Take and Give: Don’t Take If You are not a Giver (1)
Di dalam tradisi filsafat Islam, terdapat suatu prinsip penting yang disebut al-ḥarakah al-jauhariyyah (الحركة الجوهرية) atau gerak substansial, yang secara khusus dikembangkan oleh filsuf terkemuka, Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī (Mulla Sadra). Prinsip ini secara lengkap dirumuskan dalam bahasa Arab sebagai berikut:
كُلُّ شَيْءٍ فِي عَالَمِ الْمَادَّةِ فِي حَرَكَةٍ جَوْهَرِيَّةٍ دَائِمَةٍ
“Segala sesuatu di alam materi berada dalam gerak substansial yang terus-menerus.”
Menurut Mulla Sadra, gerak substansial bukan sekadar perubahan pada sifat-sifat luar atau aksidental, seperti posisi, warna, atau ukuran. Lebih dari itu, gerak substansial merupakan perubahan mendalam pada inti atau substansi (jauhar) suatu entitas. Dalam pandangan ini, tidak ada substansi materi yang bersifat tetap atau statis; sebaliknya, substansi senantiasa mengalami perubahan terus-menerus menuju bentuk yang lebih sempurna dan menuju tujuan akhirnya (teleologis).
Pemikiran ini menggambarkan bahwa eksistensi alam semesta bersifat dinamis dan terus berkembang menuju aktualisasi potensinya secara maksimal. Sebuah perspektif yang mengingatkan kita pada konsep serupa dalam filsafat Yunani kuno yang dikemukakan oleh Herakleitos, yaitu prinsip “Panta Rhei”, yang secara lengkap berbunyi:
“Panta rhei kai ouden menei,”
“Segala sesuatu mengalir dan tidak ada yang tinggal tetap.”
“Everything flows, nothing stands still.”
Konsep gerak substansial dalam filsafat Islam memiliki hubungan filosofis dengan teori kekekalan energi dalam fisika modern. Meski keduanya muncul dari pendekatan dan latar belakang berbeda, terdapat beberapa kesamaan mendasar. Baik gerak substansial maupun hukum kekekalan energi sama-sama menegaskan realitas perubahan konstan, namun di balik perubahan tersebut ada sesuatu yang tetap, yaitu esensi atau energi yang tidak pernah benar-benar lenyap.
Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada pendekatan dan cakupan konseptualnya. Gerak substansial Mulla Sadra menggunakan pendekatan metafisik yang mencakup tujuan akhir (teleologis) dari setiap perubahan, sedangkan hukum kekekalan energi dalam fisika lebih bersifat empiris, terukur, dan matematis. Meskipun begitu, keduanya seolah menegaskan bahwa di balik dinamika alam semesta, ada prinsip kekal yang memelihara eksistensi itu sendiri.
Filsuf Islam seperti Mulla Sadra sering merujuk pada ayat-ayat Al-Quran untuk mendukung pandangannya tentang gerak substansial. Di antaranya adalah firman Allah dalam QS. Ar-Rahman (55):29:
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
“Setiap waktu Dia dalam kesibukan (menciptakan, mengatur, dan memelihara ciptaan-Nya).”
Ayat ini menegaskan bahwa Allah terus-menerus menciptakan dan mengatur alam semesta, sehingga menunjukkan bahwa realitas senantiasa mengalami dinamika perubahan.
Selain itu, dalam QS. An-Naml (27):88 Allah berfirman:
وَتَرَى ٱلْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ ٱلسَّحَابِ ۚ صُنْعَ ٱللَّهِ ٱلَّذِيٓ أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ ۚ إِنَّهُۥ خَبِيرٌۢ بِمَا تَفْعَلُونَ
“Dan engkau melihat gunung-gunung itu, engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia bergerak seperti jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan kokoh. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini secara eksplisit menggambarkan realitas yang tampak diam namun sesungguhnya bergerak terus-menerus, mendukung konsep bahwa gerakan adalah inti dari eksistensi alam materi.
Dalam kehidupan nyata, kita menyaksikan prinsip gerak substansial dalam fenomena alam seperti siklus air, rantai makanan, dan prinsip kekekalan energi itu sendiri. Alam mengajarkan bahwa untuk mendapatkan sesuatu, manusia perlu memberikan sesuatu pula. Prinsip ini tidak lain adalah hukum alam yang dikenal sebagai “take and give”.
Bersambung...