MUHARAM: DUA HIJRAH, KE DAN DARI MADINAH (2)
Hijrah, sebagaimana diisyaratkan secara tajam dalam Surah An-Nisa' ayat 97, bukanlah romantisme perjalanan yang patut dirayakan dengan kemeriahan. Ia adalah keputusan pilu yang terpaksa diambil di ujung penindasan, ketika bumi yang sempit tak lagi memberi ruang bagi napas iman. Ayat itu menggambarkan malaikat yang menuntut pertanggungjawaban pedih: "Bukankah bumi Allah itu luas?" Kalimat ini bukan pujian bagi perantauan, melainkan teguran keras bagi mereka yang memilih bertahan dalam kehinaan sementara pintu hijrah terbuka. Ancaman neraka Jahanam bagi yang abai bukanlah metafora; ia menegaskan betapa hijrah adalah tindakan penyelamatan diri yang mendesak—bukan pilihan glamor, tapi keharusan yang lahir dari luka.
Esensi hijrah dalam ayat ini terletak pada pengorbanan yang getir: meninggalkan tanah, kenangan, dan segala yang akrab demi menyelamatkan apa yang tak boleh dikompromikan—iman dan martabat. Narasi "kami tertindas" (mustad'afin) ditolak mentah-mentah sebagai alasan pasif, karena Allah menegaskan bumi-Nya yang luas adalah ruang perlindungan bagi yang berani bergerak. Ini adalah migrasi yang dilandasi trauma, bukan petualangan.
Bahkan dalam kemenangan sejarah Hijrah Nabi, yang kerap dirayakan, tersimpan duka pengusiran, rasa asing, dan darah yang tumpah di jalan Yatsrib.
Karena itu, memuliakan hijrah sebagai peristiwa elegan tebaca paradoks. Pesan ayat 97 jelas: bumi Allah memang luas, tapi jalan hijrah selalu sempit—dilalui dengan kaki berdarah dan hati yang terbelah, bukan diarak dalam parade kemenangan.
Terlepas dari polemik keganjilan ini—penetapan Hijrah sebagai dasar kalender dan sakralisasi 1 Muharram sebagai hari kemenangan—ada lapisan makna lain dalam bulan Muharram yang sering terabaikan. Bulan ini ternyata menjadi saksi bagi dua dimensi Hijrah yang paradoks. Pertama, Hijrah ke Madinah: sebuah eksodus monumental yang dipicu oleh intimidasi para elit penguasa Mekah, memaksa Nabi dan pengikutnya mencari perlindungan. Kedua, Hijrah dari Madinah: sebuah eksodus tragis yang justru disebabkan oleh intimidasi dan pengkhianatan para elit penguasa Madinah itu sendiri puluhan tahun kemudian. Dua pergerakan yang berlawanan arah, terpaut waktu, namun terikat dalam satu bulan yang sama.
Tokoh sentral yang mengemban kedua Hijrah ini pun mencerminkan sebuah dialektika sejarah yang dalam. Hijrah ke Madinah dijalani oleh Sang Nabi Agung, Muhammad SAW, sebagai strategi untuk meraih kehidupan yang mulia—mendirikan tatanan sosial-politik berlandaskan iman. Sementara Hijrah dari Madinah diambil oleh cucu kesayangannya, Husain bin Ali, sebagai jalan tak terelakkan menuju kematian yang mulia di Karbala—sebuah perlawanan heroik mempertahankan prinsip melawan kezaliman yang menyamar dalam legitimasi kekuasaan.
Di sinilah mungkin letak jawaban atas segala keganjilan yang diinvestigasi. Kehidupan mulia yang diperjuangkan dalam Hijrah pertama, dan kematian mulia yang diraih dalam Hijrah kedua, bukanlah episode yang bertentangan. Mereka adalah dua kutub yang koheren dalam sebuah proses evolusi spiritual yang berkelanjutan. Hijrah pertama (ke Madinah) mewakili tahap imanensi—perjuangan mendirikan dan mempertahankan keadilan dalam ruang dan waktu duniawi. Hijrah kedua (dari Madinah) mewakili tahap transendensi—pengorbanan tertinggi yang menegaskan kebenaran melampaui segala kompromi duniawi. Transisi dari kehidupan mulia menuju kematian mulia inilah esensi transubstansi—transformasi hakiki di mana perjuangan konkret dan pengorbanan spiritual menyatu, mengubah realitas material menjadi saksi bagi kebenaran abadi.
Penetapan Hijrah sebagai poros waktu, dengan segala motif politik dan teologis yang menyertainya, mungkin saja mengandung keganjilan historis. Namun, ia juga, secara tidak langsung, menunjuk pada dialektika hidup dan mati yang mulia ini—sebuah kebenaran yang jauh lebih dalam daripada sekadar perhitungan hari atau perayaan kemenangan yang disepakati.