Kesendirian dan Luka Kosmik Husain (1)
Seorang laki-laki berdiri. Ia sendiri. Di hadapannya puluhan ribu anak panah, tombak dan pedang. Di hadapannya adalah tentara angkara. Di hadapannya adalah tentara hawa nafsu. Tak terhitung umat Kakeknya siap untuk melemparinya dengan batu, melontarkan tombak, melemparkan anak panah dan bahkan menginjak-injaknya dengan kuda. Seorang laki-laki sejati yang berdiri dalam sunyi, walau padang diramaikan oleh denting-denting tapal kuda. Laki-laki itu adalah Husain. Di Karbala. Pada hari Asyuro.
Di antara nama-nama yang paling menyayat dari Imam al-Husain a.s. adalah “الوتر الموتور” – al-Witr al-Mautur, yang secara literal bermakna: yang tunggal dan tidak dibalaskan. Namun, makna yang tersembunyi dalam frasa ini jauh melampaui deskripsi tragedi sejarah; ia merupakan cermin dari hakikat eksistensial manusia dalam ketelanjangan nilai, terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan yang menjauh dari Tuhan. Maka, pertanyaan mendasarnya adalah: Apa makna terdalam dari al-Witr al-Mautur, dan mengapa ia demikian menyayat dan mengguncang?
Mengikuti analisis semantik Qur’ani yang dilakukan oleh al-Raghib al-Isfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, akar kata “و ت ر” bermakna “al-witr: al-fard alladhi la thani lahu” – “al-Witr adalah yang tunggal, yang tiada duanya.” Dalam konteks Imam Husain, al-witr adalah simbol kesendirian spiritual yang mutlak, ketika ia berdiri sendirian di Karbala melawan puluhan ribu pasukan yang menyatu dalam diam dan kebohongan. Ia adalah satu-satunya representasi dari kebenaran Ilahi di medan fitnah. Dalam hal ini, ia bukan sekadar yang sendirian, tetapi perwujudan tauhid moraldalam bentuk manusia.
Adapun al-mautūr berasal dari kata kerja “watar” yang berarti mengambil hak darah tanpa balasan atau keadilan. Ibn Manzur dalam Lisan al-“Arab menulis, “al-witr: al-mazlūmatu damuhu, la yutālabu lahu bi-tha’r” — orang yang darahnya ditumpahkan secara zalim dan tak dibalas. Maka, al-Witr al-Mautur adalah yang tunggal, dizalimi secara brutal, dan tidak segera dibalaskan secara adil. Dalam konteks Imam Husain, ini bukan semata-mata ketertindasan historis, melainkan luka kosmik: darah suci yang tidak dibela dunia, tetapi dibela oleh waktu dan hati nurani.
Rasulullah SAW bersabda: “Inna Allaha witrun yuhibbu al-witr” — “Sesungguhnya Allah itu Witr, dan Dia mencintai yang Witr.” Dalam sudut pandang kosmologis dan filsafat tauhid, al-Witr melambangkan keesaan Tuhan yang mutlak, dan pencinta Witr berarti mencintai bentuk kemurnian tertinggi. Maka, ketika Husain disebut al-Witr yang dibunuh, itu bermakna bahwa nilai ketauhidan dan kesucian moral telah ditumpahkan oleh struktur politik yang memakai topeng agama. Ini bukan sekadar pengkhianatan terhadap Husain, tapi terhadap tauhid itu sendiri.
Secara sosiologis, Al-Witr al-Mautur sebagai representasi Husain sebagai aktōr tunggal dalam sejarah yang menantang totalitas kebohongan hegemonik. Dalam skema ini, Husain adalah subjek sadar yang memilih jalan eksistensial yang otentik, sebagaimana yang ditulis oleh Kierkegaard: keberanian tertinggi adalah memilih jalan sunyi yang menghadap Tuhan dalam ketakberhinggaan penderitaan. Heidegger menyebut keadaan ini sebagai Geworfenheit – keterlemparan dalam keberadaan yang absurd, namun justru di situlah otentisitas muncul: saat manusia memilih untuk berdiri dalam keheningan malam Asyura, seperti Husain, dan menatap takdirnya dengan utuh.
Bagi Hegel, sejarah adalah dialektika roh menuju kebebasan. Maka Husain adalah roh bebas yang tidak bisa dikorupsi oleh dunia. Ia tidak bisa dibeli oleh kekuasaan. Husain tak lain adalah “manusia terakhir yang tidak diperjualbelikan oleh sejarah.” Dalam kerangka ini, Husain bukan objek sejarah, tapi subjek kesadaran sejarah. Ia adalah kategori transenden dalam etika profetik.
Bersambung....