Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Zainab Al-Kubra Adalah Singa Karbala (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Sayyidah Zainab al-Kubro tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan; kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya. Kakeknya Rasulullah saw. yang merupakan manusia tersempurna di alam semesta dan penghulu para nabi cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadian beliau. Nabi Muhammad saw. senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayyidah Fathimah Zahro as dengan sepenuhnya serta mengasihi mereka.

Dialah Zainab putri Nabi al-Amin

Dialah simbol ketegaran dan keberanian

Dialah putri Fathimah dan Ali al-Haidar washi Nabi

Dialah saudari al-Hasan dan al-Husein cucu Nabi

Kehadiran seorang figur dan teladan dalam kehidupan manusia adalah suatu hal yang aksiomatis karena merupakan kebutuhan fitri manusia. Hal ini dapat kita saksikan dalam kehidupan manusia dari berbagai tingkat umur mulai masa kanak-kanak sampai manula sekalipun. Manusia akan senantiasa mencari figur yang akan diteladaninya dan menjadikan segala prilaku teladan sebagai cermin dalam kehidupannya. Pada usia muda, manusia mengalami masa transisi dan pencarian jati diri dan ia sangat membutuhkan kehadiran seorang figur di fase ini dibanding fase kehidupannya yang lain. Oleh karena itu, salah satu cara yang ditempuh oleh musuh Islam dalam rangka merusak kepribadian generasi muda dan menjauhkan mereka dari agama Islam adalah dengan memperkenalkan idola dan figur yang tidak islami kepada mereka. Sebagai contoh, kita bisa melihat kondisi sedang terjadi saat ini di bumi pertiwi kita. Generasi muda muslim mempunyai pengetahuan yang sangat minim tentang tokoh-tokoh Islam. Coba anda tanyakan kepada mereka berapa banyak tokoh dan figur muslim yang mereka kenal? Dan coba tanyakan kepada mereka tentang tokoh-tokoh non muslim khususnya bintang film, maka mereka akan dengan tangkas menyebut tokoh-tokoh seperti, Madonna, Demi Moore, dan lain sebagainya. Ini sebagai salah satu bukti kemenangan musuh dalam perusakan budaya dengan menjauhkan para generasi muda dari tokoh-tokoh muslim mereka.

Salah satu figur agung yang tak banyak dikenal ialah Sayyidah Zainab al-Kubro. Beliau merupakan salah satu cucu Nabi Muhammad saw. Berapa banyak generasi muda yang mengenal kepribadian dan kehidupan beliau? Oleh karena itu, penulis menilai bahwa adalah suatu hal yang penting memperkenalkan Sayyidah Zainab al-Kubro kepada khalayak khususnya generasi muda. Kendati kita tidak dapat mengenal beliau secara utuh sebagaimana adanya karena perbedaan kedudukan beliau dengan kita, namun tak ada salahnya kita mencoba untuk mengenal kepribadian dan keutamaannya. Sebagaimana kaidah mengatakan: “Ma la yudraku kulluh la yutraku julluh.” “Tidak dapat dikenal semuanya bukan berarti harus ditinggalkan semuanya”.


Kelahiran dan Nama
Sayyidah Zainab as adalah putri dan anak ketiga dari pasangan manusia suci lagi agung Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah Zahro as. Ibunya Sayyidah Fathimah Zahro as adalah putri tercinta Rasulullah saw. dan wanita yang sangat mirip dengan Rasulullah saw. dalam hal kesempurnaan, keutamaan dan akhlak. Sayyidah Fathimah Zahro as memiliki segala kesempurnaan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh ketiga saudari lainnya Zainab, Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Ayahnya Imam Ali as adalah washi Rasulullah saww, orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah saw. dan pahlawan dalam berbagai peperangan melawan orang-orang kafir. Kakeknya Nabi Muhammad saw. adalah manusia tersuci dan tersempurna di seluruh alam semesta. Sedang neneknya adalah Sayyidah Khadijah, perempuan pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. Dalam pangkuan para manusia suci inilah Sayyidah Zainab as dididik dan dibesarkan. Beliau besar di bawah naungan pancaran wahyu Ilahi.[1]

Berdasarkan pendapat termasyhur terdapat pendapat lain tentang hal ini beliau lahir pada tanggal lima 5 Jumadil Awal tahun 6 Hijrah Qomari di Madinah. Dalam sejarah disebutkan bahwa ketika berita kelahiran Sayyidah Zainab as sampai kepada Nabi Muhammad saww, beliau langsung menuju rumah Sayyidah Fathimah Zahro as. Sesampainya di rumah beliau berkata: “Wahai putriku, bawalah kemari cucuku”. Ketika bayi mungil tersebut berada di pangkuannya, beliau memeluk dan meletakkan pipi mulianya di pipi bayi tersebut. Kemudian beliau menangis dengan sangat keras hingga air matanya bercucuran. Menyaksikan hal itu kemudian Sayyidah Fathimah Zahro as bertanya: “Wahai ayahku, semoga Allah swt tidak membuat matamu menangis, kenapa engkau menangis?” “Wahai putriku, wahai Fathimah, ketahuilah. Bayi ini akan ditimpa berbagai musibah dan menghadapi berbagai cobaan. Wahai putriku, wahai belahan jiwaku dan cahaya mataku, ketahuilah. Barang siapa yang menangis untuknya karena segala musibah yang menimpanya maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang menangis untuk kedua saudaranya,” jawab Rasulullah saw. Setelah itu kemudian Nabi Muhammad saw. memberi nama bayi tersebut Zainab.[2]

Dalam kitab Nasikh at-Tawarikh terdapat versi yang cukup berbeda tentang kisah penamaan Sayyidah Zainab as. Disebutkan bahwa setelah kelahiran Sayyidah Zainab as Imam Ali as tidak langsung memberikan nama kepadanya. Ini membuat Sayyidah Fathimah Zahro as menanyakan sebabnya kepada Imam Ali. Imam Ali as menjawab: “Kita tnggu saja sampai Rasulullah saw. sendiri yang memberikan nama kepadanya”. Setelah mendengar hal itu, Sayyidah Fathimah Zahro as menggendong bayinya dan menuju rumah Rasulullah saw. untuk mengemukakan perkara tersebut. Pada saat itu turunlah Malaikat Jibril as dan berkata kepada Rasulullah saww: “Wahai utusan Allah, Allah swt telah mengirim salam untukmu dan Dia berfirman: “Namakan ia Zainab”. Namun setelah itu Malaikat Jibril as menangis. Menyaksikan hal itu, Rasulullah saw. menanyakan sebab tangisan Jibril. Malaikat Jibril as menjawab: “Sejak awal sampai akhir, kehidupan bayi ini akan dipenuhi berbagai musibah dan cobaan”.[3]

Berkaitan dengan akar kata nama Sayyidah Zainab as terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan nama beliau hanya terdiri dari satu suku kata yang berarti nama salah satu pohon yang cantik dan harum baunya, sebagaimana yang disebutkan dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzur. Kelompok lain berpendapat nama beliau terdiri dari dua suku kata yaitu Zain dan Abun yang berarti ‘perhiasan ayah’. Sebagaimana ibunya, Sayyidah Fathimah Zahro, memiliki gelar Ummu Abiiha (ibu ayahnya) yang mengisyaratkan hubungan yang amat dekat antara seorang anak perempuan dengan ayahnya, Sayyidah Zainab as juga memiliki gelar Zain Abiiha (hiasan ayahnya). Untuk mempersingkat nama atau karena telah sering digunakan maka alifnya dibuang dan menjadi ‘Zainab’.[4] Yang pasti, baik nama Sayyidah Zainab hanya terdiri dari satu suku kata ataupun dua suku kata, kedua-duanya mengisyaratkan arti dan makna yang sangat tinggi dan indah.


Masa Kanak-Kanak
Sayyidah Zainab al-Kubro tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan; kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya. Kakeknya Rasulullah saw. yang merupakan manusia tersempurna di alam semesta dan penghulu para nabi cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadian beliau. Nabi Muhammad saw. senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayyidah Fathimah Zahro as dengan sepenuhnya serta mengasihi mereka. Tidak ada seorang kakek pun yang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada cucunya lebih dari yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap cucu-cucunya.

Ketika beliau melihat para putra dan putri Sayyidah Fathimah Zahro as., beliau selalu mencium, memeluk, menempelkan pipinya yang suci ke pipi cucu-cucunya bahkan beliau bermain kuda-kudaan dengan mereka. Tentu saja perbuatan Rasulullah tersebut tidak hanya berdasarkan hubungan alamiah antara seorang kakek dan cucu saja. Perbuatan beliau sebagai seorang nabi tidak dilakukan berdasarkan hawa nafsu sebagaimana dapat kita simak dari firman Allah saw. berikut ini: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Nabi Muhammad saww) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.[5] Selain itu, segala prilaku beliau merupakan contoh dan teladan bagi umatnya dalam memperlakukan anak-anak.

Hanya sebentar Sayyidah Zainab al-Kubro dapat merasakan kasih sayang kakeknya. Rasulullah saw. wafat di saat beliau berusia lima tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab al-Kubro masih kanak-kanak, beliau bermimpi buruk. Lantas beliau menceritakan mimpi tersebut kepada kakeknya seraya berkata: “Wahai kakekku, semalam aku bermimpi buruk. Aku melihat angin topan sangat kencang dan langit menjadi gelap. Angin kencang telah membawaku ke sana dan ke mari. Tiba-tiba aku melihat sebuah pohon besar, lalu aku memegang pohon itu. Namun angin kencang telah membuat pohon besar tersebut tumbang dan jatuh ke atas tanah. Kemudian aku memegang salah satu dahannya yang besar, namun angin kencang juga membuatnya patah. Setelah itu akupun memegang dahan lainnya, namun sama seperti sebelumnya, angin kencang mematahkan dahan tersebut. Lalu aku memegang dahan ketiga dan keempat, sampai akhirnya aku terbangun”. Rasulullah saw. menangis setelah mendengarkan cerita beliau dan berkata: “Ketahuilah wahai cucuku, pohon besar itu adalah kakekmu. Sedangkan kedua dahan pohon besar tersebut ialah ayah dan ibumu. Sementara kedua dahan lainnya adalah kedua saudaramu Hasan dan Husain. Dengan ketiadaan mereka, dunia akan menjadi gelap gulita dan engkau akan memakai pakaian hitam sebagai lambang duka cita atas musibah yang menimpa mereka”.[6] Dari riwayat ini kita dapat memahami bahwa jauh hari, Sayyidah Zainab al-Kubro telah dipersiapkan secara mental dan spritual untuk menghadapi berbagai peristiwa pedih sehingga beliau dapat melaksanakan tugas yang dipikulnya dengan baik. Dan salah satu peristiwa pedih itu adalah peristiwa Asyuro.

Setelah kakeknya wafat, beliau menyaksikan berbagai penindasan yang menimpa ayah dan ibunya. Beliau menyaksikan bagaimana hak kekhalifahan ayahnya dirampas. Beliau menyaksikan bagaimana ibunya mendatangi satu persatu rumah para Muhajirin dan Anshar untuk mengingatkan baiat mereka kepada Imam Ali as di Ghadir Khum. Beliau menemani ibunya ketika menyampaikan khutbah di masjid. Beliau juga menyaksikan pembakaran dan pendobrakan rumahnya yang akhirnya menyebabkan ibu tercintanya sakit.[7] Musibah demi musibah telah menimpa putri mungil tersebut. Ibunnya syahid padahal kesedihan karena ketiadaan kakeknya belum seluruhnya sirna. Bersama para saudaranya, beliau juga ikut menemani sang ayah menguburkan jenazah ibunya di kesunyian malam.


Pernikahan dan Keluarga Sayyidah Zainab as.
Sejarah tidak menjelaskan secara terperinci masa remaja Sayyidah Zainab as. Namun Thabari menukil ucapan beberapa orang yang melihat beliau: “Seakan-akan aku melihat seorang perempuan bagaikan mentari yang dengan cepat telah keluar dari dalam kemah”. Bahkan sewaktu Sayyidah Zainab as hendak berangkat ke Mesir pasca tragedi Karbala, Abdullah bin Ayub Anshori berkata: “ Sumpah demi Allah swt., aku tidak pernah melihat wajah sepertinya yang bagaikan rembulan”. Padahal waktu itu beliau sudah berumur sekitar lima puluh tahun dan telah mengalami tragedi Karbala yang sangat menyedihkan. Sedikit banyaknya, peristiwa itu pasti mempengaruhi kondisi jasmani dan psikologis beliau. Tentu di masa remajanya, beliau lebih dari ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh orang-orang yang pernah melihat beliau.

Ketika beliau telah mencapai usia pernikahan, banyak sekali orang yang datang menemui Imam Ali as untuk menyuntingnya. Namun Abdullah bin Jakfarlah yang beruntung dan paling cocok dari yang lainnya.[8] Abdullah bin Jakfar adalah putra dari Jakfar bin Abdul Muthalib yang syahid dalam perang Mu’tah dan mendapat gelar ‘dzul jinahain’ yang berarti memiliki dua sayap. Gelar ini diberikan kepada beliau karena kedua tangan beliau putus disabet pedang musuh dalam peperangan untuk mempertahankan bendera yang ada di tangannya. Mengenai putra-putra Jakfar bin Abdul Muthalib terdapat perbedaan pendapat. Syeikh Thabarsi dalam kitabnya A’lamur-Waraa menyebutkan bahwa putra-putri beliau adalah Ali, Jakfar, Aun Akbar dan Ummu Kultsum. Sementara dalam kitab Tadzkiratul Khawash karya Sibthi ibnu Jauzi disebutkan bahwa putra-putri beliau ialah Ali, Aun al-Akbar, Muhammad, Abbas dan Ummu Kultsum. Muhammad dan Aun juga syahid di Karbala.[9]

Bersambung...