Al Qur'an merupakan salah satu aspek pengantar hijab, karena setiap wanita yang berada di dalam rumahnya sendiri berada dalam satu keadaan dimana dia tidak ingin dilihat atau melihat orang lain. Al Qur'an mengatakan:
"jika kamu meminta sesuatu dari istri-istrinya, maka mintalah dari balik tabir (hijab)." (Qs. 33: 53).

Dengan demikian, pertama-tama orang harus meminta izin untuk masuk, lalu bila disetujui pemilik rumah, maka barulah masuk. Nabi saw bersabda:"untuk memberitahukan kedatangan kalian, sebutlah nama Allah dengan suara keras." Kemudian saya mengerti bahwa kata "ya Allah" yang diucapkan oleh seorang muslim, misalnya ketika hendak masuk rumah, merupakan pelaksanaan perintah ini.
Dengan demikian, betapa baiknya bila pemberitahuan ini diucapkan dengan menyebut nama Allah. Nabi saw selalu melakukan hal ini. Ketika beliau ditanya,"apakah hal ini merupakan aturan umum yang harus kita gunakan ketika kita hendak memasuki rumah saudara perempuan kita, anak perempuan kita dan juga ibu kita?" beliau berkata,"jika ibumu dalam keadaan tidak berpakaian, lalu apakah ia mau jika engkau melihatnya? Mereka menjawab,"Tidak." Beliau berkata,"jadi peraturan ini berlaku bagi rumah ibu. Jangan masuk tanpa memberitahunya bahwa engkau akan masuk."
Bila Nabi saw hendak memasuki rumah seseorang, beliau selalu berdiri di belakang pintu agar mereka dapat mendengar suara beliau, dan lalu beliau menyerukan:"assalamu 'alaikum ya ahlul-bait." Beliau bersabda:"jika kalian tidak mendapatkan jawaban, barangkali orang itu tidak mendengar kalian. Ulangi sekali lagi dengan suara yang lebih keras. Ulangi untuk ketiga kalinya jika kalian tidak juga mendapatkan jawaban, mungkin orang itu tidak ada di rumah atau orang itu tidak menghendaki kamu masuk; kalau demikian maka kembalilah." Nabi saw melakukan hal ini, dan banyak kisah yang telah diriwayatkan mengenai hal ini, seperti bila beliau hendak memasuki rumah putrinya, beliau selalu mengucapkan salam dengan suara lantang. Jika putrinya menjawab, beliau lalu masuk. Bila beliau mengucapkan salam tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban, maka beliau pulang.

Disini ada sesuatu yang harus dicatat yang merupakan perbedaan antara kata "dar" dan "bait". "dar" adalah yang kita sebut sebagai halaman, sedangkan ruangan disebut "bait". Al Qur'an merujuk kepada "bait", yaitu, bila anda hendak memasuki ruangan seseorang. Selama pintu-pintu halaman terbuka, jelas halaman rumah tidak dianggap sebagai tempat yang bersifat pribadi. Artinya, jika seorang wanita berpakaian sedemikian sehingga dia tidak ingin orang lain melihatnya, tentu dia akan berpakaian seperti itu di ruangan tertutup. Halaman mempunyai aturan seperti sebuah ruangan. Pintunya ditutup dan biasanya dindingnya tinggi. Wanita masih menganggap halaman, pada batas tertentu, sebagai sebuah tempat pribadi. Sekarang "dar" mempunyai aturan yang sama dengan "bait", karena "bait" pada dasarnya berarti tempat pribadi yang di halamannya wanita tidak menghendaki laki-laki asing melihatnya.
"itu lebih bersih bagimu." Artinya, perintah yang kami berikan, lebih baik bagimu, mengandung kebaikan serta logis. "ketahuilah bahwa hal ini adalah baik."
"dan jika kamu tidak menemui seorang pun, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu "kembalilah", maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu. Dan Allah Swt Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."(Qs. 24:28).
"tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah Swt mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan."(Qs. 24:29).

Bagi orang-orang Arab, hal ini sangat sulit dipahami. Minta izin ketika hendak masuk rumah itu sendiri sudah merupakan hal yang sulit, apalagi kemudian diberitahu agar kembali saja, sungguh kembalinya itu sendiri merupakan hal yang hampir-hampir tidak mungkin. Hal ini merupakan suatu penghinaan.
Di dalam ayat, "tidak ada dosa atasmu…," ada suatu kekecualian. Apakah peraturan ini berlaku kapan saja bila seseorang hendak memasuki tempat tinggal orang lain? Al Qur'an mengatakan bahwa hal ini bukan merupakan aturan umum dan hanya berlaku bagi rumah seseorang.
Rumah merupakan tempat pribadi, tempat kehidupan pribadi seseorang, tetapi jika pun bukan, tetap diperlukan izin untuk memasukinya. Jika, misalnya, ada suatu tempat peristirahatan kafilah, dan anda mempunyai urusan disitu, apakah anda harus minta izin, dan seterusnya. Tidak. Di sini tidak diperlukan izin untuk masuk. Bagaimana dengan tempat pemandian umum. Di sini pun tidak perlu. "tidak ada dosa atasmu…" jika tempat itu bukan tempat kediaman dan kamu mempunyai urusan di sana."Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan."

Dari kata "tidak didiami" (uninhibited) dapat dipahami bahwa filsafat mengapa orang tidak dapat masuk rumah orang lain tanpa memberitahu terlebih dahulu adalah pertama-tama dikarenakan adanya istri, dan kedua karena kenyataan bahwa rumah merupakan tempat pribadi. Barangkali ada hal-hal yang orang tidak menghendaki orang lain mengetahui atau melihatnya.
Dengan demikian, bila orang hendak memasuki rumah orang lain, maka ia harus memberitahukan kedatangannya. Orang harus, dengan cara tertentu, memberitahukan bahwa dia akan masuk walaupun si pemilik rumah mengetahui bahwa ia diperbolehkan masuk. Jadi anda harus menyadari bahwa anda hendak memasuki tempat pribadinya.


Perintah Untuk "Menundukkan Pandangan"
"katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:"hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (Qs. 24:30).
"katakanlah kepada wanita yang beriman: 'hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah Swt, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung." (Qs. 24:31).

Di dalam kalimat, " katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:"hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka" ada dua kata yang harus didefinisikan. Kata yang pertama adalah "ghadz", dan yang kedua adalah "abshar". Jika dikatakan bahwa "abshar", bentuk jamak dari "basher", tidak memerlukan penjelasan, karena kata ini berarti "mata". Akan tetapi, "abshar" pada dasarnya berarti "pandangan". Jika dikatakan " 'ain ", sebagaimana dalam "ghadz 'ain", artinya tentunya adalah "pejamkan mata mereka". Dalam hal ini tentunya ada arti khusus. Apa yang dimaksudkan dengan "ghadz bashr"? "ghadz" berarti "menundukkan", "menurunkan" bukan "menutup". Kita melihat hal ini di dalam ayat yang lain:
"dan hendaklah kamu sederhana dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (Qs. 31:19).

Maksud ayat ini bukanlah berarti "harus diam". Suara harus sedang-sedang saja. Begitu pula, "menundukkan pandangan" berarti "tidak memandang dengan cara menatap."
Di dalam sebuah hadits yang terkenal dari Hind ibn Abi Halah yang melukiskan tentang Nabi saw diriwayatkan,"bila beliau sedang berbahagia, beliau selalu menundukkan pandangannya."(tafsir al Qur'an, Safi, 24:31, diriwayatkan dari hadits Ali ibn Ibrahim Qummi.). hal ini jelas tidak berarti beliau menutup matanya.

Di dalam "Bihar", Majlisi menafsirkan kalimat mengenai Nabi saw sebagai demikian:"beliau selalu menutupi pandangannya dan menundukkan kepalanya. Beliau melakukan hal ini supaya kebahagiaannya tidak terlihat."
Di dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali as berkata kepada putranya, Imam Hasan as, ketika beliau menyerahkan sebuah panji-panji kepadanya dalam perang Jamal, "walaupun gunung-gunung tumbang, jangan tinggalkan tempatmu. Katupkan gigi-gigimu (sehingga kemarahanmu bertambah), hadapkanlah kepalamu kepada Allah Swt, dan tancapkanlah kakimu ke tanah, amati kekuatan musuh dan tundukkan pandanganmu" (Nahjul Balaghah, khutbah 110). Artinya, "jangan pusatkan pandanganmu hanya kepada musuh."
Pada dasarnya ada dua bentuk pandangan. Yang pertama adalah "melihat orang lain dengan perhatian seakan-akan sedang menilai penampilan dan cara berpakaiannya." Yang kedua adalah "memandang orang lain ketika berbicara kepada orang itu, karena memandang diperlukan dalam bercakap-cakap." Ini adalah pandangan yang merupakan pengantar atau suatu cara dalam berbicara , dan merupakan pandangan organic, sedangkan jenis pandangan yang pertama adalah pandangan otonomis. Dengan demikian, maka maksud ayat itu adalah:"katakanlah kepada orang-orang yang beriman agar mereka tidak menatap atau bermain-main dengan wanita."


Tentang Perintah untuk Menjaga Kemaluan
Di dalam ayat selanjutnya dikatakan:

"katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman…hendaklah mereka memelihara kemaluan mereka." (Qs. 24:30)

Memelihara dari hal apa? Dari segala sesuatu yang tidak benar, menjaga dari penyelewengan dan menjaga agar tidak dipandang orang lain.
Sebagaimana anda ketahui, dikalangan orang-orang Arab jahiliyah tidak ada kebiasaan memelihara (menutupi) kemaluan. Islam datang dan mewajibkan menutup kemaluan.

Harus dicatat bahwa peradaban barat sekarang sedang mengarah langsung ke kebiasaan-kebiasaan orang-orang Arab pra-Islam di zaman jahiliyah, dan mereka terus menerus mengarang filsafat yang membenarkan bahwa ketelanjangan adalah sesuatu yang baik. Russel, di dalam "On Discipline", mengatakan bahwa etika lain yang tidak logis atau tabu adalah seorang ibu dan seorang yang memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk menutup diri mereka, sebab hal ini hanya menciptakan rasa ingin tahu yang lebih besar pada diri anak-anak; dan orangtua hendaknya menunjukkan kemaluannya kepada anak-anaknya sehingga mereka dari sejak permulaan sudah tahu akan apa saja yang ada. Sekarang, mereka melakukan hal ini.
Tetapi Al Qur'an mengatakan,"dan peliharalah kemaluanmu," baik dari penyelewengan maupun dari pandangan orang lain. Menutup aurat merupakan kewajiban di dalam Islam kecuali, tentunya, di antara suami dan istri. Dan diantara perbuatan-perbuatan yang paling tercela bagi seorang ibu adalah telanjang di hadapan anak laki-lakinya, atau seorang ayah di hadapan anak perempuannya.
"itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Qs. 24:30).

Nabi saw mengatakan bahwa sejak masa kanak-kanak kejadian tertentu terjadi beberapa kali. Beliau merasa bahwa ada sejenis kekuatan lain di dalam dirinya, dan perasaan tersebut melarang melakukan hal-hal yang dilakukan di zaman jahiliyah. Beliau mengatakan bahwa ketika masih kanak-kanak beliau bermain-main dengan anak-anak yang lain. Ketika sedang bermain-main itu, tak jauh dari situ para tukang batu sedang membangun sebuah rumah bagi seorang Quraisy. Anak-anak dengan senang hati membantu orang yang sedang membangun itu membawakan batu-batu, batu bata dan sebagainya dengan baju putih mereka yang panjang, lalu meletakkannya di hadapan tukang-tukang itu, sehingga kemaluan mereka itu tampak. Nabi saw bercerita bahwa beliau ikut membantu dan meletakkan sebuah batu pada gamisnya yang panjang dan, ketika beliau hendak bangkit, ada sesuatu yang terasa menghentikan perbuatannya itu dan mengenai bagian bawah pakaiannya. Beliau mengulanginya, dan beliau merasakan hal yang sama lagi. Barulah beliau mengetahui bahwa beliau tidak boleh melakukan hal ini, dan beliau pun tidak mencobanya lagi. (Ibn Abil Hadid, Syarah Nahj al Balaghah, khutbah 190).
"katakanlah kepada wanita yang beriman hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka…(Qs. 24:31).

Di dalam dua ayat ini kita melihat aturan yang sama bagi pria dan wanita. Hal ini bukanlah merupakan yang khusus bagi pria. Misalnya, jika wanita dilarang (diharamkan) memandang, dan sebaliknya pria tidak, maka akan ada perbedaan bahwa memandang itu dibenarkan bagi pria tapi tidak bagi wanita. Jelas, dengan demikian, bila tidak dibuat perbedaan antara pria dan wanita, maka hal ini mempunyai tujuan lain yang akan kami pada kesempatan lain.