Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sejauh Mana Indonesia Mencapai Kedaulatan Digital? (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Dalam dunia yang semakin dikendalikan algoritma, mempertahankan martabat manusia berarti merebut kembali kedaulatan atas data, pikiran, dan masa depan kita sendiri. Dalam perspektif analisis Zuboff, kondisi kedaulatan digital di Indonesia mencerminkan tahap awal kolonisasi algoritmik, di mana negara dan masyarakat belum sepenuhnya sadar bahwa ruang digitalnya tengah diambil alih oleh kekuatan kapitalisme pengawasan global. Platform-platform asing yang mendominasi kehidupan digital masyarakat (dari pencarian informasi, belanja, hingga interaksi sosial) telah menanamkan sistem pengumpulan data masif tanpa transparansi, akuntabilitas, atau kontrol yang memadai dari negara maupun publik. Undang-undang Perlindungan Data Pribadi yang baru disahkan pun masih belum cukup tangguh menghadang ekspansi kekuatan instrumental perusahaan teknologi yang, menurut Zuboff, tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga membentuk struktur pengetahuan dan perilaku kolektif.

Dalam situasi ini, Indonesia berada pada risiko kehilangan kedaulatannya bukan karena penjajahan fisik, tetapi karena ketidaksadaran epistemik. Yakni rakyat tidak lagi menjadi subjek demokrasi digital, melainkan objek prediksi dan manipulasi perilaku yang dikendalikan dari luar negeri.

Saran Hexapelix menuju kedaulatan digital

Kedaulatan digital tidak mungkin dicapai hanya oleh pemerintah. Perlu pendekatan kolaboratif antara, tidak lagi penta/lima tapi hexa/tujuh unsur utama. Yaitu pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, akademisi dan pendidikan, budayawan (tpenulis, seniman dan selebgram), serta media massa. Pemerintah harus segera menata ulang strategi digital nasional yang lebih berpihak kepentingan domestik. Salah satu contoh nyata adalah perdebatan seputar proyek pembangunan pusat data nasional yang justru sempat dikerjasamakan dengan perusahaan luar negeri. Hal ini menunjukkan ambiguitas antara semangat kedaulatan digital dan praktik yang justru membuka pintu bagi ketergantungan. Pemerintah juga belum optimal melindungi data pribadi warga. Meski UU Perlindungan Data Pribadi telah disahkan, aturan turunannya lamban disiapkan dan pengawasan implementasinya masih lemah. Dalam proyek tol langit yang menjanjikan konektivitas nasional melalui satelit multifungsi, koordinasi antarlembaga dan kepastian manfaat riil bagi daerah tertinggal pun masih perlu diuji. Regulator harus menjadi pemimpin yang tegas dalam membangun infrastruktur digital yang mandiri, inklusif, dan berkelanjutan, bukan hanya sebagai fasilitator proyek.

Pelaku usaha, terutama startup dan perusahaan teknologi lokal harus didorong tidak sekadar mengejar valuasi, tetapi juga memperkuat kemandirian ekosistem digital Indonesia. Investasi pada pusat data lokal, pengembangan kecerdasan buatan dalam negeri, dan model bisnis yang memberdayakan pelaku usaha mikro sangat penting untuk diperkuat. Masyarakat sipil memiliki peran utama menjaga etika digital dan mengawal transparansi penggunaan data publik. Komunitas digital dapat menjadi jembatan antara teknologi dan warga biasa, membangun kepercayaan sekaligus menjaga akuntabilitas. Lebih lanjut, mengambil perspektif Zuboff, kita perlu mengembangkan kesadaran epistemik kolektif: menyadari bahwa ruang digital bukan ruang netral, tetapi arena perebutan kekuasaan yang menentukan masa depan kita. Pemerintah harus hadir bukan sekadar sebagai fasilitator pasar digital, tetapi sebagai penjaga batas etika dan pelindung martabat warganya.

Pendidikan digital harus diarahkan membangun ketahanan terhadap manipulasi algoritmik, bukan hanya kecakapan teknis. Ekosistem startup lokal perlu dirangsang untuk mengedepankan nilai keberlanjutan dan kemandirian, bukan sekadar mengejar valuasi. Dalam semangat ini, kita tidak hanya perlu Pentahelix kolaborasi lintas sektor, tetapi juga revolusi batin yang menyadari bahwa kedaulatan digital adalah soal harga diri bangsa/harga diri manusia. Jika itu mampu tumbuh dalam kesadaran kolektif kita, maka kedaulatan digital Indonesia bukan hanya mungkin, tetapi niscaya. Dalam hal melawan kapitalisme pengawasan digital melalui membangun kesadaran epistemik dan revolusi batin, maka kampus, budayawan, serta media massa memegang peran penting membentuk kesadaran kolektif. Akademisi dan kampus harus terlibat riset strategis berorientasi kebutuhan bangsa. Pendidikan digital perlu menyentuh tidak hanya mahasiswa, tetapi juga guru, petani, nelayan, dan pekerja sektor informal. Literasi digital harus menjadi program nasional lintas usia dan latar belakang. Budayawan Indonesia termasuk seniman, selebgram, penulis, musisi, dan artis memegang peran vital sebagai penjaga nalar publik dan penjaga jiwa bangsa. Mereka bukan sekadar penghibur atau pengisi ruang digital, tetapi pemahat kesadaran yang mampu menghidupkan makna, mempertanyakan norma-norma algoritmik, dan membuka ruang imajinasi alternatif atas masa depan yang lebih manusiawi. Dalam dunia yang dibanjiri konten dan dikendalikan logika viral, para budayawan harus menjadi suara yang menggugah bukan sekadar gema. Dalam hal ini, para budayawan seharusnya bersatu melawan konten-konten sampah yang mengedepankan flexing, mendorong hasrat judol, pinjol, mengedepankan konsumerisme, dan berbagai penyakit baru materialisme gaya baru. Indonesia perlu mendorong budayawannya untuk progresif dan mereka cipta karya-karya emas seperti Rindu Rasul dari Bimbo, channel Bagus Mulyadi, gaya mencerahkan Fakhruddin Faiz, Tanpa Kekasihku dari Kahitna, Padi Untuk Rakyat dari Franky Sahilatua, Rayuan Pulau Kelapa dari Ismail Marzuki, maupun mempertahankan secara kreatif warisan keragaman budaya yang luar biasanya.

Mengambil konsep Yukhui (pewaris intelektual Heideger dan Stiegler), sesungguhnya keragaman ini bagian penting dari perlawanan terhadap hegemoni data dan ditigal kapitalisme pengawasan. Kemudian, media massa lewat narasi yang kuat dan peliputan mendalam bisa mendorong kebijakan publik yang berpihak kedaulatan digital serta mengedukasi masyarakat agar lebih kritis dan mandiri dalam menyikapi perkembangan teknologi. Dengan sinergi hexahelix ini, kedaulatan digital Indonesia tidak akan berhenti pada mimpi, tapi sangat mungkin menjadi kenyataan. Syaratnya yang tidak mudah: harus dikerjakan bersama berkesinambungan dengan visi tegak dan tekad tidak mudah goyah. Mampukah? Kita bisa!