CAHAYA PRIMORDIAL : ONTOLOGI KELAHIRAN NABI TERSUCI SAW (2)
Wawasan dari Imam Ali bin Abi Thalib AS
Pemahaman mendalam tentang kelahiran transendental ini banyak dijelaskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib AS. Dalam Nahj al-Balāghah (Khotbah 1), beliau menyatakan, “Allah menciptakan Muhammad dan keluarganya dari cahaya-Nya sebelum menciptakan makhluk lainnya. Kemudian, dari cahaya Muhammad itulah, Dia menciptakan segala sesuatu.” Pernyataan ini menegaskan kelahiran eksistensial sebagai realitas primordial yang mendahului segala ciptaan material. Lebih lanjut, dalam Hikmah 147, Imam Ali AS menjelaskan bahwa Muhammad adalah cahaya yang dilemparkan ke dalam hati para nabi, merujuk pada kelahiran spiritualnya sebagai ruh penggerak bagi seluruh hierarki kenabian.
Analogi dan Metafora Filosofis
Untuk memahami lebih dalam, kita bisa menggunakan analogi pohon raksasa di padang gurun yang tandus. Akarnya yang menghujam dalam ke bumi mewakili dimensi insani, sementara cabang-cabangnya yang menjulang tinggi menembus langit mewakili dimensi rabbani. Analogi ini menggambarkan kelahiran Nabi SAW di mana dimensi transenden menjadi inti ontologisnya. Pendekatan ini selaras dengan konsep Al-Insan al-Kamil (Manusia Sempurna) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi, di mana Nabi Muhammad SAW dipandang sebagai cahaya primordial yang memancarkan esensi ilahi.
Sintesis Being dan Becoming
Dari sudut pandang ontologis, kelahiran transendental Nabi SAW merefleksikan sintesis antara Being (Ada) dan Becoming (Menjadi). Being adalah hakikat yang mutlak, sumber segala eksistensi yang tak terikat waktu, sedangkan Becoming adalah proses terwujudnya dalam dunia material. Dalam diri Nabi, kedua aspek ini menyatu, menyingkap esensi eksistensi. Beliau hadir di dunia ini untuk menerangi kegelapan ontologis—ketidaktahuan manusia tentang asal-usul dan tujuan eksistensi. Kehadiran beliau bagaikan sang surya yang menembus kabut tebal, mengungkap realitas sejati di luar bayang-bayang.
Puncak Manifestasi dan Kesempurnaan
Kelahiran material beliau di Makkah pada Tahun Gajah menjadi wadah bagi pemancaran ilahi ini. Berbagai tanda alam yang menyertai kelahirannya, seperti runtuhnya singgasana Kisra dan padamnya api sesembahan kaum Zoroaster, adalah manifestasi transenden yang menyertai peristiwa material. Puncak sintesis ontologis ini tercapai saat wahyu pertama turun di Gua Hira, di mana aspek rabbani (pesan ilahi) bertemu dengan aspek insani (pengalaman duniawi beliau).
Dengan demikian, kelahiran transendental Nabi Muhammad SAW bukan sekadar peristiwa historis, melainkan pengungkapan hakikat eksistensi itu sendiri, sebuah misteri agung yang senantiasa mengajak kita untuk merenung dan menyadari dimensi transenden dalam diri.

