Sebuah Momen Di Padang Cinta (1)
Ketika Raghib al-Isfahani menjelaskan dalam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān bahwa ṣaḥāba bukan sekadar pertemanan biasa, melainkan “kebersamaan fisik atau spiritual yang melahirkan kesetiaan” (bab ṣ-ḥ-b), maka para sahabat Imam al-Ḥusain ‘alayhissalām adalah manifestasi hidup dari makna itu. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya hadir bersamanya, tetapi juga mencurahkan jiwa dan raga demi kebenaran yang dibawanya.
Said bin Abdullah Al-Hanafi di Malam Asyuro berdiri dan berseru
“Demi Allah, kami tidak akan pernah meninggalkanmu wahai putra Rasulullah. Sehingga Allah mengetahui bahwa kami telah menjaga wasiat Nabi Muhammad Saw dengan membelamu. Jika aku tahu bahwa aku akan terbunuh dalam usahaku membelamu lalu hidup kembali dan dibakar hidup-hidup kemudian abuku disebarkan, begitu seterusnya sampai tujuh puluh kali, tak akan kutinggalkan dirimu sampai kutemukan ajalku. Apalagi aku tahu bahwa aku hanya akan sekali mati terbunuh lalu memperoleh kemuliaan abadi. “(Al-Luhuf, Ibn Ṭāwūs)
Ungkapan ini membangkitkan makna ṣaḥāba sebagaimana disebutkan oleh Raghib al-Isfahani. Begitu juga dengan Muslim bin ‘Aqīl di Kufah, yang menjelang syahid berkata: “ Demi Allah! Aku menangis bukan untukku tetapi untuk Husain dan keluarga Husain.” ( ‘Abbas Al-Qummi, Nafsul Mahmum)
Imam al-Ḥusain bukan hanya pewaris darah kenabian, tetapi juga pewaris ṣidq — kejujuran dan pemenuhan janji ilahi. Imam Husain adalah pewaris Ṣādiq al-Wa‘d:, yakni Janji yang Tak Terkikis. Allah menyebut Nabi Ismā‘īl:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ
Dan sebutkanlah Ismail dalam Kitab; sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya. (QS. Maryam 19:54)
Di Karbala, ketika keadaan semakin berat, Imam al-Ḥusain mengangkat tangannya dan berdoa:
للَّهُمَّ مُتَعَالِي الْمَكَانِ عَظِيمُ الْجَبَرُوتِ، شَدِيدُ الْمِحَالِ، غَنِيٌّ عَنِ الْخَلَائِقِ، عَرِيضُ الْكِبْرِيَاءِ، قَادِرٌ عَلَى مَا تَشَاءُ، قَرِيبُ الرَّحْمَةِ، صَادِقُ الْوَعْدِ، سَابِغُ النِّعْمَةِ، حَسَنُ الْبَلَاءِ، قَرِيبٌ إِذَا دُعِيتَ
Ya Allah, Engkau Maha Tinggi di atas segala tempat, Maha Agung dalam keperkasaan-Mu, Maha Kuat dalam kekuasaan-Mu, Maha Kaya sehingga tidak memerlukan makhluk-Mu, Maha Luas dalam kemuliaan-Mu, Maha Berkuasa atas segala yang Engkau kehendaki. Engkau dekat dengan rahmat-Mu yang tak terbatas, setia pada janji-Mu yang suci, melimpah dalam anugerah-Mu yang tak pernah putus, indah dalam ujian-Mu yang penuh hikmah, dan dekat saat hamba-Mu memanggil-Mu dengan penuh harap….(Maqtal Muqarram, dari Munfarid dan Alamdar, Karbala)
Dalam pandangan Al Husain as, Allah adalah Shaadiqul Wa’di (Yang Setia Pada JanjiNya). Dan seluruh pengorbanan Al Husain as dan keluarganya dan para sahabatnya adalah juga sebagai hamba-hamba Tuhan yang setia menunaikan janjinya pada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Makna ini hidup dalam QS. Al-Ahzāb (33:23):
مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ
Di antara orang-orang beriman itu ada yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (QS. 33:23)
Para pemuda Bani Hāshim seperti Qāsim ibn al-Hasan, berseru:
أَلَيْسَ الْمَوْتُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ؟
Bukankah kematian itu lebih manis daripada madu?
Itulah ṣidq dalam wajah remaja. Mati dalam kesetiaan pada pamannya, yang adalah pewaris Nabi saw, dan pengemban Amanah Tuhan sungguh lebih didambakan ketimbang apa pun.
Bersambung....