Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ali Asghar dan Pemenang Tanpa Sorak: Saat Fiksi Kejam Menyentuh Realita Kudus Karbala (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Di era digital saat ini, kekuatan fiksi semakin menancap dalam benak masyarakat. Tayangan Squid Game menjadi fenomena global setelah dirilis kembali pada 27 Juni 2025—bukan hanya karena ketegangan permainannya, tetapi karena berhasil menggambarkan penderitaan, dilema moral, dan perjuangan hidup dalam balutan permainan yang kejam. Di musim ketiganya, Sky Squid Game menyuguhkan kisah dramatis tentang pengorbanan, pilihan, dan makna kemanusiaan yang dibungkus dalam alur penuh darah dan air mata. Salah satu adegan paling menyentuh adalah ketika Jun Hee, pemain nomor 222, memilih mengorbankan hidupnya agar anaknya diselamatkan—adegan ini mampu mengguncang perasaan penonton.

Namun di balik layar hiburan, muncul satu pertanyaan penting: Mengapa penderitaan fiktif bisa terasa begitu dekat dan menyentuh kita, sementara kisah-kisah nyata yang jauh lebih agung dan suci seringkali hanya menjadi sekadar nama dalam sejarah? Apakah tangisan seorang anak dalam drama bisa lebih melukai hati daripada jeritan nyata seorang bayi di pelukan ayahnya di tengah panas terik padang Karbala?

Di sinilah kisah Ali Asghar bin Husain memasuki ruang kesadaran kita—bukan sebagai cerita fiksi, melainkan sebagai kenyataan paling suci yang pernah tercatat dalam sejarah manusia. Seorang bayi enam bulan yang tak bersalah, diangkat tinggi oleh ayahnya di tengah kepungan musuh, hanya untuk memohon setetes air. Namun, jawaban yang datang bukanlah belas kasih, melainkan panah bermata tiga yang membelah langit dan menembus tenggorokan mungilnya. Dengan suara pilu namun penuh wibawa, Imam Husain berseru: “Wahai kaumku, jika kalian tidak kasihan kepadaku, maka kasihanilah bayi ini. Tidakkah kalian melihat ia kehausan, membuka mulutnya dan menggeliat di tanganku? Ia tidak berbuat salah, dan tidak ikut berperang.” (Nafas al-Mahmūm). Ali Asghar memang tidak memenangkan permainan dunia; tak ada sorak-sorai atau kamera yang menyorotnya. Namun ia adalah pemenang sejati dalam sejarah penderitaan dan kemanusiaan—hujjah abadi atas kezaliman yang membakar Karbala. Para ulama besar Iran, seperti Ayatullah Syahid Muthahhari dan Allamah Tehrani, menyebutnya bukan sekadar syahid termuda, tetapi simbol tertinggi dari ketidakadilan mutlak yang tak bisa dibantah oleh nurani mana pun. Dalam keheningan kematiannya, ia mengajarkan kepada dunia makna terdalam dari pengorbanan dan kemenangan sejati—yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang masih hidup.

Bersambung...