Zainab Al-Kubra Adalah Singa Karbala (2)
Kesempurnaan dan Keutamaan
Sayyidah Zainab as merupakan manusia sempurna. Beliau memiliki berbagai keutamaan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam berbagai riwayat. Pada kesempatan ini kita hanya akan menjelaskan beberapa keutamaan saja melalui beberapa gelar beliau:
1. Aqiilah Bani Hasyim
Salah satu gelar termasyhur beliau ialah ‘Aqiilah’. Abul Faraj Ishfahani dalam karyanya ‘Muqotil at-Tholibin’, ketika menjelaskan biografi Aun bin Abdullah bin Jakfar berkata: “Ibunya adalah Zainab al-Aqiilah. Ibnu Abbas meriwayatkan khutbah Fadak Fathimah Zahro darinya seraya berkata; “Aqiilah kami Zainab binti Ali telah meriwayatkan kepada kami...”. Berkaitan dengan kata ‘aqiilah’ terdapat beberapa pendapat. Ibnu Duraid dalam karyanya ‘Jamharotul Loghah’ berkata: “Fulanah Aqiilatul qaum berarti perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya. Begitu juga pendapat Ibnu Zakaria dalam ‘Mujmal Lughoh’ dan Jauhari dalam ‘Shuhahul Luhgoh’. Pendapat ini merupakan pandangan beberapa sarjana bahasa. Namun sebenarnya dapat kita katakan bahwa ‘Aqiilah’ adalah shighoh mubalaghah (bentuk kata dalam tata bahasa arab yang menunjukkan amat atau sangat) dan memiliki akar kata ‘aqal’, yang artinya sangat berakal atau dengan kata lain kapasitas dan kesempurnaan akalnya amat besar.[10]
Gelar terhormat yang dimiliki pribadi agung seperti sayyidah Zainab as ini dapat lebih kita pahami jika kita menyimak dan menelaah secara seksama isi khutbah Fadak Sayyidah Fathimah Zahro as. Bagaimana tidak, khutbah beliau yang amat panjang, sangat fasih dan sarat dengan pembahasan yang sangat tinggi telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Sayyidah Zainab as. Khutbah Fadak berisi pembahasan tentang kenabian dan risalah Nabi saww, falsafah dan hikmah hukum-hukum Islam, penuntutan hak-haknya yang telah dirampas, penghakiman atas Abu Qohafah (Abu Bakar) dan kondisi umat setelah wafatnya Nabi saw. dan lain sebagainya.[11] Padahal, ketika Sayyidah Fathimah Zahro as menyampaikan khutbahnya, Sayyidah Zainab as kala itu baru berusia lima tahun.
Terdapat kisah tentang Sayyidah Zainab as dalam berbagai sumber yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akal beliau. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu hari Sayyidah Zainab as yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali as menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak mncintaimu, kau adalah buah hatiku”. Lantas beliau berkata lagi: “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah swt sementara kasih sayang untuk kita”. Dalam riwayat lain pula dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali as mendudukkan putrinya Zainab al-Kubro dipangkuannya lalu beliau mengelus-ngelus kepalanya seraya berkata: “Putriku sayang, katakan satu.” “Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali as melanjutkan ucapannya: “Putriku sayang, katakan dua”. Namun Sayyidah Zainab as diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali as mengulangi ucapannya seraya berkata: “Berkatalah wahai cahaya mataku”. Sayyidah Zainab as menjawab: “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar hal itu lantas Imam Ali as memeluknya dan menciumnya dengan penuh rasa haru. Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab as. Padahal beliau kala itu masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa ketika beliau telah mengatakan Tuhan itu Esa maka beliau tidak dapat mengatakan Tuhan itu dua.[12] Dengan kata lain beliau telah memahami kontradiksi antara konsep monoteisme dengan dualisme. Inilah salah satu perwujudan gelar ‘aqiilah (sangat berakal)’ yang disandang Sayyidah Zainab al-Kubro berupa kematangan dan kecerdasan akal tinggi.
2. Berilmu tanpa ada yang Mengajari (Aalimah Ghair Muta’allimah)
Keutamaan lain yang dimiliki Sayyidah Zainab as ialah beliau memiliki ilmu tanpa ada yang mengajari. Gelar kehormatan ini dianugrahkan oleh Imam Ali Zainal Abidin as kepada beliau. Jelas penganugrahan gelar tersebut bukan atas dasar nepotisme karena beliau adalah bibinya akan tetapi atas dasar kedudukan tinggi yang memang dimiliki oleh Sayyidah Zainab as. Imam Ali Zainal Abidin as mengetahui keutamaan, kedudukan dan kemuliaan yang dimiliki bibinya. Imam Ali Zainal Abidin as berkata: “Wahai bibiku...dan engkau, alhamdulillah, berilmu tanpa ada yang mengajarimu dan memahami (sesuatu permasalahan, pent.) tanpa ada yang memahamkannya (menerangkannya, pent).”
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa sumber hukum Islam—Al- Qur’an dan hadis), salah satu bentuk kesempurnaan manusia adalah derajat keilmuan yang dimilikinya. Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan manusia dan merupakan santapan ruh. Ilmu merupakan salah satu sumber kemulian dan keagungan manusia. Al-Qur’an dengan jelas menerangkan tentang perbedaan kedudukan orang yang berilmu dan tidak berilmu: “Adakah sama kedudukan orang-orang yang mengetahui (berilmu) dan orang-orang yang tidak mengetahui (berilmu)”.[13] Ayat ini bukan berarti Allah bertanya kepada manusia apakah sama orang yang mengetahui dan tidak mengetahui. Akan tetapi pertanyaan merupakan sebuah pernyataan yang menjelaskan bahwa kedudukan orang yang berilmu dan tidak berilmu tidaklah sama (istifham taqriri).[14] Sebagian riwayat juga menjelaskan tentang kewajiban mencari ilmu, sebagaimana sabda Rasulullah saww: ”Mencari ilmu adalah kewajiban seorang muslim dan muslimah.” Masih banyak riwayat lain yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu.[15]
Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan, kemuliaan, derajat tinggi bagi manusia sehingga Islam selalu memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Dan Sayyidah Zainab al-Kubro memiliki kesempurnaan tersebut tanpa ada yang mengajarinya sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Ali Zainal Abidin as. Beliau berilmu tanpa belajar, apa itu bukan merupakan suatu kedudukan yang sangat agung? Karena tidak semua orang dapat mencapai maqam dan kedudukan tersebut. Beliau merupakan salah satu perwujudan hadis Rasulullah saw. yang berbunyi: “Ilmu adalah cahaya yang disematkan Allah swt pada hati orang-orang yang dikehendaki-Nya”.[16] Dalam sejarah disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab as bersama keluarganya tinggal di Kufah di masa pemerintahan Imam Ali as., para lelaki penduduk Kufah mendatangi Imam Ali as dan memohon kepada beliau supaya putrinya, Sayyidah Zainab as., mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri dan anak-anak perempuan mereka. Imam Ali as menerima permohonan tersebut dan Sayyidah Zainab as pun mengajari mereka. Sejarah membuktikan dalam tempo empat tahun atau lebih, banyak para perempuan yang berguru dan belajar kepada beliau. Pada suatu hari Imam Ali as mendengar Sayyidah Zainab as mengajarkan tafsir huruf-huruf muqatta’ah (yang terpotong-potong) dari al-Qur’an. Khususnya tentang huruf permulaan surat Maryam, yaitu huruf “Kaaf, Haa, Yaa, Ain Shaad”. Seusai mengajar, Imam Ali as mendatangi beliau dan berkata kepadanya: “Wahai cahaya mataku, tahukah bahwa huruf-huruf ini (Kaaf, Haa, Yaa, Ain, Shaad) merupakan kunci rahasia peristiwa yang akan menimpa engkau dan saudaramu Husain di padang Karbala?” Setelah itu lantas Imam Ali as menjelaskan secara terperinci kepada beliau tentang tragedi Asyuro yang akan menimpanya.[17]
Derajat keilmuan beliau pun telah terbukti ketika beliau berdebat dan berdialog dengan Ibnu Ziyad di Kufah. Beliau menjawab dengan tangkas segala pernyataan Ibnu Ziyad. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad marah kepadanya, karena setiap ia berkata Sayyidah Zainab as dengan tangkas akan mematahkan segala argumennya. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad tidak mampu lagi berdialog dengannya dan berkata; “Sumpah demi Tuhan, perempuan ini penyair dan pandai berbicara seperti ayahnya”. Begitu pula khutbah-khutbah beliau lainnya yang disampaikan di Kufah maupun di Syam.
3. Kekasih Allah (Waliyatullah)
Sayyidah Zainab as adalah wanita mulia yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga mulia, Ahlul Bayt Nabi para kekasih Ilahi. Beliau besar dalam lingkungan para urafa’ utama yang menjadi kiblat semua urafa’ yang ada. Maka bukanlah suatu hal yang mengherankan jika beliau pun akhirnya menjadi seorang arifah tangguh yang memiliki makrifat yang begitu tinggi.
Sebagaimana yang telah diketahui, tujuan utama irfan adalah menyatu (fana’) dengan Sang Kekasih Sejati, pencipta alam semesta. Itulah puncak irfan yang didamba oleh setiap manusia sempurna kekasih Ilahi. Salah satu bukti tingkatan makrifat agung yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab as adalah beliau selalu pasrah terhadap apapun yang dikehendaki oleh Kekasih Sejatinya. Pecinta sejati adalah pribadi yang selalu ‘sehati’ dan ‘serasa’ dengan kekasihnya, meskipun apa yang dikehendaki oleh Sang Kekasih sekilas begitu pahit, namun seorang pecinta akan rela menerima kepahitan tersebut sebagai bukti cinta kasihnya terhadap Sang Kekasih Sejati. Inilah yang dilakukan Sayyidah Zainab as terhadap Kekasih Sejatinya dalam tragedi Karbala. Kendati beliau harus kehilangan imam yang dicintainya, anggota keluarga, sanak famili dan sahabat-sahabat setianya namun pada tragedi Karbala yang sangat memilukan hati itu, Sayyidah Zainab as berkata: “Ya Allah, hamba bersabar atas segala ketentuan-Mu”.
Berbekal makrifat yang begitu tinggi, Sayyidah Zainab as yakin bahwa Sang Kekasih adalah Dzat yang maha benar, bijak, indah dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Segala sesuatu yang dirasa dan dilihat oleh beliau di alam semesta merupakan perwujudan dari sifat-sifat dan nama-nama Sang Kekasih. Semua tidak akan lepas dari Sang Kekasih karena Ia adalah maha pencipta. Keteraturan alam yang kadang diwarnai dengan pahit dan getir kehidupan merupakan konsekuensi alam materi yang telah disifati dengan alam yang penuh gesekan (alam tazahum). Namun semua gesekan tadi meniscayakan keteraturan yang indah dan sesuai dengan hikmah Ilahi, Sang Kekasih Sejati. Oleh karena itu, ketika menyaksikan tragedi Karbala yang menyayat hati itu Sayyidah Zainab as masih sempat berkata: “Tidaklah aku lihat (semua musibah ini ) melainkan sesuatu yang indah”.[18] Kesyahidan Imam Husein as dengan cara yang sangat tragis itu adalah kehendak Ilahi yang selalu sesuai dengan hikmah Ilahi dan keteraturan alam semesta. Inilah perwujudan dari iman terhadap takdir Ilahi. Tentu keyakinan ini tidak akan menjerumuskan manusia kepada keyakinan determinisme (Jabriyah), sebagaimana yang telah banyak disinggung dalam kajian teology (kalam) Syiah Imamiyah.
Makrifat Ilahi telah mampu menghantarkan beliau pada tingkatan manusia sempurna (insan kamil). Cinta Ilahi telah menggelora di dalam hati Sayyidah Zainab as. Cinta murni yang suci dan tulus itu mampu membakar segala cinta kasih terhadap selain-Nya. Kecintaan itu telah ditukar dengan berbagai kecintaan-kecintaan lainnya. Sayyidah Zainab as rela kehilangan saudara tercintanya (Abul Fadh Abbas), keponakan kesayangannya (Ali Akbar), sanak famili, kerabat dan sahabat lainnya demi keridhoaan Ilahi, Sang Kekasih Sejati. Bukan hanya itu, beliaupun rela mengorbankan imam yang merupakan al-Quran berbicara (al-Quran an-Nathiq) dan sekutu al-Quran yang diam (al-Quran as-Shamith) yang keduanya sangat dicintai dan ditaati beliau sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan Ilahi di muka bumi. Itu semua direlakan oleh Sayyidah Zainab as demi keridhoan Sang Kekasih Ilahi. Oleh karena itu, setelah kesyahidan Imam Husein as beserta pasukannya yang berjumlah sangat sedikit itu dan rombongan tawanan akan diarak ke Kufah, beliau sempat berkata kepada Sang Kekasih sejatinya dengan ungkapan: “Ya Allah, terimalah persembahan ini dari kami”.[19] Ungkapan ini menunjukkan betapa tingginya makrifat Sayyidah Zainab as dan makrifat ini telah menghantarkan beliau kepada cinta Ilahi yang mampu menghilangkan ketergantungan kepada kecintaan manapun. Dengan bekal kecintaan sejati inilah akhirnya beliau sampai pada derajat fana’ (menyatu) dengan Allah. Menyatu dalam ridho dan cinta-Nya, sehingga akhirnya beliau mendapat gelar kekasih sejati Allah (waliyullah).
4. Banyak Beribadah (‘Abiidah)
Maqam penghambaan merupakan salah satu kedudukan tertinggi seorang mukmin sejati. Al-Quran sendiri telah menjelaskan bahwa salah satu falsafah penciptaan manusia dan jin adalah agar manusia dan jin mencapai maqam ubudiyah. “Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku”.[20] Perwujudan penghambaan dan penyembahan Allah swt ialah melalui ibadah, baik ibadah dalam makna khusus atau dalam makna umum. Ibadah dalam makna umum adalah melakukan segala perbuatan dengan niat karena Allah swt. Sementara ibadah dalam arti khusus adalah melakukan ritual-ritual agama tertentu baik yang bersifat wajib maupun mustahab. Sejarah telah mencatat ibadah beliau lakukan, baik ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit. Bahkan pada malam Asyuro beliau menghabiskan waktunya dengan shalat malam dan bermunajat kepada kekasih sejatinya, Allah swt.
Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Sayyidah Zainab as., Imam Ali Zainal Abidin as berkata: “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti”.[21] Peristiwa ini terjadi ketika Sayyidah Zainab as berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu.
5. Orator Ulung (kata-katanya sangat indah dan sesuai dengan kondisi audiens)
Hal ini dapat kita lihat dalam khutbah beliau baik yang disampaikan di Kufah maupun di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam. Ketika beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan penduduk Kufah, khutbah beliau mengingatkan orang-orang akan ayahnya, Imam Ali as. Mereka melihat seakan-akan Imam Ali as sendiri yang sedang berkhutbah. Kata-katanya yang indah dan isinya yang begitu mengena sehingga para pendengar menangis dan hanyut dalam kesedihan setelah mendengarnya. Begitupula khutbah beliau di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam yang mampu mengubah opini umum tentang Ahlul-Bayt. Para audiens terpesona dengan khutbah-khutbah yang disampaikan Sayyidah Zainab as., baik dari sisi isi khutbah maupun ungkapannya (kalimat seperti ini dalam istilah bahasa Arab disebut fashih dan baligh). Jika orang yang ahli dalam bahasa Arab menelaah khutbah-khutbah Sayyidah Zainab as., ia akan memahami dan menikmati keindahan bahasa beliau. Kelebihan beliau dalam kefasihan dan kebalighan ini diwarisi dari kedua orang tua beliau, Imam Ali as dan Sayyidah Zahro as.Wallahua’lam.[www.al-hadj.com/ind]
Rujukan:
[1] DR. Aisyah Binti Syathii, Bathalatu Karbala, edisi Persia, hal: 29-30.
[2] Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, edisi Persia hal: 52-53.
[3] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 31.
[4] Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, edisi Persia, hal:56.
[5] QS an-Najm:3-4.
[6] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:40-41.
[7] Penindasan yang telah menimpa Imam Ali as dan Sayyidah Zahro as pasca wafatnya Rasulullah saw dapat dilihat dalam berbagai sumber sejarah, baik di kalangan Suni maupun Syi’ah.
[8] DR. Aisyah Binti Syathii, Bathlatu Karbala, edisi Persia, hal: 53, 58.
[9] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 85.
[10] Ibid, hal:33-34.
[11] Muhammad Kazim Qazwini, Fathimah az-Zahro minal Mahdi ilal lahdi, edisi Persia, hal; 427.
[12] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 39.
[13] QS az-Zumar: 9.
[14] Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, edisi Persia, hal:78-80.
[15] Muhammad Rey Syahri, Muntakhab Mizan al-Hikmah, bab ilmu, hal: 396.
[16] Ibid, hal: 404.
[17] Muhammad Kazim Qazwini , Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 47.
[18] Ibid, hal: 306.
[19]Ali Nadzari Munfarid, Qisheye Karbalo, hal: 410.
[20] QS, adz-Dzariyat: 56.
[21] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:189, 318-319.