MUHARRAM: ANTARA MERIAH DAN MERAH
Dalam bulan Muharram ada dua tanggal merah. Pertama adalah tanggal 1 yang dimerahkan oleh libur riang pesta anak-anak yatim. Kedua adalah 10 yang dimerahkan oleh darah yatim-yatim agung.
Ternyata, ‘tanggal merah’ sejati ini telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi Indonesia, seperti di Jawa, Melayu, dan Maluku. Di Jawa, pada bulan Muharam, tetangga saling berkirim ‘bubur Sura’ atau ‘jenang Suro’, sebuah makanan khas Muharam dan Asyura, yang berwarna putih (kesucian) dan bertabur warna merah (kesyahidan).
Sejarah mencatat, dinasti Umayyah di Damaskus, yang berkuasa pasca-tragedi Karbala (61 H/680 M), dengan sengaja memoles 1 Muharram sebagai hari pesta. Dr. Zafar Iqbal, sejarawan Islam, menyingkap bahwa langkah ini adalah strategi politik untuk mengalihkan perhatian umat dari duka Asyura. Hari kesepuluh,
Sebagian orang Jawa melakukan meditasi untuk merenungi diri di tempat-tempat sakral, melakukan “lek-lekan” (begadang) hingga pagi hari di beberapa tempat yang dianggap sakral. Ada pula yang melaksanakan upacara Grebeg Suro. Di Maluku dan Sulawesi, warga pesisisr enggan melaut di bulan ini. Di Sumatera, terutama di Padang, Riau, dan Aceh, diadakan upacara “Tabut” pada 10 Muharam. Bahkan, tarian Saman khas Aceh diduga sebagai jejak upacara ratapan Asyura yang disertai dengan pemukulan dada sebagai simbol kesedihan.
Ada apa di 10 Muharam dan Asyura? Menurut Dr. Zafar Iqbal, pakar sejarah budaya Persia dan Indonesia, dalam Kafilah Budaya (Citra: 2006), tradisi-tradisi itu berakar dari peristiwa ‘tanggal merah’ 10 Muharram (tanggal monumetal pembantaian Husain bin Ali bin Abi Thalib) yang terjadi di Karbala sekitar 89 tahun sejak wafatnya sang datuk, Muhammad saw. Sayang, sebagian besar umat Islam tidak lagi mengingatnya. Yang jelas, apa pun bentuk tradisinya, ada ‘tanggal merah’ (peritiwa berdarah) pada 10 Muharam.
Bulan Muharam (Suro) menjelang. Sebagian orang menganggapnya sebagai bulan kemenangan seraya baku kirim pesan pendek berisi ucapan “Selamat Tahun Baru Hijriah”, berpuasa dan menyantuni anak-anak yatim. Namun, tidak sedikit umat Islam di Indonesia dan negara lain meyakininya sebagai bulan duka seraya menganggap hari kesepuluhnya sebagai puncak kedukaan tersebut. Itulah 10 Muharam, yang akrab disebut dengan “Asyura”.
Mengapa perlu diperingati? Dendamkah? Menurut Antoane Bara, penulis Kristen asal Suriah, dalam bukunya, The Saviour: Husain dalam Kristianitas (Citra:2007), pikiran manusia mana pun yang mengamati perjalanan hidup Husain bin Ali, yang dibantai bersama 73 anggota keluarga dan sahabatnya pada 10 Muharam, sudah pasti merasakan getaran cinta yang aneh dalam hatinya.
Bagi siapa pun, dari mazhab mana pun, dan pemeluk agama apa pun, Husain bin Ali adalah simbol dan inspirasi cinta keadilan. Karena itulah, Mahatma Gandhi menjadikannya sebagai ikon kemerdekaan dan kemanusiaan. “Saya belajar dari Husain cara meraih kemerdekaan,” katanya seperti dikutip dalam The Saviour.
Cinta yang diperagakan dengan pengorbanan adalah cinta yang tidak bersyarat. Ia adalah spektrum nilai, yang tidak hanya melahirkan ketaatan dan pengabdian, tetapi juga menerbitkan api amarah dan kebencian terhadap rezim anti cinta. Ia stabil, lestari, dan tak terperikan.
Demi pembuktian cintanya pada ‘Sang Cinta’, subjek rela meniadakan dirinya untuk menggapai puncak kesempurnaan cintanya. Ia bagai laron yang hangus karena terbakar cahaya yang dipujanya. Ia laksana semut yang tenggelam dalam samudera madu yang dicintainya.
Cinta sejati, kata Ibnu Arabi, “Hanya bisa dirasakan oleh peneguknya. Siapa pun, yang belum pernah merasakan seteguk saja air cinta, pasti belum pernah mengenalnya. Ketahuilah, cinta adalah minuman yang tak pernah memuaskan pecandunya.” Husain melakukan sacrifice demi menyelamatkan cinta sejati. Cinta telah melahirkan semangat heroik menentang kezaliman.