Sejauh Mana Indonesia Mencapai Kedaulatan Digital?(1)
KEDAULATAN digital bukan sekadar jargon teknologi. Bagi penulis yang telah puluhan tahun menjadi akademisi ITB sekaligus konsultan teknologi informasi komunikasi, kedaulatan itu tentang bagaimana suatu bangsa mampu berdiri di atas kekuatannya sendiri dalam mengelola data, membangun sistem, dan menegakkan aturan main di ruang digital. Namun hingga hari ini, posisi Indonesia dalam peta kedaulatan digital dunia masih jauh dari mapan. Pemanfaatan layanan berbasis maha data belum menyentuh sendi kehidupan masyarakat secara luas. Proyek besar memang mulai dijalankan, tetapi belum cukup membumi. Integrasi data antarinstansi masih berjalan lambat, dan kualitas pelayanan publik yang bergantung pengelolaan data belum menunjukkan perubahan signifikan.
Di sektor industri digital, kehadiran startup, terutama unicorn lokal, semula memberi besar harapan. Namun kenyataan, sebagian besar modal dan infrastruktur mereka masih tergantung luar negeri.
Kita masih menjadi pengguna, bukan pemilik. Bahkan situasi ironis terjadi karena founder unicorn menjual saham dan jadi sebatas karyawan.
Situasi ini sontak mengingatkan peringatan lama: jangan sampai kita kembali menjadi pesuruh di negeri sendiri. Lalu, pilar teknologi informasi dan komunikasi juga belum sepenuhnya tegak. Aturan yang mendukung kedaulatan digital sudah ada, tapi pelaksanaannya belum konsisten. Pusat data nasional belum cukup kuat menopang layanan strategis berbasis data secara mandiri. Sebagian besar lalu lintas digital nasional masih melibatkan jaringan dan server yang berada di luar negeri, membuat kita rentan secara keamanan dan ekonomi. Sementara itu, sistem pembayaran digital nasional berkembang cukup pesat. Integrasi berbagai layanan dompet digital dalam satu standar nasional sudah menjadi kenyataan. Ini langkah penting menuju kemandirian ekonomi digital. Namun adopsi layanan digital yang merata belum tercapai. Kesenjangan akses antara kota besar dan daerah pinggiran serta antara generasi digital native dan kelompok usia lanjut (baca: Baby Boomer) masih mencolok.
Kemampuan sumber daya manusia juga masih relatif lemah. Literasi digital belum menjadi bagian kebiasaan hidup sehari-hari. Banyak layanan publik berbasis teknologi yang justru membingungkan masyarakat, alih alih mempermudah; ironi di tengah gegap gempita transformasi digital. Singkatnya, kita sudah berjalan, tetapi belum sampai. Kita punya arah, tetapi jalannya masih penuh lubang. Kedaulatan digital Indonesia saat ini masih lebih berupa ambisi daripada realisasi. Ia butuh percepatan, konsistensi, dan yang terpenting gotong royong lintas sektor.
Belajar dari Zuboff
Barangkali di titik ini, kita perlu belajar dari Shoshana Zuboff. Siapakah Zuboff? Ia adalah seorang profesor emerita di Harvard Business School dan salah satu pemikir terkemuka bidang sosiologi digital, ekonomi informasi, dan dampak teknologi terhadap masyarakat.
Ia meraih gelar doktor dari Harvard dan dikenal luas melalui karya-karya pentingnya yang menganalisis hubungan antara teknologi, kekuasaan, dan kehidupan manusia. Salah satu karya paling berpengaruhnya adalah The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (2019), yang menjadi rujukan utama memahami bagaimana perusahaan teknologi besar mengeksploitasi data pribadi dalam sistem ekonomi baru yang disebutnya kapitalisme pengawasan. Karya ini menuai pujian internasional dan menjadikannya tokoh sentral dalam perdebatan global tentang privasi, etika digital, dan masa depan demokrasi.
Sebelumnya, ia juga menulis In the Age of the Smart Machine (1988) dan The Support Economy (2002), yang sama-sama menggambarkan perubahan mendalam dalam struktur kerja dan masyarakat akibat revolusi teknologi informasi. Dalam The Age of Surveillance Capitalism dikemukakan, kita sedang memasuki babak baru kapitalisme, yakni kapitalisme pengawasan. Ini bentuk kapitalisme yang tidak lagi bergantung eksploitasi tenaga kerja/sumber daya alam, melainkan pada ekstraksi data perilaku manusia.
Data yang berasal dari aktivitas sehari-hari kita (klik, gesekan layar, suara, lokasi) dikumpulkan bisa tanpa izin, diolah dengan algoritma, dan dijual untuk memprediksi serta memengaruhi perilaku kita di masa depan. Kapitalisme pengawasan, menurut Zuboff, adalah kudeta epistemik. Kudeta ini bukan menggulingkan negara, melainkan menggulingkan kedaulatan pengetahuan publik.
Di dalamnya, muncul pertanyaan mendasar yang kini dijawab sepihak oleh perusahaan teknologi: siapa yang tahu, siapa yang memutuskan siapa yang tahu, dan siapa yang memutuskan siapa yang memutuskan siapa yang tahu. Korporasi digital raksasa seperti Google, Facebook, Amazon, dan lain-lain, kini memegang kontrol pengetahuan kolektif tanpa pernah diberi mandat oleh publik. Mereka menciptakan tatanan kekuasaan baru yang tak terlihat, tak terpilih, dan nyaris tak tersentuh hukum. Kapitalisme pengawasan tidak bekerja dengan cara kekerasan fisik seperti totalitarianisme klasik. Ia menciptakan kekuasaan baru yang disebut Zuboff sebagai kekuatan instrumental—kekuatan yang bekerja secara halus, melalui prediksi, persuasi algoritmik, dan manipulasi preferensi. Pengguna tidak dipaksa, tetapi diarahkan; tidak diperbudak, tetapi dicandui.
Dalam kondisi ini, demokrasi tidak dihancurkan frontal, tetapi diurai perlahan dari dalam, melalui ketergantungan terhadap teknologi yang membentuk kesadaran dan keputusan politik kita sehari-hari. Zuboff mengkritik regulasi yang ada, baik dalam bentuk undang-undang privasi maupun kebijakan antimonopoli, tidak cukup kuat untuk menahan laju kekuasaan kapitalisme pengawasan. Dunia hukum dan kebijakan tertinggal jauh dari kecepatan teknologi. Sementara itu, berbagai fenomena sosial kontemporer, seperti kecanduan media sosial, penyebaran berita palsu, pelacakan tanpa batas, dan krisis privasi, semuanya bisa dilihat sebagai gejala logika kapitalisme pengawasan yang menempatkan keuntungan di atas hak-hak dasar manusia. Bagi Zuboff, kapitalisme pengawasan bukanlah keniscayaan teknologi, melainkan hasil pilihan ekonomi dan politik tertentu. Maka, ia bukan hanya bisa dikritik, tetapi juga harus dilawan.
Masa depan manusia di era digital tidak akan ditentukan inovasi teknologi semata, tetapi oleh keberanian politik dan etika untuk mengatakan cukup.
Bersambung...

